SAMBIL melihat koleksi buku yang tak seberapa banyak, saya berpikir, Ramadan ini buku apa yang tepat untuk diulas? Saya sempat ingin mengulas sejumlah buku tarikh, yang jelas-jelas perlu diurungkan. Buku semacam itu mungkin asupan yang kaya bagi otak, tapi tidak bagi jiwa. Akhirnya buku Tuntunan Rasul Berpikir Positif karangan Dr. Majdah Amir sepertinya lebih cocok untuk suasana Ramadan sekaligus wabah yang murung dan serba tak pasti ini.
Buku ini berjudul asli Farewell Stress, Welcome Tranquility: Positive Thinking & Keys to Happines. Saya membeli buku ini di toko bukunya penyair Banjarmasin, Nurin (puisi-puisinya mana lagi ya? He) sekitar 2017 atau 2018 silam. Saat itu saya pikir ini buku yang tepat untuk kondisi saya, dan saya menemukan pencerahan di sana. Di masa wabah yang rentan memicu stres dan keputusasaan tertentu, buku ini menjadi semakin baik lagi untuk dibaca.
Buku ini ditulis oleh Dr. Majdah Amir. Perempuan kelahiran Mesir ini memeroleh gelar sarjananya di bidang Cyto-Histiologi di Cochin Port Royal University, Perancis. Beliau memiliki dua gelar master dan Ph.D. di bidang analisa Biokimia dari Universitas ‘Ain Syams, Kairo. Beliau ditunjuk sebagai analis laboratorium kehormatan di Rumah Sakit Universitas ‘Ain Syams dan dosen di bidang Imonologi. Di samping itu, Beliau juga mendapat gelar B.A. dalam bidang hukum Islam dari Universitas Al Azhar. Dengan spesifikasi akademik sedemikian, tulisan Dr. Majdah Amir di buku ini justru jauh dari nuansa tulisan akademis.
Buku ini dengan tujuannya untuk membuat jiwa kita merasa lebih baik setelah membacanya, disajikan dengan grafis menawan: sampul buku yang eye-catching dengan nuasa abu-abu dan hijau, gambar perempuan (cantik) yang tampak berbahagia, quote-quote dengan latar gambar ukiran yang menyejukkan, pilihan huruf yang tidak kaku, dan bahasa yang kadang agak puitis.
Bagaimana dengan isinya? Keseluruhan buku ini mengajak kita untuk merenungi satu hal, bahwa kesehatan fisik dan mental kita bersumber pada pikiran yang baik dan positif. Selama kita bisa menjaga hal tersebut, kita akan dapat hidup dengan bahagia, sehat, dan nyaman. Setelah hidup semacam itu, apalagi yang diharapkan?
Penulis memaparkan, bahwa berpikir positif erat kaitannya dengan sistem kekebalan manusia. Sel-sel kekebalan ini membaca pesan-pesan dari pikiran manusia dan memberikan respon atasnya. Itu sebabnya (memakai bahasa seseorang), cara berpikir akan memengaruhi cara merasa dan cara bertindak, semua itu berefek terhadap tubuh kita. Mengutip sang penulis, “Berpikir positif merupakan bahan bakar yang menyediakan energi yang dibutuhkan oleh sel-sel agar dapat berfungsi secara optimal. Pikiran positif dapat menjaga ‘Gerbang Emas’ kita, yaitu “kekebalan”.
Sebaliknya, berpikir buruk a.ka. negatif akan menjerumuskan seseorang ke pusaran rasa takut, cemas, stres, marah, getir, iri, cemburu, dan sebagainya. Pikiran negatif juga akan membawa efek negatif terhadap kemampuan sel-sel kekebalan. Sebagai contoh, sel-sel alami pembunuh kuman-kuman yang merupakan garis pertahanan terdepan dalam sistem kekebalan akan lenyap dari cairan tulang belakang saat seseorang berada dalam kondisi stres, tak peduli seberapa lama stres tersebut berlanjut. Pada kondisi tersebut pula, seseorang akan rentan terhadap serangan dari luar seperti kuman, bakteri dan virus (tentu saja, virus) karena lemahnya kekebalan tubuh. Hal negatif lain dari kondisi stres misalnya adalah munculnya efek berdebar-debar dari sistem simpatik pada kelenjar-kelenjar ginjal saat mengeluarkan hormon adrenalin pada waktu stres atau marah yang dapat menganggu keseimbangan temperamen (homeostatis) seseorang.
Disebutkan pula bahwa otak bukan satu-satunya tempat penyimpanan memori. Selain otak, sel-sel dalam tubuh juga memiliki memori yang disebut ‘memori sel’. Dengan demikian, ingatan tentang setiap gangguan pada level mental, psikologis, maupun fisik akan disimpan oleh sel. Sel-sel tubuh yang (banyak) dipengaruhi oleh stres dan perubahan-perubahan psikologis (a.ka. labil) akan berpengaruh pada tingkat efesiensi mereka. Jika memori sel menjadi negatif dan tidak disingkirkan, hasilnya adalah penyakit.
Yah, sedemikian eratnya hubungan kesehatan mental dengan kesehatan fisik. Lalu bagaimana pikiran-pikiran negatif ini perlu dilawan dalam pandangan Islam?
