Suatu kali, seorang laki-laki bertemu seorang perempuan. Mereka kemudian berbicara tentang cuaca, film-film dan buku-buku terbaru, pemilihan presiden, dan segala macam. Lantas mereka sama-sama tahu kalau mereka saling jatuh cinta satu sama lain.

“Menikahlah denganku,” kata si laki-laki.

Perempuan itu menggeleng. Kemudian pergi.

Si laki-laki berusaha mengejar perempuan itu. Ia terus bertanya ini itu dengan tangan bergerak ke sana ke mari di samping si perempuan.

“Kenapa?” kata si laki-laki bertanya. “Kenapa kau tidak mau menikah denganku? Setidaknya, beri aku penjelasan.”

Si perempuan terus menggeleng. Perempuan itu tidak mau membuka mulutnya. Dan perempuan itu berjalan semakin cepat.

Kemudian mereka sampai di depan rumah si perempuan. Si perempuan berhenti dan memandang si laki-laki yang juga ikut berhenti. Namun perempuan itu tidak bicara apa-apa. Ia hanya memandang tajam si laki-laki dan laki-laki itu salah tingkah karenanya. Si laki-laki menendang-nendang kerikil di bawah kakinya. Kemudian si perempuan masuk ke dalam rumah dan mengunci pintunya dari dalam.

Si laki-laki mengetuk-ngetuk pintu rumah itu. Namun si perempuan tidak mau membuka pintu. Lantas si laki-laki berteriak menyampaikan bahwa ia tidak akan pergi ke mana-mana dan terus menunggu si perempuan keluar dari rumah, bahkan jika itu berarti ia harus selamanya berada di sana.

Laki-laki itu duduk di lantai teras. Ia memegangi kepalanya dengan kedua tangan. Sesekali ia menoleh ke arah pintu, berharap pintu itu bakal terkuak dan si perempuan muncul dari sana.

Namun pintu itu tidak terkuak. Dan perempuan itu tidak keluar.

Menjelang gelap tiba, si laki-laki memutuskan mengetuk pintu sekali lagi. Ia berteriak-teriak memanggil si perempuan. Namun tidak ada tanda-tanda si perempuan bakal keluar. Kemudian si laki-laki mengintip dari kaca jendela yang terbuka tirainya. Ia tidak menemukan si perempuan duduk di sofa ruang tamu.

Kemudian laki-laki itu berputar mengelilingi rumah. Ia menemukan sebuah jendela dengan kirai-kirai yang memungkinkannya mengintip ke dalam. Dan ia mengintip.

Di balik jendela itu, si laki-laki melihat si perempuan tengkurap di kasur berlapis seprei biru dan membenamkan kepala di atas bantal yang terlihat empuk berwarna putih. Tubuh perempuan yang terbungkus kemeja longgar itu berguncang.

Laki-laki itu tahu si perempuan menangis.

Laki-laki itu berpikir untuk mengetuk jendela. Namun ia buru-buru membatalkan keinginannya. Ia tak ingin mengganggu perempuan yang sedang menangis. Maka ia kembali ke teras, dan duduk di sana.

Laki-laki itu berjanji kepada dirinya sendiri untuk terus menunggu.

Lelaki itu segera berdiri dan mendekat ke pintu ketika lampu teras dinyalakan dari dalam. Ia mengira perempuan itu sudah luluh oleh kesungguhannya menunggu dan memutuskan untuk menemuinya, lantas membicarakan masa depan mereka berdua.

Namun pintu tidak terbuka. Lelaki itu mencoba mengintip sekali lagi dari jendela kaca. Dan perempuan itu tidak ada di ruang tamu.

Maka lelaki itu mengembuskan napas besar, kemudian kembali ke tempatnya semula. Duduk dan menunggu.

Laki-laki itu tidak tidur semalaman. Ia terus memandangi pintu seperti seekor anjing yang setia. Keesokan harinya, ia kembali ke jendela kamar berkirai untuk mengintip apa yang sedang dilakukan oleh si perempuan.

Ia melihat perempuan itu tertidur tanpa busana, telentang dengan pucuk-pucuk payudara menjulang ke atas. Mungkin perempuan itu selalu tidur tanpa busana. “Seharusnya ia memasang kirai rapat yang tidak bisa diintip,” pikir laki-laki itu.

Kemudian perempuan itu berguling hingga si laki-laki bisa melihat dengan jelas ada sepasang sayap di punggung si perempuan. Sayap itu lebar dan tipis dan nyaris transparan seperti sayap capung hingga si laki-laki tak menyadari keberadaannya – atau tanda-tanda keberadaannya – ketika ia bertemu perempuan itu sebelumnya. Lagipula, pada waktu bertemu sebelumnya itu, si perempuan mengenakan kemeja yang longgar dengan lengan yang digulung ke atas.

Laki-laki itu tidak bisa menguasai dirinya. Ia menggedor-gedor jendela itu dan berteriak-teriak seperti kesetanan.

“Aku tahu sekarang,” teriaknya, “aku tahu kenapa kau tidak mau menikah denganku.”

Si perempuan akhirnya membuka pintu dan membiarkan si laki-laki masuk. Wajah perempuan itu pucat sekali dan ia tampak serba salah.

