Betelnut, Ubud. Sebuat tempat bersantai berlantai dua dengan panggung dan layar putih untuk hiburan. Sore itu menjelang petang, setelah saya melakukan obrolan hangat dengan Carma Citrawati, orang-orang ramai berbaris mengantre untuk Dee. Pintu belum dibuka. Saya tahu Dee baru usai check sound dan preparing melalui instastory Kadek Purnami dan @ubudwritersfest.

Saya berada pada antrean, melihat-lihat jadwal screening film dan main program lainnya di waktu bersamaan melalui layar hape. Persis di samping pintu masuk Betelnut adalah pintu masuk sebuah resto. Di sana, keluar sosok seorang perempuan dengan tato mawar di tangan kanan yang memegang sebotol bir. Memantik sebatang rokok, menghembuskan napas ke udara. Sosok yang tak asing bagi saya, terlebih kami telah banyak berdiskusi di tempat yang sama sehari sebelumnya.

“Halo, Mbak Djenar!”

“Hai. Halo, Nda. Mau nonton Dee, ya?”

“Iya. Mbak sengaja keluar karena mau smoking, kan!”

“Iya. Di dalam full ac.”

“Mana Kan Lume?”

“Dia masih makan, di dalam.”

Saya mendekat. Berdampingan nyender di dinding resto. Menyalakan sebatang tembakau, mengobrol beberapa hal yang mungkin penting dan tak penting. Layaknya bertegur sapa dengan sahabat. Djenar mengingat nama saya sebagai jurnalis dari sekian banyak orang yang ditemuinya selama di Ubud tentu menjadi hal yang membahagiakan. Bagi saya pribadi saja.

Djenar Maesa Ayu menghadiri Ubud Writer And Readers Festival (UWRF)-18 sebagai speaker pada Main Program: Rewriting The Script, Off Limits, dan Book Launch: Nayla.

Saya berjanji ke redaksi tidak akan menuliskan tentang prestasi, kekaryaan, penghargaan, dan semua tentang Djenar yang berhamburan di internet dan Wikipedia. Nai, begitu ia akrab disapa. Pembaca bisa mencari tahu sendiri betapa Djenar telah belasan tahun malang-melintang di ranah kekaryaan baik itu kesusastraan, keaktoran, dan perfilman di Indonesia. Betapa puluhan mungkin belasan pula penghargaan yang dia raih dalam beberapa bidang yang telah saya sebutkan tadi.

Mari saya ajak anda ke sehari sebelumnya di waktu yang sama. Ketika Tiara Mahardika bilang Djenar Maesa Ayu tidak bisa diwawancarai pasca panel diskusi karena waktu yang terlalu berkejaran. Tiara bilang, Djenar mengkonfirmasi bisa diwawancara pukul 06.00 pm setelah screening film Love is Bird (2017) karya sutradara Richard Oh.

Waktu itu pun tiba. Nai keluar Betlnut sembari menggamit tangan suaimnya. Saya menguntit di belakang. Sampai kami duduk berhadapan setelah senja berlalu dengan dengan remang lampu taman dan orang asing di sekeliling.

“Jadi, apa buku terakhir yang dibaca, Nai?”

“Murakami. Tapi saya lupa judulnya apa.”

Jawabnya menerawang mengerutkan dahi berusaha mengingat lagi. Ia mengaku dewasa ini sering banyak terlupa beberapa hal dan mohon dimaklumi karena umurnya tak lagi muda. Apalagi ketika saya katakan apa yang telah ia dapatkan dalam proses berkaryanya yang hampir 20 tahun ini.

“Oh, iya, ya? Masa sih?”

“Belasan lebih tepatnya!”

Bagi saya, karya-karya Djenar seperti menembus aturan-aturan kepenulisan yang saya tahu. Tentang plot, tentang sudut pandang orang pertama dan ketiga. Tentang bagaimana berbahasa yang kadang sulit sekali saya terima. Membaca karyanya, seperti menembus semua batasan dan aturan itu. Karya Djenar adalah penggabungan multi elemen sekaligus pembenturan satu sama lainnya.

Menurutnya, berkarya tidak melulu bagaimana respon orang-orang terhadap karya tersebut. Sebagaimana yang telah ia alami selama ini. Semua juga berjalan sebagaimana mestinya. Nai, mengaku peduli dan betapa mencintai dirinya sendiri. Pada permulaannya, ia seperti tak terima jika ada orang-orang yang berniat menghancurkan dirinya. Baik secara personal mau pun kekaryaan.

“Saya mencintai diri saya sendiri. Kalau dulu saya mungkin bisa mengakatan, tidak akan memperbolehkan orang untuk menghancurkan saya. Namun saya lupa, mungkin saya bisa saja menghancurkan diri sendiri dengan bersikap seperti itu,” ungkapnya.

Perihal seberapa kuat hantaman yang ia terima seperti sudah tak lagi menggoyahkan. Karyanya yang terus-menerus menggaungkan feminism, seksualitas, pelecehan, selangkangan, dan segala tabu yang ketika itu penuh kontroversial, dihadapinya sendiri dengan minim sekali dukungan.

“Tapi saat ini, saya rasa sudah banyak penulis perempuan yang menyuarakan itu!”

Saya bilang kepadanya, sekarang ini belum ada dan bisa saja tidak akan ada penulis perempuan di Indonesia menulis seberani dia.

