Aku menarik napas, mengemas hati yang mengabu. “Mama meninggal Tante…” pesan whatsapp putra bungsumu, singkat.

Tidak ada yang bisa memperlambat atau mempercepat datangnya kematian, batinku menengarai air mata yang akan jatuh. Aku bergegas, menyelesaikan urusan dan menyambangi Masjid Al-Istiqomah Banjarbaru. Minggu sore yang remang, (17/5/2020) rinai gerimis menyapu jalan-jalan yang kulewati.

Di sana, sudah berkumpul kerabat terdekat, sanak keluarga, dan kedua putramu; Rezkido Febrashaumi Bujanadi dan Nawalre Nurshafa Iftikar Bujanadi. Prosesi persiapan pemakaman berjalan sangat cepat setelah ba’da ashar hingga menjelang maghrib, mulai memandikan, mengafani, hingga menyalatkan semuanya dilaksanakan di ruang masjid.

Menjelang isya, aku bersama kakak iparnya dari mendiang Hazrin Nur (Kakak sulung Agustina Thamrin) dan kemenakannya, bertiga ke lokasi TPU Guntung Lua. Melihat kondisi liang kubur, dan persiapan lain menjelang pemakaman, sebelum ambulans jenazah dan keluarga datang. Di sana, telah ada Om Syamsuri Barak. Sepuh di Banjarbaru, yang juga kerabat dan tetangga di Banjarbaru 2 tempat mukim Agustina Thamrin sejak dilahirkan.

Di musim pandemi, setiap pemakaman harus takzim dengan SOP Covid-19, memakai baju hazmat tak terkecuali keluarga dan anak-anak mendiang Agustina Thamrin. Suasana gerimis masih menyertai hingga selesai penguburan pukul 21.20 Wita. Malam temaram, aku tidak bisa melihat dengan baik siapa-siapa saja yang datang. Ditambah, mereka semua memakai masker. Cuma yang kuingat di sampingku berjejer Gusti Ardiansyah, Zulfaisal Putera dari Banjarmasin, Andri Alfiannor, Dahlia, Yulian Manan, dan Trisia Chandra.

Setelahnya, aku berjalan pelan. Ke ruko saudara yang tidak jauh dari TPU. Di lantai 3 aku hikmat memandang jauh pusara Agustina Thamrin yang benderang diterangi lampu-lampu. Aku melihat gawai, ratusan pesan masuk yang tidak bisa kubalas satu persatu. Doa-doa dipanjatkan, duka sungkawa yang dalam. Kepergian mendiang yang disebabkan tumor di beberapa titik, tidak hanya di dalam rahim. Sudah menyebar ke usus dan hati. Sudah lebih 100 hari terakhir, mendiang tidak bisa menelan makanan. Setiap makanan masuk, hampir semua dimuntahkannya. Perasaan mual, sakit yang menyiksa, perut seperti digergaji. Rasa panas yang menusuk, mencabik-cabik.

Apa yang bisa kami bantu? Ujian Tuhan, tidak ada yang ringan. Setiap kita memiliki jalan istimewa. Kami terus meminta kekuatan untukmu bertahan. Semoga doa kami didengar Tuhan. Panjangkan umurnya yaa.. Tuhan, berilah kesabaran yang maha luas untuknya.”  Pesan terakhirku yang kukirimkan beberapa jam sebelum mendiang Agustina Thamrin koma menjadi arsip, ruang akhir komunikasi kami yang urung bertemu.

Gustine sapaan akrabnya adalah puteri keempat dari pasangan H. Achmad Thamrin (1 Januari 1931 – 12 Maret 2008) dan Hj. Nurwili (11 Juli 1936 – …) saudara-saudaranya; Hazrin Nur (almarhum), Mozarin Noor (almarhum), Katerina Nur, dan Magdalina. Selain kakak sulungnya yang lahir di Alabio, keempat bersaudara tersebut  lahir di Banjarbaru, Jalan Cengkih Banjarbaru 2. Ayahnya, A.Thamrin dikenal sebagai musisi ternama Kalsel yang pernah memenangkan Juara 1 Penastani cipta lagu tingkat nasional di Lampung tahun 1981. Ibu dan ayahnya adalah saudara sepupu, dari anak adik kandung H. A. Darham, ayah dari A. Thamrin.

Keluarga besar mereka adalah juriat dari distrik Alabio alias Gegelang dalam bahasa Banjar disebut Halabiu yang tidak lain adalah kedemangan dari wilayah Administrative Onderafdeeling Alabio. 1861, Kiai Toemenggoeng Djaija Negara yang menjabat sebagai Distrikhoofh te Amonthaij, Soengei Benar en Alabioe, seiring waktu Alabio menjadi distrik sendiri sebagai pemekaran dari Distrik Amuntai.

