KEADAAN sedang sulit. Masa pandemi Covid 19 yang sudah berlangsung lebih setahun, membuat Yuzak bagai terkepung musuh yang tidak kelihatan. Sebagaimana Yuzak, hampir semua kalangan rata merasakan. Terutama menyangkut kebutuhan hidup. Seperti zaman Jepang saja rasanya. Ekonomi morat-marit. Orang dari kelas sosial tertentu pun mengerjakan apa yang belum pernah dikerjakan demi menyambung hidup. Bedanya, masa Perang Dunia II itu, musuhnya jelas kelihatan, yakni tentara Dai Nippon yang kian hari makin terang hasratnya menguasai Tanah Air.

Yuzak kembali larut membaca cerita kenangan zaman Jepang dalam buku Padang Ilalang di Belakang Rumah karya Nh. Dini. Ia mengulang membaca bagian ekonomi yang sulit. Dimulai pada suatu hari, Heratih, kakak Dini, mengabarkan kepada seisi rumah tentang apa yang baru saja ia lihat,”Bu Bustaman, dia jadi bakul rombengan sekarang.”
“Mbakyu Bustaman?” cepat ibunya menyela. “Masa’ dia jualan di pinggir jalan?”

“Betul! Dia duduk di emper toko jamu di Kranggan. Kulihat saat ban sepedaku kempes tadi,” kata Heratih lagi.

Ayah, adik, kakak semua kaget. Hanya Dini yang menganggap biasa. Bahwa ibu sahabatnya itu berjualan baju bekas karena situasinya memang sedang parah. Apa pun mesti dilakukan asal tidak mencuri. Jadi rasa kaget keluarga Dini mungkin lebih dikarenakan status sosial Bu Bustaman yang priayi.

Sore itu juga, untuk membuktikan kabar yang dibawanya, Dini diajak ibunya naik becak menuju Jalan Kranggan. Benar saja, di sana Bu Bustaman sedang melipat dan membungkus jualannya, bersiap hendak pulang. Kedua perempuan priayi itu segera terlibat obrolan yang menggambarkan situasi zaman.

“Ya, Jeng Salya, begini ini! Saya jadi bakul rombeng sekarang,” kata Bu Bustaman.

“Ah, Mbakyu. Menjadi apa saja asal halal,” jawab Bu Salya—ibu Dini—dengan sedikit basa-basi.

“Saya pikir-pikir, apa yang bisa saya kerjakan,” kata Bu Bustaman lagi. “Saya tidak bisa masak buat buka warung. Warung juga perlu modal. Lalu saya pilih pakaian yang masih bagus di lemari, tapi tidak diperlukan lagi. Saya bawa dan jual setiap hari di sini. Eee, Jeng, tetangga dan nyonya-nyonya yang saya kira tetap punya harta kekayaan pada titip jualan…Tentu saya ambil untung, tapi tak banyak. Kalau terlalu banyak, tidak laku.”

Persis begitulah kalimat Nh. Dini dalam cerita kenangannya yang berlokasi di Semarang itu.

Sehabis pertemuan tersebut, Ibu Dini pun bikin perhitungan. Gaji ayahnya di Jawatan Kereta Api makin tak mencukupi. Sang ibu memutuskan membuat kue kering dan menitipkannya ke warung sekitar atau menerima pesanan. Mereka juga membatik dan mengantarnya ke rumah juragan batik di Kampung Dargo. Semua harus mengerjakan apa yang selama ini tidak dikerjakan.

Lebih dari itu, Bu Salya harus kehilangan sapaan “Den” atau “nDoro”. Nippon mengharuskan semua orang sama derajatnya,”Jepang-Indonesia sama demi kemakmuran Asia Timur Raya!” Zaman berubah dan seisi keluarga harus mengikutinya, meski kemakmuran itu semakin jauh dari jangkauan. Dan menurut Dini, ibunyalah yang paling terengah-engah mengikuti perubahan zaman, sebab “tertahan-tahan oleh adat dan kebiasaan.”

