PERCAKAPAN menarik tentang sastra dan lingkungan dalam diskusi yang berlangsung di Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) XX (Banjarmasin, 27–29 Oktober 2023) meninggalkan cekung jejak yang sukar saya ratakan dalam ingatan.
Diskusi yang mengkritisi ekologi dalam sastra, kurangnya daya ge(b)raknya terhadap peradaban, plus keterlibatan Negara dalam literasi lingkungan, membuat forum itu memanas ketika sesi tanya jawab dibuka.
Bahkan hingga forum yang digelar bakda Zuhur itu ditutup dengan terlambat karena pertanyaan dan tanggapan yang tak kunjung padam meskipun senja mulai bertandang, percakapan tentang sastra sungai terus berlanjut dalam kelompok-kelompok kecil.
Tentu ini menggembirakan karena memberikan kesan yang jauh dari formalitas sebuah festival sastra yang, dalam beberapa contoh, kerap menjelma jadi forum yang membosankan atau bahkan hadir sebagai sajian showbiz semata.
Tudingan Keliru Alamat
Sastra, dengan moral yang tersuruk di dalam cerita atau makna yang menyemak di antara metafora, bukanlah teman baik bagi siapa pun yang menuhankan keinstanan.
Sastra cenderung memunggungi akselerasi. Sastra, dengan materi apa pun yang terkandung di dalamnya, mengajak sesiapa untuk berpikir kritis, bukan bertindak taktis. Dan itu butuh proses. Butuh waktu. Butuh ketekunan, khususnya dalam memelihara kepercayaan bahwa sastra memiliki kekuatan mengubah peradaban lewat lentingan imajinasi dan bahasa yang diproduksinya.
Jadi, ketika salah seorang peserta dengan berapi menganggap narasi pemantik dari saya, Felix K. Nessi, dan Reizqie M. A. Atmanegara, yang didaulat sebagai pembicara tidak memberikan solusi terhadap masalah lingkungan, tudingan itu jelas sekali keliru alamat.
“Anda salah forum,” ingin sekali saya membalasnya begitu. Namun, pernyataan itu tidak mungkin berdiri sendiri. Ia harus satu paket dengan penjelasan yang, karena keterbatasan waktu, tak mungkin saya uraikan saat itu.
Esai ini, dengan semangat menyuburkan diskusi tekstual yang egaliter, bermaksud menunaikan tanggung jawab sebagai penulis sekaligus salah satu pembicara terhadap antusiasme audiens.
Sastra Bukan Karya Informatif
Ketika Anda membutuhkan uaran informatif yang to the point, jangan mencarinya di forum sastra. Jangan mengharapkannya kepada karya sastra. Anda salah objek.
Lebih pas bagi Anda berada di antara para aktivis, pengambil kebijakan atau kalau perlu masyarakat pekerja kelas bawah korban penindasan kapitalisme atau oligarki sebagai narasumbernya. Kegiatan-kegiatan itu bisa dalam bentuk diskusi, pernyataan sikap atau rekomendas, atau demonstrasi kalau tak sabar beraksi.
Tapi, lekas bukankah kata sifat yang bersahabat dengan kritisisme.
Oleh karenanya pula, novel Uncle Tom’s Cabin (1852) karya Harriet Beecher Stowe, butuh waktu bertahun-tahun untuk memainkan peran penting dalam pergerakan anti-penindasan dan anti-perbudakan di Amerika Serikat.
Begitu juga The Jungle besutan Upton Sinclair. Novel yang diterbitkan pada tahun 1906 ini mengungkapkan kondisi pekerja di pabrik-pabrik daging sehingga memicu reformasi dalam industri makanan dan obat-obatan di Amerika Serikat.
Dari dalam negeri, tidak instan bagi puisi-puisi Wiji Thukul untuk dibaca masyarakat. Ya, membacanya dulu. Membaca kemudian membuat mereka kritis. Lahirlah gerakan.
Hal yang sama terjadi pada puisi-puisi Rendra yang membuka mata masyarakat bahwa, di bawah oligarki Orde Baru, ketertiban adalah kestabilan palsu.
Sebenarnya, jangankan sastra, teks politik seperti Manifesto Komunis karya Karl Marx dan Friedrich Engels atau Mein Kampf-nya Adolf Hitler juga harus kompromi dengan waktu. Butuh kesabaran bagi narasi ideologis itu menggerakkan massa, melahirkan perubahan signifikan: memengaruhi perubahan besar dalam sejarah dunia abad ke-20.