Kali ini saya akan mengulas satu film produksi tahun 2020 yang disebut-sebut akan masuk dalam nominasi Oscar tahun ini, The Trial of Chicago 7 (TTC7).

Seperti biasa, bursa film Oscar didominasi genre drama, dan ada banyak film dari genre ini yang tampak menjanjikan untuk ditonton. Dari sekian banyak itu, saya langsung tertarik dengan TTC7. Ada beberapa alasan ketertarikan itu, pertama, saya memang penggemar trial movie atau film tentang persoalan hukum atau peradilan, Erin Brockovic, film-film dari novelnya John Grisham (Runaway Jury, The Firm, A Time to Kill, The Pelican Brief) atau 12 Angry Men. Yah, film-film semacam itu. Kedua, ada Eddie Redmayne di film itu, alasan sangat subyektif tapi ya itu alasan juga lah ya. Ketiga, karena saya membaca bahwa film ini masuk bursa Oscar yang artinya paling tidak film ini bukan film jelek.

Meski jelas asing dalam khazanah pengetahuan kita, tapi istilah Chicago Seven adalah istilah yang populer dalam kultur Amerika Serikat. Barangkali mirip ketika kita membicarakan Reformasi 1998, maka kita akan juga teringat mengenai peristiwa Tragedi Trisakti. Chicago Seven adalah potongan sejarah mengenai tujuh orang (sebenarnya delapan) yang dikenai tuduhan oleh pemerintah Amerika Serikat melakukan konspirasi melawan negara karena memimpin aksi demonstrasi besar menolak pengiriman tentara Amerika Serikat ke perang Vietnam. Aksi demonstrasi itu berlangsung pada even Konvensi Nasional Capres Partai Demokrat pada Agustus 1968 di Chicago.

Sebelum membicarakan film ini, saya pikir menarik untuk membicarakan dulu mengenai perang Vietnam dalam perspektif masa kini.

Pembaca tentu ingat Rambo bukan? Siapa yang mengidolakannya saat anak-anak? Saya tak. Jika kita melihatnya hari ini, Rambo tak lain adalah bentuk propaganda paling vulgar mengenai kepahlawanan tentara Amerika Serikat di perang Vietnam. Perang yang bahkan sejatinya tak mereka menangkan. Di perang itu, Amerika Serikat kehilangan 58.318 tentaranya (sebagian besar dari mereka adalah pemuda wajib militer yang boleh dikatakan sebenarnya adalah masyarakat sipil yang dimiliterkan), sementara itu di pihak Vietnam dan sekutunya, korban bahkan tak sampai setengahnya. Oke lah, Amerika Serikat menganggap dirinya menang, saat itu. Di mana klaim kemenangan itu memang diperlukan dengan alasan patriotisme, dan harga diri. Meski menarik pasukan dari medan perang sebenarnya tak bisa dikatakan sebuah kemenangan, bukan?

Namun, puluhan tahun setelahnya, bahkan tak sampai puluhan tahun, barangkali setahun dua pasca perang, rakyat Amerika sendiri menyadari bahwa sejatinya mereka kalah. Mereka kehilangan begitu banyak nyawa, anggaran belanja negara dikerahkan sedemikan rupa untuk membiayai perang, hingga terjadi defisit, dan kemunculan trauma pasca perang tentu saja. Pada polling 1978, 78% rakyat Amerika menyadari bahwa perang Vietnam adalah benar-benar salah dan tidak bermoral. Pada tahun 2000, survey menunjukkan bahwa hanya 1 di antara tiap 3 orang yang beranggapan perang Vietnam dilakukan untuk alasan yang layak.

Nah, film ini, di mana sebelumnya telah ada sejumlah film untuk tema peradilan terhadap Chicago Seven, semakin menguatkan pendapat publik Amerika Serikat mengenai betapa kelirunya perang Vietnam itu. betapa tidak sepadannya. Meski saya menangkap kedalaman lain selain pesan tersebut.