“Sekarang kau tahu siapa aku,” kata perempuan itu pada akhirnya.

“Aku sudah menduganya,” kata si laki-laki, “aku sudah menduganya begitu aku melihatmu. Tidak mungkin ada kecantikan seperti kecantikan yang kau punya yang berasal dari bumi yang fana ini. Sekarang katakan padaku, bagaimana kau jatuh?”

“Kenapa aku harus menceritakannya?” kata si perempuan bertanya, “agar kau bisa melaporkan lewat doa-doamu bahwa ada seorang bidadari yang kabur dari surga dan kemudian menyamar menjadi manusia dan tak ingin kembali ke surga?”

“Tentu saja tidak,” kata si laki-laki. “Kenapa kau berpikir begitu buruk tentangku?”

Si laki-laki tampak kesal sekali. Kemudian ia menghela napas besar, lantas mencondongkan tubuhnya ke depan. “Dengarkan aku,” kata si laki-laki. “Jadi, aku ini adalah…”

Si laki-laki kemudian bercerita bahwa ratusan tahun yang lalu, sekelompok bidadari memutuskan melakukan pembangkangan terhadap Hyang Indra di surgaloka.

“Mereka tidak mau mengambilkan makanan untuk para dewa, mereka tidak mau membersihkan kamar para dewa, mereka tidak mau disuruh ini itu, dan yang lebih penting lagi, mereka tidak mau lagi melayani para dewa,” kata si laki-laki. “Kau tahu yang kumaksudkan dengan melayani kan? Intinya, mereka menuntut persamaan hak dan derajat dengan para dewa.”

Lantas Hyang Indra yang marah mencabut berkah dari kepala para bidadari itu, dan demikianlah para bidadari itu berjatuhan ke bumi yang fana.

Di bumi yang fana, para bidadari itu mengembara. Bertahun-tahun mereka mengembara hingga suatu waktu, mereka tiba di Mataram. Lantas pada suatu hari, Sultan Agung menemukan para bidadari itu, kemudian sang sultan mendandani para bidadari itu dengan pakaian-pakaian tertentu dan menyuruh mereka menari dan menyebut mereka ronggeng.

Para bidadari itu tidak bisa pergi ke mana-mana lagi sebab mereka memang tak tahu lagi mesti pergi ke mana. Oleh karena itu, mereka menuruti semua yang diperintahkan oleh Sultan Agung. Mereka melayani sang sultan seperti dulu sekali mereka pernah melayani Hyang Indra.

Lantas kabar tentang para bidadari yang menjadi ronggeng itu tersebar ke mana-mana. Orang-orang datang dari berbagai tempat untuk melihat mereka. Dan orang-orang itu juga minta dilayani ini itu dan sebagainya.

Sultan Agung yang murah hati mengizinkan siapa pun minta pelayanan kepada para bidadari tersebut.

Lantas suatu kali, seorang laki-laki bernama Cebolang tiba di Mataram. Amongthrusta menjamu Cebolang dan membawa laki-laki itu menyaksikan para ronggeng yang juga para bidadari itu, dan begitulah Cebolang jatuh hati kepada semua bidadari tersebut. Cebolang menghabiskan malam untuk tidur bergiliran dengan para bidadari tersebut, dan beberapa waktu kemudian, salah satu dari bidadari itu melahirkan seorang anak.

“Anak itu kemudian tumbuh dewasa seperti lazimnya setiap anak manusia. Lantas ketika tiba masanya, anak itu menikah dan mempunyai keturunan. Keturunannya itu tumbuh besar dan pada saatnya, juga mempunyai keturunan lagi. Dan begitu seterusnya hingga pada suatu hari, lahirlah aku,” kata si laki-laki. Kemudian ia berhenti sejenak untuk melihat reaksi si perempuan. Dan perempuan itu tampak tidak terkejut mendengar ceritanya. Perempuan itu tetap diam sambil memotesi kuku-kuku jari tangannya sendiri.

“Jadi sekarang kau tahu,” kata si laki-laki, “aku adalah keturunan bidadari. Dan aku selalu penasaran bagaimana rasanya terjun dari surga ke bumi yang fana.”

“Jadi sekarang kau tahu,” kata si perempuan, “kenapa aku tidak mau menikah denganmu.”

“Karena kau takut aku takut melihat sayapmu atau melaporkanmu lewat doa-doaku bahwa ada seorang bidadari yang kabur dari surga dan menyamar menjadi manusia dan memilih tinggal di bumi yang fana?” kata si laki-laki memastikan.

“Tidak,” kata si perempuan. “Aku takut kehilangan kebebasanku. Sama seperti leluhurmu.”

Si laki-laki menghela napas besar. Ia kemudian menyandarkan punggungnya ke punggung sofa. “Tapi aku tidak akan melakukan hal semacam itu. Aku mencintaimu.”

Si perempuan hanya tersenyum. Kemudian perempuan itu keluar rumah. Di halaman, ia merentangkan kedua sayapnya. Kemudian ia melesat tinggi sekali dan terbang menjauh.

Si laki-laki menatapnya. Lantas merasa sangat menderita.

Mereka tak pernah bertemu lagi selama-lamanya.@

Facebook Comments