PADA tanggal 13 November 2024 mendatang, buku RAHAI RAHAYU (Membaca Kalimantan Selatan) karya HE. Benyamine setebal 344 yang merespon beragam isu akan didiskusikan dan didedah oleh Berry Nahdian Forqan.
Rahai Rahayu sendiri merupakan frase baru nonpredikatif yang dimaknai semacam upaya meronce tulisan-tulisan HE. Benyamine dari berbagai tema yang terfirkah-firkah menjadi satu kemasan utuh dan rahayu. Membaca Kalimantan Selatan seperti membincangkan kejadian yang terus berulang. Apakah ada buah kebaikan yang bisa dipetik dari kebijakan politik yang keliru, misalnya? Sampai kapan pertambangan, perkebunan sawit, dan kroni-kroninya bisa tegak beroperasi di Kalimantan Selatan?
Berikut kami suguhkan pengantar dari buku RAHAI RAHAYU yang ditulis oleh Urang Banjar, Dubes RI di Kazakhstan dan Tajikistan 2019 – sekarang dan Jubir Presiden RI 2019 – 2021, Bapak Dr. M. Fadjroel Rachman. Selamat menyimak!
SAYA PRIHATIN, MAKA SAYA BERSUARA!
Kritik atau kritisisme adalah sarana kemajuan. Tanpa kritik maka ilmu pengetahuan, teknologi, seni, sejarah kemanusiaan, demokrasi dan masyarakat di seluruh dunia tak akan pernah berkembang dalam bentuk kontemporer atau modern seperti sekarang ini (Lihat Rachman, M. Fadjroel. (1994).”Scientifico Critical Democracy”. Horison, No.8/XXXIX.).
Membaca kumpulan esai H.E. Benyamine seperti melihat seorang perintis jalan di garis depan yang menyampaikan apa yang dilihatnya tentang peluang dan bahaya, tentang sedih dan gembira, tentang kemungkinan dan kebahagiaan. Suaranya jernih dan tulus, disampaikan dengan dana keprihatinan mendalam, semuanya meliputi esai-esai dalam periode 2008 – 2015.
Simaklah keprihatinan Benyamine yang mendalam, disuarakan dengan sinisme yang “sangat santun” dan terukur, dengan tetap mempertahankan harapan untuk perbaikan, “Presiden (Susilo Bambang Yudhoyono, pen) dan para tamu yang hadir dapat merasakan betapa tenang dan tak terganggu berada di Tanah Bumbu, khususnya oleh angkutan batu bara yang sedang bersembunyi, yang selama ini dan entah sampai kapan terus mengganggu dan melibatkan sebagian besar masyarakat Kalsel menjadi bagian dari usaha pertambangan.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah seharusnya tahu dengan pemanfaatan jalan umum di Kalsel untuk kepentingan usaha pertambangan, meskipun saat kedatangan beliau armada batu bara menghilang dari jalanan. Usaha pertambangan tidak seharusnya melibatkan sebagian besar masyarakat dalam aktivitasnya, apalagi mereka yang tidak berkepentingan langsung dengan usaha pertambangan tersebut. Membiarkan hal ini terjadi, sama saja menghantarkan sebagian besar masyarakat Kalsel dalam keadaan rawan terserang berbagai penyakit, kesengsaraan hidup, dan bencana.” [Lihat: Jalan Umum Untuk Kepentingan Khusus (HUT OTDA XII Sembunyikan Truk Batu Bara Dari Jalan Umum]
Demikian pula kritik Benyamine kepada para wakil rakyat yang dipilih rakyat, yang wajib membawa suara rakyat yang memilihnya, supaya berjuang untuk kepentingan rakyat sejauh mungkin, meluruskan penegakan hukum bahkan menyuarakannya kepada Presiden secara langsung, bukan sekadarnya atau ala kadarnya,” “… sangat diharapkan sikap dan tindakan seperti anggota DPD atau anggota DPR RI asal Kalsel atau secara bersama-sama untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, bukan hanya sekedar membuat pernyataan di media massa, tapi membuat sebuah surat kepada Presiden RI tentang pelanggaran undang-undang oleh Pemprov Kalsel tentang penggunaan jalan negara untuk kepentingan usaha pertambangan, dan sekaligus pengabaian hak warga negara terhadap lingkungan yang bersih dan sehat.
