DISKUSI buku MADAM DAN JARWA karya Arif Rahman Hakim di Taman Kamboja, Kertak Baru Ulu Banjarmasin pada Sabtu (1/7/2023) sore berjalan baik. Penaja acara Dispersip menghadirkan 4 narasumber pada acara tersebut, yakni Hudan Nur (Duta Baca Banjarbaru), Noorhalis Majid (Founder Rumah Alam Banjarmasin), Ikhsan Alhaque (Kadispersip Banjarmasin), dan sang penulisnya.

Foto urang Banjar era dahulu yang terpampang di cover buku Madam dan Jarwa (Tradisi Migrasi dan Pergulatan Identitas Urang Banjar) juga menjadi buah perbincangan acara yang dimoderatori oleh Jannatul Maiyah, Duta Baca Banjarmasin 2023.

Arif Rahman Hakim menceritakan bahwa awalnya karangan buku ini adalah tesis berkaitan dengan pengetahuan antropologi semasa kuliah pascasarjananya di UGM Yogjakarta. Dalam hal itu, dia mengenang semasa muda saat menjalani pendidikan yang sudah jauh dari kampung halamannya, sehingga tertarik untuk mengulas ide tersebut.

“Pertama, buku ini lahir merupakan dari tesis saya di jurusan antropologi UGM Yogjakarta. Mengapa memilih istilah kata Madam, karena berhubungan dengan kehidupan saya,” ungkap Arif Rahman Hakim kepada asyikasyik, pada Sabtu (1/7/2023) sore.

Semasa kecil, Arif mengisahkan setelah lulus Sekolah Dasar (SD) telah merantau ke beberapa tempat, demi melanjutkan studinya. Lalu, dia mengaku bahwa memiliki jarak dengan kampung halamannya di Tanjung, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan.

Sehingga, Arif terpikir untuk mengangkat tema migrasi sebagai bentuk perhatiannya dalam meneliti ke masyarakat Banjar-Jawa. Awalnya, dia berniat untuk meneliti ke Tembilahan, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, namun urung dilakukan karena kondisi materi dan waktu.

“Jadi, akhirnya memilih Kota Yogjakarta sebagai tempat riset saya. Wilayah ini sebagai sampel yang mewakili pulau Jawa, walau kecil penduduknya namun bisa diambil gambaran dari pespektifnya,” ujar dia.

Kemudian, Arif menyebut kenapa istilah Jarwa bukan Jarwo, sebab dalam pengetahuan sebagai karya ilmiah harus memilah kalimat yang tertulis, bukan lisan. Sewaktu konsultasi, dia pernah dikritisi oleh profesor yang awalnya memilih kata Jarwo dalam penelitian tersebut.

“Bahasa tulisan, beda dengan bahasa tutur. Sehingga berubah, jika teman-teman ke wilayah Jawa maka tidak menemukan istilah itu,” ungkap Arif, disela beda bukunya.

Hudan Nur, Duta Baca Banjarbaru menelisik karangan buku ini dari lembaran ke lembarannya, yaitu menemukan Kota Jogjakarta sebagai bahan risetnya. Sebelum ke isu itu, dia ingin meluruskan soal istilah kata Banua dalam masyarakat Banjar, kian waktu mulai menjadi sebuah pengakuan terhadap warganya.

“Padahal, istilah Banua itu dipakai cuma di wilayah Hulu Sungai saja. Ada istilah kawasan Banua Anam, maka tidak bisa disebutkan warga Kotabaru dikatakan urang Banua jua,” terang dia.

Hudan menuturkan, kawasan itu ditinjau dari sejarah Kolonial Belanda yang membagi suatu wilayahnya disebut Afdeeling.

Lalu, Hudan melihat Yogjakarta dari Pasar Beringharjo yang kebanyakan urang Banjar asal Martapura berjualan emas di sana. Dia pun memandang, urang Banjar tak hanya saja menjual untuk masyarakat Yogjakarta tetapi pelancong dari berbagai daerahnya.

“Karena, urang Banjar melihat peluangnya di Pasar Beringharjo. Terlebih lagi kota itu sebagai wilayah istimewa maka pelancong, saudagar dan sebagainya datang kesitu,” cerita Hudan.

Hudan juga menerangkan, suku Banjar adalah akulturasi dari berbagai sub daerah yang tercipta dari ras Deutro Melayu, perpaduan sosial-budaya pada waktu silam. Dia menyebut tahun 1800-1900, gaun pengantin Banjar pun nampak berbeda dari waktu ke waktunya maka urang Banjar sangat lekat dengan akulturasinya.

Hudan Nur, Duta Baca Banjarbaru menerangkan buku Madam dan Jarwa dihadapan peserta di Taman Kamboja Banjarmasin.

“Kenapa urang Banjar itu migrasi, pertama untuk berdagang dan kedua untuk mendulang ilmu agama,” ucap Hudan, saat diskusi buku Madam dan Jarwa.

Noorhalis Majid, Founder Rumah Alam turut mengapresiasi karena masyarakat Banjar makin mengetahui dari buku ini. Sebagai pegiat literasi dirinya pun bersepakat bahwa istilah ‘Merantau’ dan ‘Madam’ sangat berbeda sekali pengertiannya.

“Kalau istilah Merantau itu bisa bebulik (kembali) lagi ke kampung halamannya. Sementara istilah Madam, tidak berpindah lagi karena menetap selamanya,” kata penulis buku Paribahasa dan Ungkapan Banjar itu.

Noorhalis mengaku dirinya pun dianggap madam, karena dari kota asalnya yaitu Kotabaru bermigrasi ke Banjarmasin. Kini, dia menetap bersama isteri dan dua anaknya.

“Layaknya persis juga dengan Pak Ikhsan dari daerah Kandangan ke Banjarmasin, bahkan bila ke kampung cuma sesekali itupun hanya mudik. Kalau kembali itu tak ada lagi, maka disebut Madam.”

BELUM ADA PERSPEKTIF PAS

Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dispersip) Kota Banjarmasin, Ikhsan Alhaq menyampaikan sejumlah catatan kepada Arif Rahman Hakim agar merevisi ke depannya, jika sewaktu menerbitkan kembali bukunya. Dia melihat masih ada penyebutan Ibukota Kalimantan Selatan di Banjarmasin, yang belum update sehingga perlu diperbaiki nantinya.

“Ada beberapa penyebutan dan pandangan urang Banjar, namun dibuku ini tidak memiliki perspektif yang pas,” ungkap Ikhsan.

Ikhsan juga tergelitik dari pernyataan Hairus Salim dalam kutipannya bahwa urang Banjar itu tidak mengakar layaknya pohon dan tidak mengikat dengan wilayah-wilayah lain.

Apabila seperti itu, Ikhsan pun berpandangan bahwa perasaan urang Banjar itu tidak melekat identitasnya. Padahal, menurutnya urang Banjar itu lebih egaliter atau setara dalam tipikalnya bersosial.

“Dalam masa perdagangan rempah-rempah pada masa silam. Ceritanya Sultan Banjar pada waktu itu tidak bisa menentukan harga sahang, padahal ia menguasai teritori daerahnya. Tetapi warga atau rakyatnya sendiri menentukan, artinya urang Banjar berjarak dengan kekuasaan dan lebih egaliter itu,” tandasnya.

Facebook Comments