“Sudah sekian lama kita berlayar, tapi kenapa lautan seperti masih menyimpan amarah, tak pernah kita temui keadaan laut sedang tenang.”
“Barangkali laut juga ikut marah dengan pelarian kita.”
“Jadi menurutmu apa kita masih butuh agama dan pelarian ini keliru, begitu?”
Dua lelaki terlibat perbincangan saat gelombang laut tak henti-hentinya mengganas sejak mula keberangkatan mereka. Nyaris seminggu mereka berada di atas kapal, selama itu pula mereka ditemani hempasan gelombang dan amuk samudra. Kadang kapal oleng ke kiri, di lain waktu miring ke sisi kanan. Seluruh penumpang khawatir, tersebab perbekalan semakin menipis, sedangkan tanda-tanda berlabuh masih belum tampak.
“Sudahlah! Akhiri perdebatan bodoh kalian itu. Semuanya telah kita sepakati sejak awal, bukan? Tentang keadaan laut ini, tidak ada kaitannya dengan keputusan yang kita ambil. Kita memang sedang berada di wilayah yang rawan cuaca buruk.” Seorang lelaki yang dituakan dalam rombongan itu menengahi.
“Lebih baik kita pikirkan bagaimana caranya terbebas dari lautan ini dan menemukan daratan,” lanjutnya.
Lalu suara hening, selain pekikan dan amuk badai yang kian menjadi.
***
Barox masih terpaku dengan napas tersengal dan terengah di ujung geladak. Janggut dan rambutnya yang panjang bergoyang ditiup angin. Tenaganya tinggal sisa-sisa setelah sekian hari melewati amuk badai. Kini, kapal itu masih terombang-ambing di tengah laut, namun ombak telah reda, memberi penghuni kapal napas lega, setelah dada berdebar sepanjang pelarian. Hampir saja mereka percaya, bahwa pelarian mereka semacam kutukan, dan amuk badai itu serupa hukuman yang didedahkan Tuhan karena telah mengabaikan-Nya.
Andai bukan Barox salah satu penumpang kapal itu, pastilah mereka sudah memutar haluan, kembali ke tanah Xuros tempat mereka berasal, lalu setiap hari menyaksikan kembali perang yang tak pernah berkesudahan akibat pertikaian masalah agama. Tanah mereka sepanjang tahun dirundung malang. Perang meletus tanpa tahu waktu dan musim. Nama Tuhan masing-masing berkumandang memecah langit, tapi disaat bersamaan, manusia-manusia dibantai, untuk mendapatkan pengakuan agama mana yang lebih baik.
“Maukah kalian terus-terusan mendiami tanah jahanam ini, jika tiap waktu kita tidak mendapatkan ketenangan? Lihatlah kerusakan yang ditimbulkan. Semakin lama, kian banyak pula orang-orang yang mati, berdiam di sini hanya akan menunggu antrean maut menjemput.” Begitu dulu Barox memprovokasi orang-orang untuk segera meninggalkan tanah itu.
“Lalu apa yang harus kita lakukan, Barox? Agama kita dihina, tidak ada jalan selain berperang menghabisi musuh. Bukankah demikian yang disampaikan ayat-ayat dalam kitab kita.”
“Omong kosong semua itu. Ayat-ayat yang kalian agungkan itu hanya mendatangkan kehancuran. Berhentilah memelintir ayat itu agar tidak terlalu banyak korban yang jatuh.”
“Kau sesat, Barox. Tuhan akan menghukummu. Kau berbicara seolah tak butuh agama dan Tuhan. Terkutuk kau!”
Barox paham risiko perkataannya, ia akan diasingkan atau bahkan terancam ikut dimusnahkan. Itulah kenapa, diam-diam pula Barox berencana untuk kabur dan meninggalkan tanah kelahirannya menuju tempat yang jauh. Dini hari, saat banyak orang terlelap, Barox beserta beberapa orang yang berhasil diyakinkannya mulai mengarungi lautan lepas. Persetan dengan agama, pikir Barox. Ia ingin mulai hidup tanpa ada embel-embel agama yang melekat di dalamnya.
Sepanjang usianya yang telah lewat separuh abad, sudah terlalu banyak permasalahan terkait agama yang berseliweran dalam hidupnya. Setidaknya itu yang dirasakan Barox, agama hanya omong kosong yang digaungkan para pemujanya, tak ada kedamaian dan ketenteraman di dalamnya.
