(Penerjemah: Mochamad Bayu Ari Sasmita)

AKU sedang berbaring di kasur ketika mengetahui kematian si novelis.

Terbangun dari sebuah mimpi panjang yang hanya terisi dengan kegelapan yang membingungkan, pikiranku masih kabur ketika aku menjangkau iPhone-ku di samping bantalku untuk memeriksa jam. Saat mataku tertuju pada layar kecil, aku menemukan berita itu di bagian Top Stories.

Itu adalah sebuah kalimat yang terdiri atas huruf-huruf kecil. Aku mengerti kata-kata itu tapi tidak dapat benar-benar memahami maknanya. Aku coba berbicara dengan suara keras “Hmmm”—kemudian lagi, “Jadi, dia mati.” Aku merasa ingin berbicara kepada seseorang tentang hal ini, tapi tak terpikirkan siapa yang perlu kutelepon atau bagaimana caranya untuk mengangkat topik itu. Aku hanya menatap pada layar dalam diam.

Novelis itu rupanya telah dirawat untuk beberapa waktu. Berita itu mengabarkan bahwa pemakaman hanya dihadiri oleh keluarga dekatnya dan beberapa sanak famili. Tapi dia memiliki begitu banyak pembaca—setiap orang mesti membicarakan hal ini sekarang. Pikiran itu dengan suatu cara membuatku depresi. Aku diharapkan meninggalkan rumah dalam dua jam, tapi aku tidak lagi merasa ingin pergi bekerja dan menekan angka pada daftar, berurusan dengan orang, membuka kardus, mengembalikan barang-barang, menyortir tagihan, hal semacam itu. Aku menelepon dalam sakit, meminta maaf dan berkata bahwa aku demam, dan lanjut berbaring di kasur. Ketika aku kemudian bangun, aku telah tidur selama hampir lima jam.

Saat itu adalah awal malam ketika aku akhirnya beranjak dari kasur. Tanpa harus melakukan sesuatu, aku berjalan menuju dapur untuk membasuh beras, dan mulai berpikir tentang bagaimana aku harus menghabiskan sisa malam.

Aku memiliki setiap buku yang ditulis novelis itu. Aku telah membaca semuanya. Ketika aku masih muda, atau bahkan lebih muda lagi, aku telah membacanya berkali-kali dari depan ke belakang. Well, begitu juga dengan banyak orang lain, karena dia adalah tipe penulis yang paling dibaca dan dicintai oleh populasi pembaca Jepang. Tetap, aku merasa aneh oleh berita itu. Itu bukanlah kesedihan atau frustrasi sepenuhnya—hanya sebuah sensasi perih yang terkadang menimpaku. Mungkin aku mengalamai semacam syok. Bagaimana caramu mengatakan “syok” dalam bahasa Jepang? Sebuah tamparan? Perasaan rusak? Kata “rusak” bahkan bukan bahasa Jepang. Aku terus berpikir ketika aku membasuh beras. Mungkin “kegelisahan” adalah kata untuk mendeskripsikan perasaan hampa ini, keadaan tenggelam ini—kegelisahan dari tidak memahami sepenuhnya karena seseorang berada di tengah-tengah kekacauan. Segala yang kuketahui adalah fakta bahwa aku tidak memahaminya. Coba memikirkannya, ini adalah sebuah perasaan yang terasa familiar untukku sejak kanak-kanak—perasaan meringkuk sendirian dalam sebuah kabut yang tak mau terangkat.

Aku mengatur waktu pada mesin penanak nasi otomatis dan duduk di sofa, melirik pada rak buku untuk mencari yang mana dari bukunya yang harus kupegang. Terkadang itu tidak terasa benar. Aku bediri dan kembali ke dapur untuk membuatkan diriku sendiri sebuah teh.

Aku menuangkan kantong teh terakhir. Mengisi mug, air berputar-putar dalam berbagai bayangan warna cokelat. Ketika aku menatap kosong pada pola itu, aku mengingat kata-kata, sampul-sampul buku, dan … apa pun yang berasal dari masa remajaku ketika pertama kali membaca buku-bukunya. Bagaimana caraku menjelaskannya? Ini bukanlah sebuah aroma atau pemandangan tertentu yang kuingat—juga bukan seragam sekolah kami atau percakapan khusus lainnya. Itu adalah potongan-potongan kecil dari hal-hal di sana-sini yang tidak bisa dipungut kembali—seperti jalan yang kami lalui, pertama kali ketika dia memberitahuku tentang si novelis, waktu yang tak terhitung dan hari-hari yang kami lalui bersama, surat-surat yang kami tukar. Ketika aku mengambil kantong teh dari mug dan meletakkannya pada sebuah piring kecil, aku mengingat Amamiya.