Islam mengisyaratkan banyak hal untuk mereduksi pikiran-pikiran negatif dari dalam diri kita. Dimulai dari anjuran untuk berbaik sangka. Kita tentu ingat hadis qudsi riwayat Abu Hurairah dari Bukhari dan Muslim, Allah berfirman, “Aku sesuai dengan prasangkaan hamba-Ku kepada-Ku.” Hal ini menunjukkan bahwa segala manifestasi kebaikan diawali dari pikiran, dari prasangka kita. Itu semacam isyarat bahwa kebahagiaan atau kesengsaraan diawali oleh pikiran kita di atas semua hal. Dalam hadis ini Allah telah berlaku sangat adil (di mana Dia selalu begitu) dengan menyerahkan kebahagiaan dan ketidakbahagiaan di tangan kita sendiri, di pikiran kita sendiri.
Islam juga mengajarkan untuk mengatakan hal-hal baik saja. Ingatkan hadis yang populer itu, riwayat Bukhari dan Muslim, “Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” Bagi saya ini adalah insight yang sangat jelas tentang bagaimana komitmen Islam terhadap anjuran perilaku positif dalam berkata-kata. Menurut Penulis, kata-kata mengandung energi yang dapat memengaruhi medan bio-energi manusia dan akan tersimpan dalam alam bawah sadarnya. Seseorang yang terbiasa mendengarkan kata-kata buruk secara intuitif akan menyelaraskan diri dengan keburukan tersebut.
Dalam dimensi tindakan, kita di antaranya akan menemukan larangan terlalu lama berduka akibat ditinggalkan orang yang kita kasihi. Tiga hari adalah batas waktu berduka untuk orang yang meninggal, kecuali istri atau suami almarhum. Rasa sedih dan cemas adalah pikiran negatif yang menyedot habis energi seseorang.
Ali ibn Abi Thalib r.a. mendefinisikan ciptaan Allah terkuat sebagai berikut, “Tentara Allah yang terkuat ada sepuluh: gunung yang kokoh, besi yang dapat melubangi gunung, api yang melelehkan besi, air yang memadamkan api, awan yang diperintahkan melayang di antara langit dan bumi sambil membawa air, angin yang menyebarkan awan, manusia yang mengalahkan angin dengan menghalanginya dengan pakaian, rasa mabuk yang mengalahkan manusia (pikiran mereka), tidur yang mengalahkan mabuk, lalu rasa sedih dan cemas yang mengalahkan tidur.” Dengan demikian, tentara Allah terkuat adalah dukacita hingga kita diajari berbagai doa untuk menjauhkan dan menghilangkan kesedihan dari dalam diri.
Demikian buku ini membuat kita semakin meyakini kekuatan pikiran, perkataan, dan tindakan baik terhadap keberlangsungan hidup kita. Sangat cocok dibaca oleh kita yang di hari ini dihantui kecemasan, ketakutan, kesedihan, atau kegamangan karena wabah C-19 ini. Royal College of Psychiatrists Inggris baru-baru saja mengumumkan naiknya angka gangguan dan penyakit mental akibat kondisi wabah. Sekitar 43% dari rerata kasus yang biasa terjadi di seantero Inggris (BBC, 16 Mei 2020). Barangkali ini adalah gambaran representatif dari kondisi psikologis masyarakat dunia hari ini.
Pada akhirnya, semua kebaikan berpikir positif kita perlukan untuk melewati periode yang serba tidak pasti ini untuk menjaga kita tetap waras. Tentu saja berpikir postif di sini dalam kadar dan kerangka yang proporsional. Saya tidak sedang meletakkannya dalam konteks menjadikan kita sembrono atau bertindak asal-asalan. Berpikir positif di sini adalah pikiran-pikiran yang akan membawa kita pada harapan dan optimisme yang baik di masa depan. Pikiran-pikiran yang membantu kita melewati masa-masa yang terasa getir ini.
Oh ya, meski semenyenangkan itu, ada bagian dari buku ini yang terasa masih berada di luar kemampuan cerna saya. Di bagian awal, Dr. Majdah Amir menyampaikan pandangan-pandangan alternatif dalam ilmu kedokteran tentang medan bio-energi manusia yang meliputi pusat energi atau cakra, meridian sebagai jalur energi manusia, dan aura. Ini mirip seperti ketika saya menonton Dr. Strange, dan saya termasuk jenis manusia level Dr. Stephen Strange sebelum berkunjung ke Kamar-Taj untuk bertemu The Ancient One.
Sebagai contoh dari hal yang saya tidak cukup memahami isinya adalah tentang pembagian-pembagian cakra (cakra akar, sakral, solar plexus, hati, tenggorokan, mata ketiga, dan mahkota), pembagian aura yang meliputi: aura fisik, aura eterik, aura astral, aura mental bagian atas, aura mental bagian bawah, dan aura spiritual. Tidak ada yang saya ketahui dari semua itu kecuali tentang tubuh astral, itupun saya tahu karena menonton film Dr. Strange.
Hal ini menurut saya menarik karena pemaparan mengenai hal-hal yang oleh sebagian orang dimasukkan dalam ranah supranatural yang berada saling berseberangan dengan ranah ilmiah dilakukan oleh seorang pakar ilmiah high-degree dalam bidangnya. Menyisakan satu pertanyaan pada kita, apakah ujung dari eksplorasi ilmu pengetahuan memang berada di wilayah ‘atas’ dari kemampuan tangkap panca indera kita? Entahlah.
Jadi, ya, saya merekomendasikan buku ini. Buku yang tepat di masa-masa mencekam. Selamat membaca, dan selamat merayakan hari buku nasional.
Wallahua’lam.@