TTC7 adalah jenis film yang mendramatisasi sebuah peristiwa sejarah, dan menurut saya, cara film ini mendramatisasikannya lah yang membuat film ini memukau. Ini bukan dramatisasi murahan yang membuat film terasa berlebihan. Sebenarnya di film ini, penonton sudah dikondisikan untuk berpihak pada terdakwa. Mereka adalah para demonstran yang menentang pengiriman warga Amerika Serikat ke medan perang Vietnam, perang yang dalam skema berpikir abad ini dianggap sebuah kesalahan besar. Keprotagonisan itu semakin dikuatkan dengan hadirnya hakim antagonis di ruang sidang.

Di awal sidang, barangkali hingga akhir, kita disuguhi dialog-dialog satir yang oh-sangat-lucu-tapi-tragis. Selama sidang yang dipimpin oleh hakim Julius Hoffman. Yah, hakim ini sebenar-benar tokoh antagonis, bahkan sebelum sidang dimulai ia telah menunjukkan ketidakadilannya dalam memperlakukan terdakwa. Seperti yang ditudingkan terdakwa dan pengacara mereka, bahwa sang hakim bahkan telah memegang vonis bersalah untuk semua terdakwa sebelum mengadili mereka.

Meski begitu antagonis, hakim Julius Hoffman dihadirkan secara komikal, ucapan-ucapan jahatnya, ditingkapi celetukan-celetukan lucu dari para terdakwa terutama Abbie dan Rennie, the Yippies, menjadikan scene-scene pengadilan layaknya film komedi (yang sangat lucu kalau versi saya). Termasuk ketika terdakwa Abbie dan Jerry memakai toga hakim untuk mengolok-olok hakim Julius Hoffman, ketika disuruh melepas, di dalamnya mereka memakai seragam polisi. Hakim ini senantiasa jahat hingga akhir film, dan penonton dibuat terombang-ambing antara ingin memukulinya atau memasukkannya ke rumah sakit jiwa. Betapa dramatisnya.

Sekarang kita akan membicarakan para terdakwa dan pengacara mereka. Ini film dengan ensemble cast alias pemain yang terdiri dari sejumlah aktor ternama, Eddie Redmayne (tentunya) sebagai Tom Hayden, aktivis mahasiswa sekaligus ketua himpunan mahasiswa untuk demokrasi (SDS); Alex Sharp sebagai Rennie Davis, teman Tom Hayden dan anggota SDS; Sacha Baron Cohen sebagai Abbie Hofman, pendiri Youth International Party (Yippies), organisasi massa berorientasi radikal; Jeremy Strong sebagai Jerry Rubin, teman Abbie, pendiri Yippies; John Carrol Lynch sebagai David Dellinger, ketua MOBE (National Mobilitation Committee to End the War in Vietnam); Noah Robbins sebagai Lee Weiner, penulis; dan Daniel Flaherty sebagai John Froines, ahli kimia dan aktivis anti perang.

Di samping itu ada Yahya Abdul-Maten II sebagai Bob Seale, ketua organisasi kulit hitam Black Panther yang juga dituduh melakukan konspirasi dan membunuh polisi. Namun akhirnya dibatalkan karena tak cukup bukti. Pengacara mereka adalah Mark Rylance sebagai Williams Kuntsler dan Ben Shenkman sebagai Leonard Weinglass. Aktor lainnya adalah Joseph Gordon-Levitt sebagai jaksa penuntut federal, Frank Langella sebagai hakim Julius Hoffman yang menyebalkan, dan yang paling dinanti kemunculannya, Michael Keaton sebagai Ramsey Clark, mantan Jaksa Agung, yang menjabat Jaksa Agung saat demontrasi terjadi.

Masing-masing aktor hadir dengan karakter yang dilekatkan pada mereka, dan mereka berhasil secara kolektif. Ada beberapa scene fenomenal yang diambil dari fakta sejarah, termasuk ketika Bob Seale yang berkulit hitam diikat di ruang sidang dan disumpal mulutnya, sebuah penghinaan yang dilakukan hakim antagonis kita. Scene dari fakta sejarah lainnya termasuk adegan Abbie dan Rennie memakai toga hakim. Yang menjadi salah satu kritik sebagian kritikus film adalah bagian akhir film yang bukannya menyampaikan pembelaan para terdakwa seperti dalam fakta sejarah, namun isi pernyataan terdakwa justru menjadi sangat dramatis ketika Tom Hayden yang mewakili kawan-kawannya membacakan 4.752 prajurit yang terbunuh di Vietnam selama persidangan mereka.