***

ZAMAN terus berubah. Sejak pandemi melanda Tanah Air tercinta, semua orang harus menyesuaikan hidup dalam apa yang dikenal sebagai “new normal”. Cuci tangan, jaga jarak dan pakai masker. Itu prosedur standar untuk kesehatan. Tapi adakah “prosedur standar” untuk pendapatan? PHK di mana-mana. Mesin-mesin macet. Toko dan gudang dipenuhi sarang laba-laba. Pemasaran lesu darah. Meski korupsi dan pesta-pora, di satu sisi, jalan terus.

Yuzak mengakui, dari semua anggota keluarga dialah yang paling terengah-engah. Bukan karena adat dan kebiasaan seperti ibu Dini, tapi karena minimnya sumber pendapatan. Dulu ia bekerja sebagai editor tetap di sebuah penerbitan. Penghasilannya lumayan untuk istri, tiga anak dan seorang ponakan yang yatim-piatu. Kadang ia lembur atau dibolehkan membawa naskah pulang.

Pandemi datang. Ia diminta tak ngantor. Naskah dikirim ke rumah. Jumlahnya kian kendor. Tentu juga bayarannya. Bulan-bulan terakhir, hanya ada beberapa naskah pendek, dan sempat terhenti. Ia bukan lagi orang gajian yang dibayar tetap, tapi berdasarkan ada tidaknya pekerjaan. Itu menyurutkan semua pendapatan. Nyaris juga merenggut harapan.

Tapi istrinya yang tabah, meski tak kalah terengah-engah, tetap berikhtiar. Istrinya membuat kue pasar dan menitipkan di warung penganan dan warung sayur pagi hari. Tengah hari anaknya Isni akan menjemput kembali. Kadang habis, lebih sering bersisa. Apalagi makin banyak usaha sejenis, bahkan ragam kuenya banyak yang sama. Istrinya ingin membuat kue jenis lain, tapi terbentur modal. Dan dengan sisa ketabahannya, sang istri dan anak tertuanya Isni tetap saja bergerak sepanjang yang dapat mereka perbuat.

Ketika bulan puasa datang, mereka beralih menjadi penjual penganan buat berbuka. Ada kolak pisang dan bubur mutiara. Sore-sore mereka buka lapak di depan masjid Assalam, dan hasilnya lumayan menggembirakan. Namun tentu saja itu belum cukup. Lebaran, bagaimanapun membutuhkan kesiapan dari segi keuangan. Bukan perkara beli baju baru buat anak-anak. Tapi kebutuhan ini-itu yang kian membengkak, dan biasanya mendekati hari raya kian sesak. Yuzak mesti putar otak.

***

SUATU hari, Yuzak membongkar gudangnya dan menemukan banyak sekali kertas bekas naskah yang ia koreksi. Lebih banyak lagi koran yang dulu rutin ia beli eceran dan langganan putus-sambung. Terselip juga beberapa tumpuk plat cetak dari buku yang sempat ia kerjakan secara partikelir. Segera ia terbayang Bu Bustaman yang membuka lemari pakaian. Dan ia terilhami.

Maka tak butuh waktu lama, ia panggil becak Pak Jidan yang selalu mangkal di ujung gang.“Di mana Pak Jidan tahu tempat rongsokan yang membeli dengan harga tinggi?”

“O, ada, Mas Yuzak, di Krapyak Wetan dekat kuburan ada yang baru buka. Mereka lebih tinggi membeli ketimbang di tempat lain.”

“Nah, bawa ke sana, Pak. Lumayan buat nambah modal Isni berjualan takjil!”

“Ya, lumayan juga buat saya yang sudah tiga hari tak ada penumpang.”

Kedua lelaki itu tertawa, tak hendak menyembunyikan keadaan. Dua kali becak Pak Jidan bolak-balik. Setelah itu Yuzak menyusul naik motor ke Krapyak Wetan.

“Ayah, maskernya!” Dudi, anak lelakinya yang sedang belajar daring, berlari membawakan masker ke halaman. Yuzak berhenti. Ia merasa terberkati punya anak yang perhatian. Meski keadaan sulit, tak sekalipun anaknya itu patah semangat. Belajarnya tekun. Yuzak mengenakan maskernya dan seketika ia terbayang Liliy, anak bungsunya yang masih SD tapi telah memberinya hadiah masker buatan sendiri. Masker itu ia gunting dari sisa kain batik, dibentuk dan dijahit pakai tangan dan rasanya pas di wajah.

