GELIAT Forum Sineas Banua (FSB) terus bertumbuh dalam mengembangkan dunia perfilman lokal di Kalimantan Selatan (Kalsel). Mengulang sejarah dari tahun ke tahunnya, Ade Hidayat (Pendiri) mengajak sejumlah Ketua Umum FSB tiap periodenya bercerita, yakni Zainal Mutaqqin (2016-2019), Munir Sadhikin (2020-2023) dan Caesariko (2023-2026) di halaman Dharma Coffe, Komplek DPRD, Jalan Pramuka, Banjarmasin Timur.
Dan terbentuknya kelompok sineas lokal ini sejak 24 Juli 2016, kemudian FSB menggelar screening dan diskusi film pendek pertama kali di Imaji Studio, Jalan Djok Mentaya, Banjarmasin, sebuah ruko bertingkat dua. Anak-anak muda pun membicarakan film dokumenter tentang Jum’at Kelabu dan Ir Soemarno, pada 19 Agustus 2016.
Lalu, FSB kembali menggelar di tempat yang sama, yaitu nobar dan diskusi film berjudul I Really Love You Gendut dari karya sutradara Ramona Pratana dan berjudul Intil karya sutradara Yogi, pada Jum’at 16 September 2016. Ruang-ruang inilah, Ade Hidayat ciptakan bersama kawan-kawan untuk merefleksikan sebuah film lokal maupun luar di kalangan anak muda, tak lain adalah mahasiswa.
“Bermula, saya memiliki keresahan tentang film lokal yang berbahasa Banjar belum ada membuatnya di sini,” ucap Ade Hidayat kepada Asyikasyik.com, pada Sabtu (30/7/2023) malam.
Mengingat di tahun 2015, Ade dari Yogjakarta kembali ke kampung halamannya di Banjarmasin. Dia bersama sejumlah kawan sineas pun mulai mendekati dan berkumpul dengan para seniman di UPT Taman Budaya Kalimantan Selatan.
Mulai dari sana, Ade mengaku jaringannya mulai bertambah dan terbantu oleh kelompok seni yang bergeliat di dunia keaktoran. Sehingga, dia tak merasa kesulitan lagi mencari tokoh atau pemeran dalam film yang bakal digarapnya.
“Waktu itu, saya melihat potensi kawan-kawan untuk mengembangkan di Banua. Sehingga, perlahan memiliki semangat untuk membangkitkan sineas,” ungkap Ade, tersenyum.
Di sela itu, Zainal Muttaqin mengingat sisa-sisa kenangannya saat bergabung di FSB. Di kediaman seorang fotografer, Acid Ridha. Di selasar dalam rumahnya berukuran 3×5 dengan memiliki dinding bertembok putih, dia bersama kawula muda berdialog dan membicarakan perihal tentang film Banjar.
Pemutaran film pertama itu, Zainal masih ingat dengan proyektor mini yang nyaris buram. Sehingga, mereka pun memperkecil layar agar terlihat nampak gambarnya.
“Karena, belum ada support FSB dulu. Bahkan, kami menggunakan dana pribadi dulu untuk berlangsung beberapa kegiatan itu,” kata Enal, sapaan akrabnya itu yang meraih sebuah penghargaan SATU Indonesia Awards dari PT Astra Internasional Tbk, sebagai penggerak film lokal di tahun 2018 lalu.
Zainal menyatakan sosok Ade Hidayat, seorang yang pernah bekerja di MetroTV itu membakar semangat untuk bergerak di dunia sineas. Antara pertemuan kedua atau ketiga, dia mengaku andaikata tidak diberi dorongan kuat itu maka tak ada sekelompok anak muda yang tergabung, bahkan terlahirnya sebuah FSB tersebut.
Kala itu, Zainal bersama sejumlah anggota Photography, Conceptual & Cinematography (PCC) Community Banjarmasin selesai mengikuti pelatihan dari Pusat Pengembangan Perfilman dari Kemendikbud, sekitar tahun 2015 lalu di Kota Bogor.