“Djenar Maesa Ayu, ya Djenar Maesa Ayu sebagaimana adanya. Baik itu kepribadian anda dan kekaryaan tak akan ada yang bisa menyamai. Original dengan keotentikannya seperti refleksi kehidupan nyata kita yang dihadapi sekarang. Namun tabu untuk diceritakan dari mulut ke mulut.”

Djenar menyatukan kedua telapak tangannya lalu meletakkan ke dada seperti berterima-kasih. Lalu ia menggeleng menyampaikan tidak semua yang saya katakan itu kebenaran hakiki. Karena bisa saja berapa puluh tahun kemudian akan terlahir generasi yang menembus batas-batas itu lagi.

“Sekarang, saya tidak akan menghancurkan diri saya sendiri karena orang lain. Dan saya tahu bagaimana memerlakukan diri sendiri. Saya lebih terbuka. Segala pendapat orang-orang baik itu kepribadian atau pun karya yang sudah pasti kamu tahu bagaimana respon masyarakat secara umum.”

Obrolan kami semakin dalam dan saya lupa mengambil foto sebagai dokumen pribadi. Saya mencari Kan Lume, suaminya.

“Dia pasti di sekitaran sini. Ada apa?”

“Saya mencari orang yang bisa memotokan kita. Untuk dokumen saya pribadi!”

“Oh. Iya, sure!…,” Djenar berdiri memanggil Kan Lume!  “Beibh!

Ia meminta tolong ke suaminya sebagaimana yang saya inginkan. Saya menyerahkan hape. Kan Lume memerhatikan kemudian mengembalikan hape saya. Katanya, biar dia memotret menggunakan hapenya saja, dan file akan dikirimkannya ke email.

Lantas, saya berusaha untuk mengatur-ngatur. Memintanya mengambil angle di sana sini. Memerhatikan cahaya lampu. Dan kecemasan lain jika nanti hasil fotonya gelap, karena memang sudah malam. Saya gelisah sekali.

“Mas Nanda! Hellooow… duduk saja. Tolong tenang. He is filmmaker. Dia tahu bagaimana angel yang terbaik!”

Damn! kebiasaan buruk! Saya lupa mereka berdua adalah pasangan sutradara. Menjadi sok paling tahu dan paling pintar soal fotografi di hadapan ahlinya itu menjadi pengalaman paling memalukan.

Djenar menceritakan banyak hal yang sedari awal kami bersepakat untuk tidak semua harus dipublikasikan. Obrolan kami tentang keluarga, tentang seni dan karya, dan bagaimana berkehidupan yang lebih menyenangkan.

“Saya merasa bukan personal yang lebih baik sehingga layak untuk menasehati. Tapi setidaknya dengan cara membuka diri untuk berbicara dan memperbaiki satu sama lain mampu membuat kita lebih dewasa dalam berbagi,” katanya.

Kami membagi banyak hal seakan lupa waktu. Sampai di akhir sesi obrolan itu, saya meminta agar dia menyampaikan kecintaan saya terhadap Dian Arlika. Orang yang paling pertama memperkenalkan karyanya untuk saya baca yang berjudul Jangan Main-Main (dengan kelaminmu). Setelah itu, saya memburu karya-karya Djenar yang lainnya. Sebagai buktinya, saya merekam Djenar mengatakan itu dan saya kirimkan kepada Dian Arlika.

Saya akhiri obrolan itu sembari berterima kasih dengan keramah-tamahan yang tidak disangka. Nice to meet you, Nda. Happy enjoy in Bali! Saya tanyakan apakah kami akan bertemu lagi. “Tentu!” jawabnya.

Dan finally, kita kembali ke malam saya bertemu di Betelnut lagi. Sembari mengobrol santai, saya melihat dua perempuan berjilbab menoleh ke arah kami dan menyebut nama Djenar berkali-kali, sambil menunjuk-nunjuk.

“Mbak. Sebentar lagi akan dua perempuan yang datang ke kita untuk meminta foto dan tanda tangan anda,”

“Ok. Santai saja. Stay here!

Perempuan itu tampak gelisah sekali ingin menyapa dan tak ingin mengganggu obrolan kami. Saya menarik diri, menyudahi obrolan lalu menyapa keduanya. Menyilakan untuk beramah-tamah. Alhasil, saya kebagian tugas untuk memotokan mereka. Sesi obrolan fans dan foto-foto berakhir sembari Djenar memohon diri untuk kembali masuk ke dalam resto.

“Bagaiama perasaanmu setelah bertemu Djenar?”

Saya sapa dia yang terlihat kegirangan sekali dan mengungkapkan malam ini penuh dengan keberuntungan. Padahal, ia berniat nonton Dee tapi buku yang dia bawa dalam tas adalah buku Nayla, dan siapa sangka bertemu dengan penulisnya langsung.

“Saya tidak menyangka! Senang sekali. Padahal saya gak niat, lho bawa bukunya Djenar, karena datang ke sini, kan, mau nonton dan ketemu Dee!”

“Mungkin kamu akan mendapati keberuntungan-keberuntungan lainnya di sini,”

Pintu terbuka. Orang-orang yang tadi mengantre mulai memasuki Betelnut. Saya naik ke lantai dua untuk memudahkan pengambilan gambar. Di luar langit mendung. Mungkin sebentar lagi hujan. Setelahnya, saya mendapati keberuntungan lain yang selalu tak disangka-sangka. @