SEJAK dulu kita mengenal istilah atau peribahasa “Jangan membeli kucing dalam karung.” Makna dari peribahasa ini adalah; jangan membeli sesuatu tanpa melihatnya terlebih dulu. Tidak jelas asal dan bagaimana peribahasa ini sampai ada. Dan kenapa harus kucing?

Nah, di tahun politik ini mulai berseliweran di medsos (fesbuk) caleg atau calon anggota DPD, yang sekarang sudah lengkap dengan nomor urut atau nomor pilihan untuk dirinya. Beberapa di antaranya kita kenal secara pribadi (mungkin karena keluarga, teman, tetangga, atau pernah sekali waktu ketemu), tetapi lebih banyak yang tidak kita kenal sama sekali.

Ada juga yang hanya sekadar kenal nama atau tahu orangnya, tetapi tidak pernah sekalipun bertemu terlebih lagi berbicara—intinya tidak kenal lebih jauh bagaimana pribadinya atau komitmennya terhadap sesuatu.

Alhasil, walaupun kita tahu wajahnya, warnanya, dan nomor urutnya, sejatinya tetap tidak mengenalnya—dan jenis ini mungkin bisa disamakan dengan peribahasa di atas. Andai kita memilih mereka (caleg atau calon DPD), itu sama saja membeli “dalam karung”.

Nah, masa sosialisasi inilah yang digunakan para caleg atau calon DPD itu untuk memperkenalkan dirinya. Namun, sejauh ini, saya melihat ada beberapa calon yang sepertinya kurang memahami bagaimana sebenarnya keinginan para pemilih mengenali mereka yang mencalonkan dirinya.

Kalau kita amati, ada beberapa dari para calon itu yang mengenalkan dirinya dengan cara:

Memasang Foto Selfie (bahkan ada yang seluruh frame hanya wajahnya saja, hingga kita hampir bisa melihat bulu hidungnya). Tipe ini pastilah calon yang terlalu pede dengan ke-thamvan-an dan ke-chantiek-an wajahnya, dan yakin orang akan memilihnya karena hal itu. Yang menarik juga, dulu selfienya tanpa senyum, sekarang mulai pakai senyum (agak meringis sih jadinya).

Mengumbar dukungan terhadap Capres-Cawapres. Ini lebih aneh lagi. Mengapa harus ngotot membuat postingan atau menshare (ini jauh lebih banyak) dukungan terhadap salah satu pasangan Capres-Cawapres? Mestinya bukan citra Capres-Cawapres pilihanmu (yang pasti juga merupakan pilihan partaimu) yang kamu sosialisasikan. Tetapi citra dirimu sebagai caleg/calon DPD lah yang harus kamu  bangun sendiri.

Postingannya hanya berisi share melulu. Ini calon gak bisa bikin postingan sendiri apa? Gak punya pendapat, gagasan, atau opini dari buah pikiran sendiri? Lalu, kalau misalnya calon seperti ini terpilih, apa dia bisa memikirkan masyarakatnya?

Selain tipe-tipe di atas, tentu ada banyak juga calon yang cukup cerdas “mengenalkan” dirinya.  Seperti membuat kata-kata bijak, memposting visi-misinya, dan membagikan foto dirinya bersama orang-orang penting atau tokoh. Setidaknya, dari postingan semacam ini kelihatan bagaimana pikiran dan gagasan-gagasannya. Adapun foto bersama tokoh atau orang penting, ini menunjukkan “posisinya” bahwa dia “cukup penting” sehingga bisa berada bersama tokoh-tokoh penting itu.

Yang masih tidak cukup banyak dilakukan para calon ini adalah bagaimana kegiatan dirinya sehari-hari. Misalnya, keberadaan dirinya di lingkungan pekerjaannya, atau apa yang pernah atau sedang dilakukannya untuk masyarakat (misalnya kegiatan sosial). Hal ini cukup penting untuk mengetahui tentang diri si calon di tengah-tengah masyarakat dan apa yang dilakukannya. Bila itu berupa kegiatan sosial, yang telah dilakukannya bahkan jauh sebelum dirinya mencalon, tentu akan menjadi nilai positif. Bahwa dia sudah melakukan sesuatu yang berarti. Dengan demikian, masyarakat tentu akan merasa jauh lebih mengenal (kualitas) diri si calon, dan memungkinkan memang pantas untuk dipilih.

Memang, orang akan cenderung memilih calon yang sudah dikenalnya secara dekat. Tapi ini juga ada pengecualian, misalnya karena calon yang dikenalnya itu memang baik dan diyakininya akan amanah atau akan bekerja dengan penuh dedikasi bila terpilih. Namun akan sebaliknya jika calon yang dikenal, sejauh yang dikenalnya tidak meninggalkan kesan baik, maka ada kemungkinan tidak akan dipilih juga.

Kiranya begitulah masyarakat akan memilih para calon. Ini terlepas nanti bagaimana saat masa kampanye para calon mengampanyekan dirinya. Termasuk juga “iming-iming” dan serangan fajar uang. Dan pada akhirnya, semua kembali kepada masing-masing calon jua. Tetapi tentu masyarakat tidak ingin memilih calon “dalam karung”.@