Kedekatan kami selama ini, tidak lain karena mendiang kakekku yang seorang pembakal di salah satu desa di Alabio dan juriat datu-datu kami yang berdarah sama dari Hulu Sungai Utara.

Sejak usia 5 tahun mendiang Gustine sudah berkesenian, khususnya di bidang seni suara. Beberapa kali menjadi juara dalam Lomba Bintang Radio dan Televisi jenis seriosa wanita tingkat Provinsi Kalimantan Selatan. Aku mengenalnya di Mingguraya di paruh tahun 2014. 10 tahun setelah mendiang suaminya wafat, Windu Bujanadi di Jogjakarta. Kehidupan pelik, lika-liku dunia yang menghimpit menjadikannya orang baru, wanita yang harus berjuang menjadi single parent semenjak putra bungsunya balita.

Getir simpang waktu, jalanan yang berdebu. Luka-luka yang lebam dituliskannya dalam sebuah debutan kumpulan puisi pertamanya. Atas usulanku jualah buku itu diberi nama Membelah Dada Banjarbaru yang terbit Januari 2016.

Kemudian menyusul di tahun 2018, menandai 51 tahun usianya Gustine melahirkan Mantra Malam kumpulan puisi yang diluncurkan di Tembi Budaya Jogjakarta, 29 Agustus 2018.

Gustine yang terkenal sangat supel, ramah, dan selalu mewakili Banjarbaru menghadiri perhelatan-perhelatan, kenduri sastra, di tanah air menjadi santer, namanya berkilau. Setidaknya tujuh tahun terakhir, ia marathon keliling Jawa dan Bali tandang ke festival-festival.

Tahun 2019, di acara Tadarus Puisi dan Silaturahmi Sastra ia mendapat Penghargaan Sastra dari Wali Kota Banjarbaru. Di Penghujung tahun 2019 dalam balutan festival akhir tahun Dinas Pariwisata Banjarbaru mengadakan Tribute to A. Thamrin, Gustine meluncurkan buku H. Achmad Thamrin dalam Kenangan.

“Dan, aku masih ingin bertemu bulan juni…” pungkasnya, mengakhiri perdebatan ringan malam itu denganku.

Seingatku, selama lima tahun terakhir ini kami telah empat kali saling blokir di ruang whatsapp, ada perselisihan yang tidak bisa dihindari. Aku bahkan di suatu waktu menghindari Mingguraya, agar tidak berjumpa dengannya. Dan selalu, dia yang terlebih dahulu mengulurkan maaf dan memenangkan hatiku. Terakhir, kami berdebat hebat ketika acara Banjarbaru’s Rainy Day Literay Festival 2018. Gustine keluar grup, menuliskan kekesalannya kepadaku dengan huruf besar semua. Kami nyaris tidak bertegur sapa hingga empat bulanan, dan selama itu jua aku tidak ke Mingguraya. Namun, lagi-lagi Gustine-lah yang merayu dan mengajak kami baikan.

Termasuk pilihannya dengan kemoterapi, dan laranganku yang abai. Sampai-sampai aku menangis-nangis di telepon, persis orang pacaran yang melarang kekasihnya memilih. Gustine rajin, menasbihi nama-nama kawan dengan segala tingkahnya. Jujur, ini seperti mendengar cerita yang epik dan aku sangat menikmatinya.  Belakangan, aku sadar ia tipikal orang yang takut kesendirian, ia tidak bisa membenci orang berlama-lama, ia mudah memaafkan dan berhati ‘malam’.

Aku tahu, kepergian akan menanti. Jalan hidup sudah tersurat. Kukutip puisimu yang kau tulis di awal kepenyairanmu tahun 2012. Allahummagfirlahaa warhamhaa wa’aafihaa wa’fu anhaa, wa akrim nuzuulaha wawassi’mad kholahaa, waghsilhaa bil maai wats salji wal barodi, wa naqqihaa, minadz dzunubi wal khothoyaa kamaa naqqoits tsaubal abyadhu minad danas. Ruhuna Fatiha!

KESAKSIAN MALAM

Malam larut ketenangan terjaga
Gejolak menggericik, lalu
Merajam dalam selupa ingatan

Tiada henti berkabar tentang hidupku
Padamu merindu malam
Terang merindu siang cerlang cemerlang

Yaa Rabb
Setelah menapak bukit menuju arah selatan
Kutemukan sawah ladang pematang nenek moyang
Dalam rimbun bahagia berumah di dangau

Ya Rabb
Sampai jua tangan ini
Memetik bunga di taman-Mu sekian waktu
Serasa memanas kini aku sejuk dalam hening-Mu

Banjarmasin, 2012

@

Facebook Comments