KAMI membicarakan rencana pembuatan film pendek untuk mengikuti sebuah lomba beberapa hari sebelum bencana banjir datang. Malam sebelum banjir menyapu habis beberapa tempat di Hulu Sungai Tengah, kami masih berbincang via chat WA dengan semangat tentang hal tersebut. Sampai keesokan harinya, banjir yang awalnya hanya semata kaki, di beberapa wilayah di Barabai telah menjadi petaka sesungguhnya. Air meluap, terus naik hingga dada orang dewasa, hingga kepala, hingga lebih dari dua meter. Kawan itu beruntung, rumahnya jauh dari pusat banjir. Tapi saya sempat panik karena hilang kontak dengannya. Bahwa ia dan keluarganya baik-baik saja adalah salah satu berita terbaik bagi saya.
Beberapa hari kemudian, setelah bencana banjir habis menyapu tempat tinggal, kendaraan, kenyamanan, kemapanan, bahkan menghilangkan nyawa, semua orang berkutat dengan krisis pasca banjir. Kawan itu sebenarnya tak benar-benar mengalami krisis, namun rencana pembuatan film akhirnya kami batalkan. Ia tak sempat memikirkan itu, ia harus mengurusi kawan-kawannya yang kehilangan harta benda, berduka untuk mereka, memasak untuk mereka, dan membantu memenuhi kebutuhan harian mereka.
Cerita lain datang dari seorang teman yang ingin mengungsi beserta keluarganya. Ia dan keluarganya tinggal di wilayah Batola. Wilayah itu dalam beberapa hari terakhir mengalami peningkatan debit air. Awalnya hanya semata kaki, makin lama semakin bertambah. Syukurlah bahwa kenaikan air itu tidak terjadi tiba-tiba seperti di daerah Barabai. Namun tetap saja semakin lama semakin mengkhawatirkan. Akhirnya teman tersebut minta dicarikan penginapan, dan alih-alih menginap di penginapan, beberapa orang menawarinya tinggal di rumah mereka yang sedang kosong di daerah aman banjir. Tawaran yang datang dengan cepat tanggap dan suka cita.
Demikianlah. Barangkali salah satu hikmah terjadinya bencana adalah ia memberi kita semua kesempatan untuk membuktikan bahwa kita memiliki kepedulian. Kepedulian yang besar pada sesuatu selain diri kita sendiri. Dan dalam bencana Banjir di banua beberapa waktu ini, pembuktian itu terasa masif, intens dan memukau.
Hampir semua institusi sipil berpartisipasi menyumbangkan bantuan, mengelola dan mendistribusikannya: komunitas-komunitas, lembaga resmi, organisasi, yayasan. Semua elemen masyarakat sipil bergerak. Mulai dari lembaga-lembaga kemanusiaan yang memang ada untuk penanggulangan krisis kemanusiaan semacam ini, sekolah-sekolah, kampus, lembaga pers, organisasi keagamaan, komunitas seni, komunitas hobi, atau bahkan sekadar geng anak muda atau orang dewasa. Mereka semua menjadi relawan tanggap bencana, membuat posko dan memiliki narahubung masing-masing untuk membantu mengumpulkan bantuan serta mendistribusikannya.
Media sosial juga memegang peranan penting membantu meluaskan akses informasi tentang siapa yang memerlukan bantuan dan di mana bantuan harus disalurkan. Agaknya hampir semua orang secara individual maupun kolektif berpartisipasi dalam tanggap bencana ini. Seakan-akan mereka memang terlatih untuk menjadi peduli dan berempati. Dalam beberapa hari terakhir, media sosial, mulai dari Facebook, Instagram, dan juga Whatsapps dipenuhi flyer pihak-pihak yang membuka saluran tanggap bencana, juga dipenuhi berita tentang sesiapa yang memerlukan bantuan secepatnya, dan di mana bantuan seharusnya dialamatkan. Secara kolektif, mereka juga saling mengingatkan untuk meningkatkan kewaspadaan atas krisis yang mungkin masih berlanjut hari-hari ke depan.
Bukankah semua memukau kita? Bagaimana kepedulian bisa menjalar secara kolektif. Sesuatu yang jarang terjadi di masa normal. Yang menarik adalah, tanpa disadari, gerakan bahu membahu, saling bekerja sama, dan saling peduli semacam ini sebenarnya berekses pada menguatnya entitas civil society (institusi sipil) itu sendiri.
Penguatan institusi sipil sendiri tak lain adalah berita baik.
