Ketika Kesultanan Banjar berdiri tahun 1526, warga Tiongkok sudah ada di Tanah Banjar. Momen yang sangat penting adalah pada tahun 1736, ketika Sultan Hamiddullah berkuasa, ia mengangkat Liem Bian Kho sebagai Kapten Syahbandar di Pelabuhan Tatas, serta mengizinkan berdirinya perkampungan Pecinan. Tahun 1850, berdasarkan sensus pada waktu itu, sudah ada lebih 2000 warga Tionghoa di Banjarmasin.
Hal itu terungkap dalam diskusi Peran dan Kiprah Tionghoa Banjar dalam Lintas Sejarah pagi Sabtu (4/9/2021), bertempat di Rumah Alam Sungai Andai, Dalam diskusi yang digelar Lembaga Kajian Keislaman & Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin ini berkumpul para tokoh Tionghoa yang tinggal di Banjarmasin.
Hadir sebagai pemantik diskusi Romo Sarwa Darma, Hadi Nugraha Gema, Arifin Suritiono, Sugiharto Hendrata, dan sejarawan Mansyur, serta Humaidy. Selain itu hadir juga para tokoh lainnya, Sumpono Kang Martono, Winardi, Johan, pengamat sejarah dan pendidik dari Banjarbaru, Joko, dan peserta lainnya dari berbagai kalangan.
Tampak juga dari komunitas sineas film Ade Hidayat, Efan, dan dari LK3 Banjarmasin sendiri dihadiri direktur Abdani Solihin, Paula, Rafiqah, Rakhmalina, dan Noorhalis Majid. Semuanya terlibat dalam diskusi yang sangat hangat, serta mengundang rasa penasaran karena mengungkap berbagai lipatan sejarah tersembunyi, bahkan mungkin sengaja disembunyikan serta dihilangkan karena berbagai kepentingan.
Sudah diketahui umum, warga Tionghoa lama bermukim di tanah Banjar. Mungkin sejak pertama kota ini terbuka dengan para pendatang. Terutama ketika jalur perdagangan mulai ramai, dan banyak bangsa-bangsa mendatangi tanah Banjar, pada saat itulah bangsa Tiongkok mendarat di tanah Banjar. Jejak sejarahnya sangat kuat, terbukti ada dua Klenteng yang berdiri megah di tengah kota, ada kampung Pecinan, sama seperti Pecinan yang ada di kota-kota lain di Indonesia – bahkan dunia.
Kedatangan yang sudah cukup lama, tidak terhindarkan terjadi pembauran. Budaya, tradisi, adat – kebiasaan dan bahkan agama, membaur sedemikian rupa. Begitu juga proses kawin-mawin, melahirkan generasi dan pembauran yang semakin kental.
Bahkan terungkap sejarah Phang Tje yang diudang secara khusus ke Istana Banjar untuk mengerjakan ukiran untuk bangunan istana, hingga kemudian dia kawin dengan keluarga Istana Banjar dan menetap, melalui anaknya yang masih menggunakan nama Tionghoa Phang Kwan dan Phang Kiu kemudian menurunkan banyak warga keturunan Tionghoa.
Juga terungkap tokoh nasional asal Banjarmasin yang terlibat dalam pergerakan nasional namun kemudian nasibnya berujung tragis. Liem Koen Hian, lahir 1896, seorang tokoh wartawan dan politik era Hindia Belanda dan berperan dalam BPUPK, berjuang mempersiapkan kemerdekaan Republik Indonesia. Begitu juga dengan peran warga Tionghoa dalam militer, terungkap banyak yang bergabung dalam ALRI Divisi IV, misalnya Lie Kie Ming, atau dikenal juga dengan kapten Ali Budiman. Lie Kie Ming, seorang yang semula bekerja di bengkel sepeda, namun kemudian menjadi ahli perakit senjata untuk kebutuhan perjuangan. Dalam perjuangannya, mengajak puluhan kawan-kawannya ikut berjuang bersama pejuang lainnya di Kandangan.
Juga terungkap peran dan jasa para tokoh Tionghoa dalam mendirikan Universitas Lambung Mangkurat. Bahkan sejumlah donator, adalah warga Tionghoa. Karena andil yang cukup besar, akhirnya bendahara dan sekretaris Universitas Lambung Mangkurat pada waktu itu diisi warga Tionghoa. Pun dalam pendirian Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi, Fisip dan Fakultas Kesehatan, tidak terlepas dari peran para tokoh Tionghoa.