“Sepulang dari itu, kita bersepakat dan akhirnya terbentuklah komunitas bernama Forum Sineas Banua,” ungkap Zainal, seorang guru film di SMK 3 Banjarmasin.
Lika-Liku Film Lokal dan Sejumlah Program
Sekadar diketahui bahwa Forum Sineas Banua menginisiasi tiga kegiatan atau program, yaitu Ngofi (Ngobrol FIlm), Layar Film Banjar (LFB) dan Aruh Film Kalimantan (AFK). Zainal mengatakan, kini AFK sudah di luar dari FSB dan berdiri sendiri, nantinya bakal dibentuk panitia secara organik yang dicari dari kalangan sineas.
Kemudian, mereka memiliki Badan Usaha (Bahu) Forum Sineas Banua. Di sekretariat FSB, terdapat pula wadah bernama Human As (HAS) Talents, Alemo Films dan sebagainya.
Adapun, Munir Sadhikan mendirikan sebuah Pustaka FSB dengan berbagai ragam buku film yang dikoleksinya. Sejak 3 Januari 2022, dia memposting buku-buku bergenre film yang diinisasi bersama pengurusnya, demi mengarsipkan sejumlah literatur film.
“Sangat langka dan jarang orang-orang memilikinya, hanya sekelompok tertentu saja. Jadi, kami sangat senang jika ada yang menyumbangkan buku film,” terang dia.
Kemudian untuk menjawab pertanyaan dari Iman Satria, wartawan Barito Post. Munir menjelaskan kini sebuah film dijual ke penonton tak hanya tampilan atau panorama di dalamnya saja. Tetapi, dia mengungkapkan esensi utamanya adalah cerita di sebuah karangan film tersebut.
“Sebuah tempat eksotis memang jadi formula untuk jualan film, seperti Bulan Terbelah di Langit Amerika dan sebagainya. Kayaknya perfilmnya di Kalsel, tak bisa ke wilayah situ dulu. Karena, ekosistem film kita masih merangkak,” ujarnya.
Munir berpandangan, bukan soal tempat atau akses panoramanya tetapi kekurangan riset mendalam terkait orang-orang di dalamnya. Lantas, dia melihat potensi humanis dari wilayah-wilayah terdalam di Kalsel sangat menjanjikan untuk digarap.
Bahkan, Munir menilai yang kurang dari sejauh ini adalah riset kecil tentang orang-orang Banjar di bagian hulu atau pedalaman Kalsel. Karena, dia menyinggung naskah film masih kurang ke ranah sana dan banyak catatan untuk dikembangkan.
FSB pernah melaksanaan nonton bersama mahasiswa dan masyarakat umum selama 9 hari, terhitung dari 21 Maret hingga 31 Maret 2022.
Dengan total 41 film Banjar yang ditayangkan di Plasma Centra City, Keenya Cafe, Kampung Buku dan STB Uniska.
Diakhir, Caesariko berencana menjadikan Forum Sineas Banua sebagai yayasan. Sebelumnya, dia menyebut sebagai rumah komunitas yang berdikari dalam menghimpun sejumlah sineas atau filmaker lokal.
“Tujuannya agar memiliki landasan hukum yang jelas, demi menginfluence banyak orang. Walaupun itu masih sulit, karena melihat dananya dan persoalan lain,” kata dia.
Riko ingin mendirikan sebuah yayasan atas banyaknya masukan dari para pendiri dan pengurus, namun masih dalam tahap awal penjajakan. Dia melihat potensi menjadi yayasan, nantinya akan memudahkan bekerja di dalamnya.
Karena sebelumnya, Riko menganggap sebuah komunitas hanya sebatas ruang belajar saja, bukan pekerja film. Sebab, dia mengaku sulitnya sebuah komunitas bergerak apalagi bertahan, lantaran memiliki kesibukannya masing-masing.
“Layaknya sebuah lilin, saat ketiup kemudian nyata lagi dan begitu seterusan, sehingga kami ingin menginisiasi yayasan agar berdiri secara resmi dalam hukum dan mengembangkan film lokal agar lebih baik lagi,” pungkasnya.@