Bagi saya, justru itu ending sangat yang menyentuh. Film ini telah berhasil membuat saya tertawa dan menangis haru.

Menurut saya, konflik menarik lain yang dibangun film ini adalah perbedaan mencolok karakter Tom Hayden yang bergaya aktivis mahasiswa berpendidikan tinggi penuh adab, dengan karakter Abbie Hoffman yang bergaya semaunya, penuh selera humor yang sarkas, sekaligus tampak tidak cerdas. Perbedaan karakter yang menjadi sumber konflik antarmereka. Hayden cenderung meremehkan Abbie meski akhirnya Tom Hayden harus menyadari betapa loyalnya Abbie di balik gaya sembarangannya itu. Ketika Abbie dipilih menjadi saksi terdakwa, ia tidak menyalahkan Hayden yang sebenarnya adalah provokator aksi yang berujung rusuh. Abbie membela Hayden. Yah, demikianlah. Provokator aksi hingga menjadi rusuh adalah Tom Hayden yang saat itu emosi karena temannya dipukuli polisi, bukan Abbie yang bergaya anarkis yang justru selalu mengajak untuk aksi damai.

Saya pikir ini adalah suatu hal yang perlu direnungi, bahwa perjuangan bisa dilakukan sesiapa yang memiliki pandangan tentang apa yang harus diperjuangkan, tak peduli apakah dia anarkis, radikal, konservatif, progresif. Karena perjuangan untuk kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan adalah perjuangan sesiapa yang bertekad memperjuangkannya. Yang harus disesali adalah mereka yang tidak berjuang. Sepertinya sutradara ingin menyampaikan pesan itu dengan mengangkat Abbie yang radikal sebagai tokoh kesayangan penonton. Dan yup, Sacha sebagai Abbie memang digadang2 sebagai aktor pendukung terbaik ajang Oscar, sementara di ajang penghargaan lain ia sudah dibanjiri pujian. Aktingnya memorable, dan berkarakter.

Hal lain yang menarik dari film ini adalah munculnya potongan-potongan gambar aksi demontrasi yang sesungguhnya. Potongan gambar dari tahun 1968 tersebut berpadu harmonis dengan scene-scene aksi demontrasi film. Menunjukkan proses editing film yang apik. Namun akhirnya kekuatan film ini secara keseluruhan ada pada naskah skenario (screenplay) yang memandu para aktor untuk berakting. Kesegaran dialog-dialognya, kedalaman ceritanya. Selain itu tentu saja, akting para aktor yang proporsional. Sayang sekali Keaton cuma muncul sebentar, dengan gaya sekeren itu.

Lalu apa yang bisa dikritik dari film ini? Film ini tak menghadirkan konflik tajam ataupun klimaks yang menegangkan. Bagi yang mencari model film semacam itu, film ini tidak saya rekomendasikan. Bahkan kematian Fred Hampton, aktivis Black Panther dan rekan Bob Seale,  dihadirkan dengan flat, tak menggebu-gebu. Padahal itu kematian yang tragis, dilakukan selama proses persidangan dan diduga ada kaitannya dengan aktivitasnya sebagai aktivis Marxis dan Sosialis Revolusioner. Namun, bagi mereka yang suka film dengan dialog-dialog brilian, cerita yang lambat namun menarik, cobalah tonton film ini.

Saya memberi nilai 8,5 untuk TTC7. Film ini bisa ditonton di Netflix, karena Netflix sudah membeli hak edarnya. Sesuatu yang merupakan ekses pendemi, di mana bioskop-bioskop besar telah kita bawa ke rumah masing-masing dalam versi mini.

Wallahua’lam.@