Barox berdiri di atas kapal itu, sepintas ia melayangkan pandang ke seluruh penghuni kapal. Semuanya memancarkan wajah lelah, kuyu. Hanya dua puluhan kepala, dengan sedikit sekali perempuan di dalamnya. Dua puluhan orang yang dianggap Barox sebagai manusia pilihan yang mendengarkan titahnya. Turut pula sepasang anjing hitam dan belakangan seekor burung berparuh besar yang hinggap secara tiba-tiba.Hal itu mengingatkan Baroxpada kisahseorang nabi yang dulu diceritakan kakeknya terjadi dalam sejarah suatu agama. Nabi itu membawa pengikutnya yang mau beriman beserta sepasang binatang-binatang.
Barox kecil memang sering mendengarkan cerita dan peradaban dari berbagai agama yang tumbuh dari cerita kakeknya. Sang kakek merupakan pemuka dalam agama yang diyakininya. Kakek pula yang mengajari Barox mengenali bermacam pengetahuan agama lain, hal yang tidak ia dapatkan di mana pun. Kakeknya terkenal jujur, adil, dan memang menguasai banyak ilmu. Tak heran ia menjadi pemimpin tertinggi agama di tanah Xuros. Namun jabatan itu pula yang membuat sang kakek merana di usia tua. Kakeknya difitnah dan dipenjara hanya karena memberi izin dua orang berbeda keyakinan tinggal di Xuros. Keputusan itu dicerca banyak orang, hingga kakeknya dilengserkan secara keji.
Itulah pertama kali Barox meragukan kemuliaan agama. Ajaran agama yang selalu didengungkan mengandung kebaikan dinilainya hanya isapan jempol belaka. Bagaimana mungkin manusia masih menganggap agama sebagai obat dari segala keresahan hidup, jika agama sendiri yang jadi punca darisumber masalah? Bertahun-tahun sesudahnya, Barox terus menyaksikan rentetan pertikaian yang mewarnai kehidupan orang-orang Xuros. Pemuka agama berlomba-lomba mengutip ayat-ayat dalam kitab dan menafsirkan sendiri pengertiannya.
“Sesungguhnya orang-orang yang berbeda keyakinan denganmu merupakan kelompok yang durhaka. Maka, perangilah! Hingga mereka menemukan kebenaran.”
Barox masih mengingat jelas sepotong ayat itu yang menjadi landasan bagi pemuka agama di tanah Xuros untuk membakar semangat para pengikut. Ayat itu pun sukses menyelusupkan kebencianpadatiap generasi, lalu perang tercipta sepanjang tahun. Barox yang tak sanggup lagi menahan kepedihan melihat itu semua, memilih kabur. Hingga sekarang, ia masih tak mampu menjawab sebuah pertanyaan yang senantiasa berdengung dalam kepalanya. Apakah memang benar manusia memerlukan agama untuk hidup tenang?
“Barox, lihatlah! Di ujung sana sepertinya ada daratan yang cukup luas. Mungkin di sana kita bisa beristirahat atau justru menetap, melanjutkan kehidupan.”
Barox terkejut, melihat dengan saksama ke arah yang dimaksud. Benarlah, ada setitik noktah yang samar terlihat menyempil. Kebahagiaan merekah di dada Barox. Tak sabar menyambung hidup di tanah baru. Tanpa agama-agama yang membelenggu.
***
Sebetulnya pernah pada suatu masa, Barox begitu percaya bahwa agama merupakan jalan suci yang akan mengantarkan seorang manusia pada kebaikan. Ia mencoba berbuat baik kepada semua orang, mengerjakan semua perintah yang menjadi seruan, dan meninggalkan semua larangan. Masa itu, bagi Barox merupakan masa penuh cinta. Sebagai cucu seorang pemimpin agama, Barox memang kerap mendapatkan privilese dalam segala hal. Ia mengikuti kakeknya berkunjung ke bermacam tempat, bertemu pemimpin agama lain. Barox sering pula mendapatkan hadiah dari teman-teman kakeknya yang berbeda keyakinan berupa buku-buku dan kitab dari agama tertentu. Sang kakek tak pernah keberatan jika Barox mempelajari semuaitu, hingga memasuki masa remaja, Barox telah khatam banyak buku.