AMBIN Batang Sastra-Bio Banjarmasin meluncurkan buku antologi Nansarunai Memanggil di Jl. Veteran, Komplek Halim II, Kota Banjarmasin pada Sabtu (1/7/202) siang. Diskusi buku tersebut menghadirkan para pegiat literasi, akademisi hingga perwakilan masyarakat adat Dayak Maanyan dan Ngaju.

Nampak hadir Nailiya Nikmah, dosen Poltek Banjarmasin bersama penyair Atin Septiani Abdullah, Putri Pariwisata Kalsel, dan para pemusik panting gubahan dari buku Nansarunai UIN Antasari.

Editor Nansarunai Memanggil, Sri Naida memaparkan sejarah dan proses buku itu terbit.

“Dalam buku ini, saya menulis bahwa seorang “kaum” membaca mantra Balian. Semisal, apabila kita mengambil nyawa seseorang dan tidak dilepaskan dengan damai, maka ia akan hinggap di atas pohon dan sebagainya,” ucap Editor Nansarunai Memanggil, Sri Naida kepada asyikasyik, Sabtu (1/7/2023) siang.

Naida mengatakan bahwa butir-butir filosofi yang terkandung dalam puisi dan karangan prosanya adalah pesan keluhuran dari masyarakat adat Dayak. Sebab, sejarah Nansarunai sangat berpengaruh terhadap kehidupan di tanah Kalimantan yang hingga saat ini masih ada keturunannya.

“Keturunan yang masih dekat dan terhubung dengan nenek moyangnya dari kerajaan Nansarunai adalah Dayak Maanyan. Itu adalah subsuku dari Nansarunai,” ungkap Naida.

Menurutnya sebanyak 13 subsuku Dayak dari keturunan yang erat dengan kerajaan Nansarunai atau rumah adat besar dayak pada masa silam.

Ke depannya, dia bersama kelompok dayak bakal menggelar peluncuran serupa di Barito Timur, Kalimantan Tengah.

Dalam buku ini terdapat 180 halaman yang berisikan 18 penyair di antaranya yakni Anthonius Limpau, Fahmi Wahid, Gepor, Gosyen Karawaheno, Gusti Indra Setiawan, Husida, Jaya Ginmayu, MS Shiddiq, Naidee, Oka Miharzha S, Riumtono Awiu, Setiono Leofold, Sultan Muda, Unelia, Winar Ramelan, Wyaz Ibm Sinentang, Yetrodianu dan Yose S Beal. Kemudian, karya prosa ada 7 penulis mengarang cerita pendek (cerpen) dan 10 penulis karya mantra.

TANTANGAN BAHASA DAYAK KE DEPAN

Muhammad Suriani Shiddiq, akademisi dan konsultan politik ini menjelaskan bahasa Dayak memiliki tantangan ke depannya, terlebih di era milenial kini mengubah bahasa kawula muda menjadi modern. Sehingga, menurutnya aksen dalam bahasa lokal semakin tergerus.

“Walau kita lahir di Kalimantan, apabila menetap di suatu tempat yang jauh dari kampung halamannya. Maka dialek kita bakal berubah,” jelas dia.

Shiddiq pun mengkhawatirkan bahasa lokal bakal tergantikan jika tidak terasah oleh lingkungannya sendiri. Di wilayah Banjar, dia dapat menyesuaikan logat dan bahasa itu demi berkomunikasi dengan seseorang.

“Persoalan yang besar adalah identitas. Mengapa? Kutukan SDM kita, mengabaikan sumber-sumber pengetahuan itu,” kata Shiddiq, di sela acara itu.

Bagi Shiddiq, bahasa dan budaya tidak bisa dilepaskan dalam nilai kulturnya. Apalagi, dia mengatakan sebanyak 300 subsuku dayak yang tersebar di pulau borneo ini memiliki ragam dialek dan bahasanya.

Menurut Shiddiq, ini menjadi PR bagi pemerintah setempat untuk melestarikan bahasa yang melekat dengan wilayahnya sendiri. Dia menilai, penghargaan terhadap budaya dan bahasa itu sangat rendah sekali.

“Tidak ada yang salah sebenarnya. Menjadi salah adalah ketika tidak memperkenalkan identitas asli kita,” tegas dia.

Adapun, Ketua Perkumpulan Nansarunai Jari Janang Kalalawah (PNJJK) Hengky A. Garu menyampaikan tujuan adanya buku ini untuk merefleksikan kembali sejarah kejayaan Nansarunai.

Lewat ini, dia mengharapkan agar kembali membangkitkan nilai-nilai kebaikkan yang telah diwariskan oleh leluhur atau moyang kita dahulu.

“Saya menghargai kegigihan penulis, sejalan dengan visi-misi PNJJK dalam melestarikan warisan budaya leluhur Dayak,” tandasnya.