DEMI, SAYA SUKA CINTA
Saya suka jatuh cinta pada kota penuh bunga
meski depan gang-gangnya penuh bunga utang
Biarlah malam tanpa bulan pagi tanpa mentari
dalam buaian ibu raja kelana
Buih laut naik ke daratan
tak kusuka bau garam kerna kerap menipu teman
Begitu cerita alam kembali ke asalnya kabuyutan*
Saya suka asih ke sajak yang ditulis tinta bak
meski wajahmu terbayang di kertas merah
Catatan ibu masih di keropak bambu
Berdenyut manteranya setiap saya rindu
Menembus tulang bahu ujung rusuk.
Suka dan tidak suka
berdatangan di gelap dan di terang
tanpa tergiur busana model baru
mencari akar kelapa dengan sentuhan jari kasih ibu
satu pun belum kutulis lagu gayung bersambut
Demi kuda Nabi yang berlari kencang,
musuh dari sejak di rahim kukutuk tak kan menang,
menghunus pedang beracun ular batu padang pasir, saat sebut Tuhan; menjulurkan belati dan kencing
Sungguh malu aku pada kau penjahit benci
Lupakah angin maut memberi arti bunyi
Ini malam tak ada nyanyi
tapak kaki di tanah kering
Terasa ciuman terakhirmu bergerak bak ombak
Di kursi taman kota berserak dedaunan
-Mari kita sapu sebelum turun hujan senja!
Saya masuk ke kuil
Malam itu, dari kebun riuh burung anis menangis,
namun paginya riang menyambut matahari
SAJAK PENYULUH RANTAUAN
_Ke-satu
jika pun pergi tanpa sepi menggelayut
jalanan menyambut kaki yang lelah namun lembut ini, berjuta suara beratus gema menendang telinga batinku
siapa yang harus kuberikan tanda cinta tanah air sementara laut lagi musim ombak utara
saudara nelayanku di Pangandaran dan laut Cidaun menganggur, bermain kartu
Hidup tak lebih cuka di daging kerbau tua yang dikorbankan di musim perkawinan air kabuyutan
Kamu tak perlu bertanya; kapan zinah para politikus Jakarta itu mulanya
Hiburlah diri dengan menulis sajak.
jika pun aku kembali menyusuri hutan hutan Jawa seperti waktu muda
bekerja sebagai penyuluh petani miskin
sekian tahun meninggalkan rumah puisi
perjalanan ke desa membawa unggunan proposal hajat perubahan
Tak ada lagi senyuman pacar putrinya kepala dusun, menangis di beranda
Kamu perlu memberi tahu aku dimana
Tuliskan di buku catatan pelajaran anakmu; aku ayah angkatnya menunggu di surga Adnan
menghadirkan adat istiadat tanpa takut diganggu para perampok di jalan Tuhan
Sudah usai dengan yang serba lalai.
Jika pun aku merantau lagi ke negeri asing bukan berarti pusing pada nasib
namun semata ingin meraih tangan kasih yang terkulai di sudut-sudut taman
dan rumah-rumah warisan penyair klasik
Ini pun kisah mini tak perlu didramatisir
sudah kututup lembaran meninju diri
tinggal kamu menabur melati di hati
bahwa lelehan keringat kita terakhir
adalah sungai purba di mulut lautan
berilah aku tanda sebelum jejak hilang
di dunia maya, di cincin burung migran
Jika pun kamu memerdekakan harapan.
bayangan malam
jalanan orang lapar
secawan cinta
tak bisa terlupakan
aku kamu itu suka duka dari tanah merah
jika pun aku memelukmu, manis
itu garisan takdir yang tak abadi
memberangus semua setan nyinyir
dan jika aku pergi, sajak ini tak kan mati.
JALAN SETAPAK SUNYI
:Menempuh, menggali Kabuyutan
Jalanku di jalan setapak Kabuyutan sunyi…
pagi ini di antara bambu
Kota besar hanya kenangan perburuan
Yang ditikungannya hiburan klangenan
Sebatas diraba kerna anyirnya memualkan
Rasa coklat lama kutinggalkan pun bau keju kulupakan.
Rasa-rasa itu merayuku, menipuku tanpa bersalah
Dunia susah ditolak
Namun aku menolak laku tipunya
Dunia tak mampu sepenuhnya kutalak
Oh Nabi dan Imam Ali saja yang mentalak dunia
Kurindu kalian seperti rinduku pada ruh ibuku
Jalanku jalan setapak sepi diatas rumput teki
Obat darah tinggi para pemimpi hedonis
Kuterjemahkan tetes air mataku ke matamu
Namun adakah kamar untuk aku merenung dan menulis kisah atau pun sajak
Begitu keras tomat lembut menjauhi durian
Setiap debat berujung nasib keparat
Kata katanya bisa cobra
Kupilih diam, kuseret nyawaku dalam gua
antara rumpun bambu
Memang sepi, tapi tak apa! Sebelum lampus
Jalan setapak lebih berguna ya ada dekapan
Daripada jalan raya memeluk kesombongan
Kucinta engkau cinta melebihi segala yang ada
Pujaanku tak pernah makan namun besar tenaganya, bahkan mampu mengubah takdirku dalam sekejap
Pujaanku tak pernah hilang rupa, tapi sakti sedetik bisa membuat gunung, lautan marah
Atau tunduk iklas merebah ke para pejalan
Kukembalikan bunyi kepada kata
Sesekali saja kata direndam di samudera bunyi
Untuk tinta lukisan dan menghargai mantera
Jalan setapak oh raga tumbuhannya oh jiwa
“Mendekatlah kemari Kekasih! Bukankah bisikan lebih indah dari teriakan,
Dan Paduka sangat menyayangi yang telanjang
polos warna tak mengenakan apa-apa.”
Langit hening menjawab dengan senyuman
angin berhembus
mengutil dingin beku
lembah berbambu