Saya pun terhenyak ketika membaca esai Benyamine ini
Jangan sampai penilaian terjadi pelanggaran terhadap undang-undang (tidak tanggung- tanggung), seperti dibiarkan dan malah disyaratkan dalam kompensasi tertentu, tapi harus disikapi taat hukum juga. Jadi, Pemprov dibiarkan memfasilitasi pelanggaran undang-undang asal cocok pembagiannya..” [Lihat: Larang Truk Batubara Lewat Jalan Negara (Pemprov Terkesan Memfasilitasi Pelanggaran UU].
Saya pun terhenyak ketika membaca esai Benyamine ini, karena mengenali Pulau Laut yang beribukota Kotabaru sepanjang hidup saya, di mana sebagian besar keluarga besar saya pernah tinggal di pulau tersebut sebagai bagian dari kesatuan Kesultanan Banjar dan Kerajaan Pulau Laut. Ternyata menyimpan masalah tak kurang berbahayanya, yaitu kemungkinan lenyapnya Pulau Laut karena aktivitas pertambangan, “… komitmen bersama untuk menjadikan Pulau Laut bebas tambang harus dapat melampaui semangat peraturan dan perundangan.
Dukungan kepada DPRD Kabupaten Kotabaru oleh berbagai pihak untuk memperjuangkan Pulau Laut bebas tambang merupakan dukungan kepada pemerintah daerah Kotabaru untuk kembali pada komitmen sebagaimana peraturan bupati yang melarang aktivitas pertambangan di Pulau Laut.”.(Lihat: Menjaga Pulau Laut Tetap Bebas Tambang).
Demikian pula yang terjadi pada luasan hutan di Kalimantan Selatan, dari angka yang disajikan Benyamine terlihat betapa kehilangan dan kerusakan hutan di Kalimantan Selatan sudah berada pada titik yang sangat dan sangat memprihatikan, ditambah kenyataan bahwa upaya untuk mencegah (apalagi menanam kembali) dari pihak yang bertanggungjawab hampir dapat dikatakan nol, “ “Hutan di Kalimantan Selatan mengalami degradasi yang sangat memprihatinkan. Berdasarkan data CitraLandsat Departemen Kehutanan (Dephut), dalam kurun waktu 2001 hingga 2006, hutan di Kalsel telah berkurang seluas 85.817,28 hektar atau setara dengan 17.163,14 hektar per tahun.
Luasan kehilangan atau kerusakan hutan tersebut, jika dibandingkan dengan luasan Kecamatan Gambut dengan luas 12.930 hektar, jelas terlihat setiap tahunnya hutan Kalsel berkurang lebih besar dari satu Kecamatan Gambut tersebut. Atau, jika dibandingkan dengan luas Kota Banjarbaru (37.130 hektar), maka setiap dua tahun hutan Kalsel dapat dikatakan berkurang seluas satu Kota Banjarbaru… Degradasi yang disadari pemerintah daerah harus diwujudkan dalam tindakan nyata dalam menghentikan atau mengurangi kerusakan hutan yang setiap tahun berkurang lebih besar dari satu Kecamatan Gambut. Apakah pemerintah daerah hanya menyadari degradasi tersebut, tanpa tahu bagaimana menggunakan kekuasaannya untuk menghentikan atau menguranginya? Atau, sebenarnya pemerintah daerah tidak menyadari memiliki kekuasaan tersebut, karena terlalu sibuk dengan manisnya kekuasaan untuk dirinya sendiri. (Lihat: Degradasi Hutan Kalsel).
