Kita mungkin akan bertanya-tanya, seperti apa bunyi Banjar yang dimaksud dalam buku ini? Karena bunyi mengacu pada keseluruhan gelombang akustik yang masuk dalam jangkauan pendengaran manusia. Maka barangkali sirene yang menguing-nguing di kepala kita saat mobil pemadam kebakaran lewat adalah juga bunyi.
Lalu sirene macam apa yang masuk dalam kategori bunyi Banjar? Apakah seperti itu bunyi yang dimaksud dalam buku ini? Bunyi sirene Banjar, bunyi klakson Banjar, bunyi ketukan palu pada paku Banjar, dan bunyi-bunyi Banjar lainnya?
Setelah saya membaca bukunya, tentu saja bukan. Buku ini secara khusus membicarakan bunyi musik Banjar, yang secara berkelindan menarik, menggugah, sekaligus membingungkan.
Menurut buku ini, (bunyi) musik Banjar adalah perpaduan antara orisinalitas sekaligus adaptasi dari musik lain yang terlebih dahulu ada. Kuriding misalnya, meskipun sederhana dan tampak muncul dari satu ide kreatif kerakyatan, namun ia merupakan bentuk diaspora kesenian yang tersebar di hampir seluruh Asia dengan beragam nama. Demikian pula gamelan Banjar yang cikal bakalnya adalah gamelan Jawa. Meski diadaptasi dari luar Kalimantan Selatan, kita tak dapat memungkiri betapa khasnya bunyi musik itu terdengar di telinga kita.
Setiap kali kita mendengar sebuah lagu berbahasa Banjar dengan musik panting didendangkan, ingatan kita mungkin melayang di antara deru mesin kelotok, suara kecipak anak-anak berenang di sungai, atau sekadar bunyi azan yang berkumandang dari surau di samping rumah setelah sebelumnya surau itu memperdengarkan ceramah Tuan Guru dengan segala kearifannya. Musik Banjar membawa Banjar dalam horizon kenangan kita, oleh karenanya ia orisinil seorisinilnya.
Buku ini juga mencoba memahamkan kita secara teknis pada perangkat musik khusus yang bernama gamelan Banjar. Kita akan diperkenalkan pada masing-masing perangkat, mulai dari babun, sarun, sarantun, dawu, kanong, gambang, kangsi, agung, katok, rantai, gender, suling, dan gendir, beserta fungsi mereka masing-masing. Bagi saya sendiri, pendalaman mengenai gamelan Banjar ini menjadi wawasan penting karena saya memang tak tahu apa-apa mengenai gamelan Banjar sebelumnya. Yah, saya memang pernah melihat seperangkat alat itu baik saat sekadar dipajang atau dimainkan dalam sebuah pertunjukan musik atau tari Banjar, namun saya tidak pernah memahami apapun tentang perangkat tersebut.
Cerita mengenai seperangkat gamelan Banjar di buku ini menurut saya menarik. Ada enam tulisan yang khusus membicarakan mengenai gamelan Banjar, dan itu artinya setengah dari buku ini bicara tentang hal tersebut. Penulis memulainya dengan memperkenalkan apa itu gamelan Banjar, bagaimana teknik dan tata aturan pengoperasiannya. Penulis juga membicarakan praktisi gamelan Banjar, dan tradisi pelarasan gamelan Banjar oleh praktisi.
Hal menarik dalam perspektif tentang pergamelanan ini adalah, adanya relasi kuasa dalam praktiknya.
Gamelan itu perlu diselaraskan untuk bisa dimainkan dengan baik. Dalam proses pelarasan itulah terdapat hubungan kekuasaan antara pemesan (yang saya tangkap dalam hal ini adalah pihak yang memproduksi sebuah pertunjukan dengan menggunakan gamelan, misalnya dalang), dan pelarasnya. Setelan gamelan, penyesuaian perangkat tersebut baik secara fisik dan non fisik, termasuk proses marasuk gamelan sampai di titik akhirnya, sangat ditentukan oleh keputusan pemesan. Terlebih ketika pemesannya dalang, maka dalang menjadi titik pusat penentuan langkah dan ukuran antarbilah nada.
Penulis mengaitkan posisi pemesan ini dengan kepemilikan modal, karena pemesan yang membayar, pemesan yang menentukan pelarasan gamelan ini. Sebenarnya hal ini tidak menjadi masalah ketika pemesan memang memiliki kapasitas dalam penentuan larasan gamelan. Saya pun tidak menangkap adanya masalah terkait penurunan kualitas atau hal semacam itu dari hubungan kekuasaan antara pemesan dan pelaras dalam proses pelarasan, tapi bahwa tarik menarik kekuasaan terjadi dalam relasi sederhana semacam ini menunjukkan bahwa dunia pergamelanan Banjar cukup kompleks.