Tiba di tempat penjualan rongsokan, barang-barang Yuzak hampir selesai ditimbang. Ia percaya kepada Pak Jidan dan dua orang lelaki yang cekatan membantu menimbang. Yuzak tinggal disodorkan catatan di selembar kertas bekas bungkus rokok berapa kilo jumlah plat, kertas putih, kertas kuning dan kertas koran. Jumlah uang dari “kasir” lumayan nendang. Sekitar tiga editing naskah pendek atau satu naskah panjang. Lembaran “uang besar” ia susun ke dalam dompet, “uang kecil” cukup menutupi ongkos becak Pak Jidan yang diterima lelaki baya itu dengan sumringah.

Yuzak tak kalah sumringah. Tapi perhatiannya masih tertuju kepada “kasir” yang duduk di balik pagar seng dengan sebuah meja panjang. Itu tempatnya membayar pemilik barang rongsokan yang hari itu cukup banyak bersileweran. Mulai ibu-ibu dengan keranjang di sepeda, anak muda yang membawa motor rusak, sampai seorang bapak cukup necis yang membawa delapan batang baja entah bekas apa. Semua diladeni sang kasir dengan cepat, segesit dua orang pembantunya membongkar dan menimbang barang.

“Sebentar,” pikir Yuzak,”Aku kok rasa kenal? Tapi, ah, apa iya? Maskernya membuatku ragu,” sambil berkata dalam hati begitu, Yuzak ingin tak lagi peduli. Ia segera memutar kontak motornya. Tiba-tiba terdengar teriakan dari balik dinding seng,”Bung!”

Yuzak yang sejak tadi sudah ragu-ragu segera turun dari sadel, dan melihat sang kasir berdiri memelorotkan maskernya. Wajahnya terpampang jelas sekarang,”Bajigur, benar yang kuduga! Bung penyair Budi Darma ternyata.” Langsung saja Yuzak balik berteriak, sambil menurunkan maskernya pula.

“Yuzak bin Yahya! Dari tadi aku sempat curiga. Tapi masker batik di wajah Bung membuatku pangling. Aku baru yakin setelah memeriksa barang Bung, dan kutemukan ini.”

Kasir itu, Budi Darma Bakti, ternyata menemukan dummy buku puisinya sendiri yang penerbitannya dulu ditangani editor Yuzak bin Yahya. Mereka berdua tertawa, tapi tetap jaga jarak. “Ya, Bung Yuzak, begini ini! Saya jadi tukang rongsok sekarang.”

“Ah, Bung, jadi apa saja asal halal,” jawab Yuzak seperti pada dirinya sendiri.

“Saya pikir-pikir, apa yang bisa saya kerjakan,” kata Budi Darma lagi. “Saya tidak bisa ngeladeni orang jika buka warung kopi. Modal warung juga besar. Lalu saya bongkar isi kamar yang penuh kertas coretan dan koran, juga dapur ibu yang penuh rongsokan, lalu saya bawa ke sini. Dengan sedikit modal dari sisa terakhir royalti buku puisiku yang dulu Bung editori ini, saya beli rongsokan lain dari ibu-ibu pemulung. Eee, Bung, tetangga dan orang-orang yang saya kira tetap punya harta kekayaan pada ikut menjual barangnya…”

“Saya orang yang keseratus!” tebak Yuzak tanpa bermaksud ketus. Toh mereka paham inilah hidup.

Penyair Budi Darma Bakti yang lagi nyambi buka lapak rongsokan itu tertawa terbahak-bahak. Yuzak pun tak dapat menahan gelak.

“Oalah, konco dewe to!” Pak Jidan mesem. Ia bunyikan lonceng becak tiga kali dan meluncur pergi. Sementara kedua lelaki intelek itu terus ngobrol ke sana ke mari tentang situasi zaman: pendemi yang menggerus banyak rencana, meninggalnya banyak ulama dan orang baik, hilangnya sebuah kapal selam dan macam-macam soal. Tak terasa hingga hampir bergema suara azan dari Masjid Krapyak.

“Sebaiknya kita cari tempat berbuka,” ajak Budi Darma. Yuzak mengangguk.

Sambil terus bercerita, mereka pun melangkah menuju sebuah angkringan yang lampunya temaram di sana.

Lemahdadi, 2021