Benyamine tak hanya menuliskan menuliskan opininya, tapi melengkapi keprihatinnya dengan menyuarakan para korban dari kerusakan lingkungan di Kaliman Selatan, agar semua pihak sadar dan sadar dengan bahaya yang terjadi, “… Peringatan sangat keras dari tragedi Kinarum dan peristiwa Tumpang Dua, bahwa kerusakan alam dan lingkungan hidup sewaktu-waktu dapat berubah menjadi malapetaka dan bencana yang tragis…Air bah (Sabtu, 11/9) yang menghempaskan tempat wisata Kinarum di Kecamatan Upau, Kabupaten Tabalong, dengan korban 7 orang tewas, merupakan peristiwa yang mengenaskan, di saat masyarakat merayakan hari raya Idul Fitri 1431 H pada hari kedua…Bencana air bah pada hari yang sama juga terjadi di tempat wisata Tumpang Dua, Kabupaten Kotabaru,yang sempat menyeret warga masyarakat yang sedang berwisata di tempat itu, tetapi tidak ada korbanmeninggal sebagaimana yang terjadi di Kinarum.” (Lihat: Peringatan Keras Dari Tragedi Kinarum).
BENYAMINE MENUNTUT JANJI DALAM BUKU INI
Sekali lagi dalam esai ini Benyamine menuntut janji, yang selalu saja sering luput untuk ditepati. Pegunungan Meratus yang merupakan benteng terakhir penyelamatan lingkungan hidup di Kalimantan Selatan, seperti menjadi taruhan terakhir bagi Benyamine, “…komitmen bupati HST dan semua pemangku kepentingan di HST untuk lebih mengembangkan pertanian, perkebunan rakyat, perikanan, dan industri penunjangnya, dan bertahan hingga saat ini untuk tidak pada pertambangan batubara dan perkebunan sawit, adalah pilihan yang bernilai ekologi dan pemihakan pada hidup dan kehidupan masyarakat di wilayahnya serta wilayah berbatasan langsung maupun tidak langsung. HST merupakan permata pegunungan Meratus,.. (Lihat: Hulu Sungai Tengah: Permata Pegunungan Meratus).
Tak hanya pemerintah pusat, dan daerah yang terus menerus diingatkan Benyamine, tetapi juga para pemuka agama agar tetap menjaga komitmen untuk menjaga lingkungan dan melindungi masyarakat, “Tahun 2006, MUI Wilayah IV Kalimantan di Banjarmasin menerbitkan dan menetapkan Fatwa tentang Illegal Logging dan Illegal Mining yang berhubungan dengan penebangan dan penambangan yang merusak lingkungan dan merugikan masyarakat dan atau negara hukumnya haram. Sehingga, semua kegiatan dan penghasilan yang didapat dari bisnis tersebut tidak sah dan hukumnya haram… Fatwa haram perusak lingkungan sebagaimana pamali dan hutan keramat menjadi tidak bertuah saat berhadapan dengan mesin-mesin industri yang meskipun sudah terikat dengan perundangan dan peraturanyang mengikat untuk menjaga daya dukung lingkungan, karena perusahaan besar hanya terikat dengan kapital.” (Lihat: Fatwa Haram Ekspoitasi Wilayah Tertentu).
Adakah harapan? Benyamine menyebut jangan sepelekan pengetahuan masyarakat lokal yang sudah berabad menjaga lingkungan hidup di Kalimantan umumnya dan Kalimantan Selatan khususnya. Sialnya, seringkali bukan dihargai tetapi malah dijadikan kambing hitam perusakan lingkungan, “… pengetahuan lokal dapat dikatakan sebagai cermin kehidupan yang berwawasan lingkungan. Warga masyarakat di sekitar dan dalam hutan dengan pengetahuan yang mereka miliki tidak dapat dikatakan sebagai perusak hutan dan penyebab kebakaran hutan, sekalipun dinyatakan bahwa mereka dalam kemiskinan.