Meski pemaparan mengenai pelarasan gamelan Banjar ini menarik, namun hal ihwal teknis mengenai pengoperasian gamelan Banjar sendiri menurut saya agak membosankan, dan juga membingungkan. Penyebabnya adalah penjelasan yang terlalu teknis dengan kata-kata khusus bidang musik. Penjelasan yang membuat saya agak pusing karena tidak paham. Saya misalnya tidak menikmati sama sekali pembahasan mengenai notasi kilung pada lagu Jinggung:
Tabuhan sarun
T.T5T555 65 . . 5565 BT56 . …
La . . Lo la. . lo l . lalala lilam. . lalalilam lol lila liiiiii lam . … (hal. 85)
Atau, analisis musik Tambang
- FP I FP2
- FP3 I AP (hal.87)
Saya cuma membatin, ini bicara apa sih? Selanjutnya saya berharap lebih baik seandainya saya mendengarkan perangkat gamelan itu saja yang dimainkan, tanpa harus mendengar rincian pengoperasian teknisnya.
Buku ini memang memiliki kesenjangan cukup mencolok di antara tulisan-tulisannya. Barangkali karena ia adalah kumpulan tulisan yang pernah ditulis oleh Novyandi, maka segala jenis tulisan dimasukkan, sayangnya tanpa proses penyesuaian yang memadai. Beberapa tulisan agaknya ditulis untuk tujuan akademik, sementara bukunya sendiri memberikan kesan sebagai buku kasual kumpulan esai musik Banjar.
Sementara sejumlah tulisan terkesan terlalu kaku dan akademis, terutama tema pergamelanan, di sisi lain, tulisan yang lebih fleksibel tentang fenomena dunia musik Kalimantan Selatan justru sebaliknya renyah, dan menyegarkan. Misalnya tulisan berjudul, ‘Ketika Panting Menjadi Musik Populer’. Ada kegelisahan yang coba diungkapkan penulis mengenai orisinalitas musik panting yang tergerus karena dihibridasi dengan musik populer yang memiliki karakteristik berbeda dari musik panting itu sendiri. Masuknya alat musik modern seperti piano-keyboard misalnya, mengganggu kelarasan musik panting. Suara penyanyi dengan cengkok dangdut yang jauh dari tradisi ‘singik’ (suara melengking tertahan di tenggorokan) juga dianggap penulis membawa musik panting menjauhi khittah-nya.
Di antara 13 tulisan yang terdapat di buku Bunyi Banjar, saya memilih ihwal musik panting ini sebagai tulisan terbaik, karena ia tulisan yang berangkat dari kegelisahan. Bukan sekadar tulisan yang berniat menjelaskan serba serbi musik tradisional urang Banjar an sich. Tulisan ini tidak bicara tentang musik yang jauh dari pemahaman urang Banjar, ia justru bicara tentang musik yang diakrabi oleh mereka. Mengalun di antara hari sakral resepsi pernikahan, atau saat kunjungan, atau sekadar mendengarkan saat berjalan-jalan di sepanjang pinggiran sungai.
Jika diendapkan, kita akan menyadari bahwa ruh dalam tulisan mengenai ihwal musik panting ini tak lain adalah pleidoi untuk pemertahanan orisinalitas. Dan keseluruhan buku ini juga memiliki spirit pembelaan yang sama, keberpihakan pada orisinalitas. Hal ini menunjukkan bahwa dalam jagat musik tradisi, tarik menarik antara orisinalitas dan kebaruan demi kebaruan tak pernah selesai. Mereka yang mempertarungkannya juga tak pernah mencapai kata sepakat. Ini tentunya dialektika yang menarik, karena pada akhirnya usaha-usaha mempertarungkan kedua hal ini pun menjadi bagian dari usaha menjaga eksistensi musik tradisi itu sendiri.
Akhir kata, menurut saya buku ini cukup memadai untuk dibaca bagi mereka yang ingin memahami seperti apa dan bagaimana musik tradisonal khas Banjar. Buku ini referensi yang cukup bagus, terlebih ketika buku semacam ini memang sangat jarang ditemukan. Entah karena yang memahami persoalan ini tak banyak atau tak ada yang cukup berdedikasi untuk menuliskannya. Demikianlah.
Wallahua’lam.@