“Ya, itu agak bagus.”

Kami adalah teman sekelas di SMA. Dalam perjalanan pulang dengan kereta dari darmawisata sekolah, aku menyadari Amamiya duduk seorang diri asyik dalam sebuah buku. “Apa itu yang kaubaca? Apakah itu bagus?” tanyaku, dan tentu dia menjawab, mendongak sebentar dengan sebuah ekspresi yang terlihat kontradiksi dengan yang dikatakannya.

Dari sana, Amamiya meminjamiku buku-buku dari seorang novelis yang hanya pernah kudengar namanya. Aku dengan segera tertarik, dan kami mulai berbicara tentang banyak hal—novel-novelnya, novel lain, musik yang kami sukai. Kami menemukan bahwa kami berdua menyukai membaca sejak kami kecil. Tak seorang pun dari kami yang membayangkan bertemu seseorang yang bisa kau ajak berbicara tentang buku-buku, apalagi seseorang dari sekolah.

Kemudian, tidak cukup untuk berbicara di sekolah setiap hari. Kami saling menelepon, menulis surat. Tidak butuh waktu lama bagi kami untuk menjadi lebih dari teman, dan kami mulai berkencan sekitar akhir SMA di sekolah. Kami putus pada musim panas saat kami berusia dua puluh satu.

Suatu kali, ketika Amamiya dan aku sedang berjalan di taman botani sebagaimana yang terkadang kami lakukan, kami membuat janji bahwa kami akan bertemu kembali jika si novelis meninggal dunia. Tak peduli di mana kita berada? Ya. Bahkan jika kita berkencan dengan orang lain? Hu-uh. Bahkan jika kita berdua telah menikah? Yap. OK. Dan jika kita berdua benar-benar tua dan hampir mati? Ya. Kami memutuskan untuk bertemu di pintu masuk taman botani, pada pukul dua di hari Minggu pertama setelh si novelis meninggal dunia. Itu adalah taman yang terlihat menyedihkan, tanpa tanaman yang luar biasa atau pemandangan yang menyenangkan untuk dibicarakan, dan perawatan yang buruk pada akhirnya. Itu terlihat siap untuk ditutup kapan pun. Meski terletak di kota pinggiran termasuk jalanan pegunungan, taman itu besar sekali dan kami butuh berjalan beberapa jam—sungguh, berjam-jam—sepenuhnya menarik bagi kami, berbagi cerita yang hanya kami pahami. Pada keluasannya terdapat sebuah tanah yang ditutupi rerumputan dan meski sebuah gunung kecil, dan ketika kau mendaki menuju puncaknya yang sederhana dan melihat ke bawah pada kaki-kaki bukit, kau dapat melihat sebuah kolam teratai yang tertutupi bidang dedaunan hijau gelap yang tak terbatas. Taman itu selalu sepi tak peduli waktu atau tahun apa kau datang. Untuk pengunjung, kami hanya memiliki pepohonan yang tak kami ketahui namanya, atau sebuah pot raksasa yang diisi dengan rumput layu, atau ledakan warna dari bunga-bunga yang mekar. Ketika kami duduk melihat pada jendela kaca pada rumah kaca, retak di sini dan di sana dan berubah menjadi kecokelatan, kami mengalami sebuah sensasi manis bahwa kami adalah dua orang terakhir di bumi. Kami tidak tahu apa pun tentang tanaman, tapi kami mencintai taman botani yang terlihat nyata hanya untuk kami.

Hari ini hari Selasa. Aku tidak membayangkan Amamiya mengingat janji yang kami buat empat belas tahun lalu, tapi jika dia masih hidup dan sehat di suatu tempat, dia pasti telah mendengar berita kematian si novelis. Dan jika dia mengingat janji kami … kemudian, mungkin … dia akan datang.

Aku menyesap teh yang agak panas dan menelannya perlahan ketika aku melihat ke kalender di dinding. Empat hari lagi, kemudian Minggu. Aku menjalani empat pagi dan malam berikutnya dalam mengantisipasi keadaan yang tidak pernah kualami sebelumnya. Aku masih tetap gelisah, tapi kegelisahan sekarang diwarnai dengan rasa nostalgia, diterangi sebuah lampu yang menggapaiku dari kejauhan, sangat jauh. Di saat yang sama, aku bisa merasakan sebuah kegelapan bergema di suatu tempat jauh di dalam.