Pengetahuan lokal yang diturunkan dan diteruskan dari generasi sebelumnya, merupakan tanggapan terhadap keadaan alam setempat yang sudah mengalami adaptasi terus menerus dalam menjaga perubahan dengan gangguan kecil terhadap sistem alam. Sudah saatnya, pandangan terhadap orang desa (beserta anggapan kemiskinannya) juga memperhatikan pengetahuan lokal yang mereka miliki, untuk menjamin pembangunan yang dilaksanakan tetap berwawasan lingkungan dan berkelanjutan/ (Lihat: Pengetahuan Lokal Cermin Wawasan Lingkungan).
Keyakinan Benyamine tak pernah surut bahwa aktor lokal merupakan kunci dari penyelamatan lingkungan di Kalimantan dan Kalimantan Selatan,“…pengetahuan lokal dan teknologinya dalam berinteraksi dengan lingkungan dan pengolahan sumberdaya alam, atau kearifan tradisional dari masyarakat bisa menjadi dasar bagi pembangunan berkelanjutan, yang sangat penting untuk diperhatikan oleh para pengambil keputusandalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan.( Lihat: Pengetahuan Lokal Dan Pembangunan Berkelanjutan).
Kritik Benyamine yang sangat lantang, berangkat dari keprihatinan mendalam tentang lingkungan hidup di Kalimantan Selatan, meluas ke seluruh Kalimantan, ke seluruh dunia. Adalah suara keprihatinan terhadap manusia dan kemanusiaan. Lenyapnya lingkungan hidup, berarti lenyapnya manusia, kemanusiaan dan kebudayaan manusia. Namun Benyamine tidak putus asa, walau esai-esainya kadang murung dan kadang seperti suara tangisan seseorang di garis depan perjuangan yang merasa sendirian.
Tapi sikap optimisnya dan pandangan positif justru muncul bersinar dari keprihatinan dan kemurungan tersebut. Benyamine meyakini bahwa aktor-aktor lokal merupakan kunci untuk penyelamatan lingkungan hidup karena pengetahuan lokal yang berusia berabad-abad dan diteruskan dari generasi ke generasi. Persoalannya, agar kita lebih menghargai dan menghormati para aktor lokal, pengetahuannya dan kebudayaannya serta menempatkannya kembali sebagai jantung penyelamatan lingkungan hidup di Kalimantan Selatan, Pulau Kalimantan, pada 17.700 pulau di Indonesia dan dunia, dan melawan keterjajahan dan penghancuran lingkungan hidup atas nama kapitalisme yang berwajah modernisasi dan industrialisasi yang rakus dan tamak, “Oleh karena itu, sudah saatnya kesadaran pada alam dan lingkungan serta kebudayaannya untuk disuarakan lebih keras untuk menjadi dasar kebijakan pemerintah daerah, karena perubahan iklim secara langsung berdampak pada warga masyarakat dan menjerumuskan daerah dalam bentuk penjajahan yang berkepanjangan.
Keterjajahan, di mana saja, menghilangkan kesadaran dan kemampuan berpikir, yang ujungnya kehilangan produktivitas kreatif dalam memanfaatkan alam dan lingkungan, kecuali menahan bencana alam dan menutup pintu kemajuan. Kesadaran sebagai warga yang hidup dan berkehidupan pada alam dan lingkungan hujan tropis, tiada lain penghargaan pada keanekaragaman hayati dan penghormatan pada kebudayaannya. [Lihat: Raise Your Voice Not the Sea (Palm) Level] Perdana Menteri Barbados, Freundel Stuart pada Hari Lingkungan Dunia 2014.
Raise your voice to be heard loudly and clearly!
Bersuaralah lebih keras Benyamine, dan Bung tidak sendirian, Insya Allah!@
nb: yang berminat dengan buku ini sila menghubungi 085246955352