Saya kembali teringat cerita Acemoglu di bukunya Why Nation Fail. Tentang Inggris yang bisa menjadi negara berhasil, semata-mata karena dialektika terus menerus antara institusi sipil dan elit penguasa. Dialektika yang lebih sering dimenangkan institusi sipil, menandakan kuatnya institusi sipil Inggris. Penguatan institusi sipil justru menjadi kunci keberhasilan sebuah negara karena dengannya, tidak ada dominasi kepentingan segelintir elit, yang menonjol adalah apa yang diinginkan seluruh masyarakat terhadap diri mereka sendiri.
Terdistribusinya kekuasaan, kekuasaan tidak tidak berpusat pada titik tertentu memang menjadi karakteristik institusi sipil. Dengan tersebarnya kekuasaan, tidak ada kekuatan yang mendominasi, hal tersebut justru akan menguatkan pondasi kenegaraan itu sendiri.
Sementara itu, untuk mengkonstruksi institusi sipil diperlukan kemauan untuk saling bekerja sama di antara masyarakat. Masyarakat perlu saling memahami, menebalkan simpati dan empati, serta bersedia bersama-sama menyelesaikan suatu perkara demi kemaslahatan bersama. Boleh jadi, bencana bisa melakukan itu.
Bencana, dalam sebuah pandangan kehikmatan –blessing in disguise, adalah simpul untuk mengikat hati masyarakat. Perasaan empati memenuhi rongga dada orang-orang.
Dengan demikian, kita tidak boleh menyia-nyiakannya. Selama ini masyarakat kita cukup abai terhadap kondisi alam Kalimantan Selatan, karena merasa itu persoalan yang jauh dari mereka. Persoalan yang tak ada kaitan langsung dengan kehidupan sehari-hari. Semacam ‘Belanda masih jauh’. Tapi hari ini, rumah-rumah, bahkan desa hilang diterjang Banjir, harta benda entah di mana, nyawa terenggut, tempat tinggal tak bisa lagi ditinggali karena terendam air hingga harus mengungsi, jalanan sulit dilewati karena banjir. Persoalan yang jauh itu tetiba terasa akrab. Masyarakat tersadar bahwa seekstrim apapun cuaca, sepasang apapun air laut, dulu sekali mereka tak pernah mengalami itu. Masyarakat menjadi mafhum, bahwa ada yang salah dengan alam hari ini. Daya dukung dan daya topang lingkungan atas air yang datang dari segala penjuru sudah sangat lemah. Sangat ringkih. Hutan-hutan telah hilang, pohon-pohon yang biasa menahan dan menyimpan air sudah tidak ada. Masyarakat bahkan sudah memahami betul apa penyebabnya.
Dengan kesadaran itu, dan dengan menguatnya institusi sipil, kita mungkin akan mendapati sejumlah hal akhirnya bisa dilakukan dengan lebih maksimal. Perjuangan penyelamatan Meratus dari penambangan korporasi yang selama ini hanya digaungkan segelintir pihak yang memang sangat peduli, bisa kita perjuangkan bersama. Kita juga bisa mendorong lahirnya regulasi yang lebih tegas terhadap usaha pembukaan lahan tutupan yang sekarang hanya tinggal 50% saja lagi (cek data WALHI), kita juga akan bisa mendorong lahirnya regulasi perbaikan lahan yang sudah rusak, reklamasi bekas galian tambang, dan reklamasi hutan-hutan yang sudah gundul. Pun kita juga bisa mendorong terbentuknya sistem mitigasi bencana yang lebih baik lagi.
Kerja yang luar biasa sulit, tapi jika masyarakat kita telah menjadi berdaya, tentu hal semacam itu bukan tak mungkin terjadi. Perasaan senasib telah menyatukan kita, dan barangkali perasaan yang sama selanjutnya juga akan memandu kita. Perasaan nelangsa tentang apa yang mungkin terjadi pada anak cucu kita di kemudian hari. Jika petaka banjir semacam ini adalah kali pertama, artinya ada kali kedua, kali ketiga, keempat dan seterusnya. Jika yang pertama ini saja rasanya tak tertanggungkan, bagaimana dengan yang berikutnya? Kita akan pergi meninggalkan dunia ini suatu hari nanti. Masing-masing kita tentu perlu menanyakan pada diri sendiri, bumi seperti apa yang kita wariskan pada anak cucu kita?
Harapan pada institusi sipil ini mungkin terasa terlalu besar, tapi jika dalam bencana kita bisa melewatinya bersama-sama dengan saling bahu membahu, maka untuk mencegah bencana yang sama dan jauh lebih buruk di masa depan, saya yakin kita bisa. Dengan izin Tuhan.
Wallahua’lam.@