DALAM DIRIKU

Dalam diriku mengalir sungai panjang
darah namanya
Dalam diriku menggenang telaga darah
sukma namanya
Dalam diriku meriak gelombang sukma
Hidup namanya
Karena hidup itu indah
Aku menangis sepuas-puasnya

“INILAH puisi Mas Sapardi yang terindah” terang KH. D. Zawawi Imron dalam dialog kami di WAG  Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) menjelang siang 19/7/2020. Keduanya pernah menjadi tentor kami selama sepekan pada program menulis puisi, bersama Acep Zamzam Noor, Agus R. Sarjono, H. Ramlee bin H. Tinkong, Dato’ Firdaus bin Haji Abdullah, Siti Zainon Ismail, dan Cik Sarifah bin Yatiman.

Sapardi Djoko Damono (SDD) yang lahir di Solo 10 Maret 1940 dikabarkan menutup usia pagi tadi pada pukul 09.17 WIB di Eka Hospital BSD Tangerang Selatan menyentak ingatan saya kala menjadi pembimbing bagaimana menulis puisi lewat Southeast Asia Literary Council. 13 tahun yang lalu, Fredy Sreudeman Wowor, Irianto Ibrahim, Komang Ira Puspitaningsih, Lupita Lukman, Mamat Jalil, Marlens Alfons, Wuri Handayani Putri Sutoro, Jefta Atapeni, Awang Suip Haji bin Haji Abd. Wahab, Ali Bukhari bin Amir, Sahrunizam B. Abdul Talib, Saifullizam Yahaya, Hoirull Amri bin Tahiran, Norzaidah Binte Suparman, dan saya sendiri menjadi murid-murid yang banyak menggali khasanah puisi masing-masing mentor.

“Sederhana yang mahal, karya-karyanya juga mencerminkan sosok yang sederhana namun cerdas, berisi, dan mewah.” tambah Lupita Lukman salah seorang penyair Indonesia asal Kota Bumi Lampung dalam percakapan kami. Lupita mengingat lagi, bagaimana dulu SDD dengan santainya diajak berkeliling kota dengan naik angkot lepas rehat pada program tersebut.

Terkenal ramah, karya-karyanya bernas mengantarkan SDD ke puncak tertinggi sebagai juru puisi yang sangat terkenal lewat kredo, puisi Aku Ingin. Selama sepekan di Hotel MJ Samarinda kelas Ramadhan KH, Adi Kelana, Chairil Anwar yang berjumlah 5 peserta perkelas, hanya SDDlah yang saya catat sebagai tentor yang tidak banyak menggurui. Saat makanpun, SDD jualah yang sering tampak sendirian di meja makan, saya selalu merapat ke meja bundar menemaninya. Duduk berseberangan, saya menatapnya, saat itu pikiran saya berkeliaran ke diksi-diksi estetis.

Pernah di hari kedua setelah selesai makan pagi SDD bertanya, “Namamu itu asli?” Saya terkekeh. “Menurut Pa Sapardi?” tanpa saya menjawab SDD malah terbahak. “Saya memangilmu Nur saja ya…”

Berkali-kali SDD membolak-balik kertas puisi saya yang berjumlah 9 judul, dahi saya berkerut. Sesekali dia tersenyum, lalu balik lagi ke halaman pertama. Cukup lama. “Pencarian estetik macam apa yang Nur inginkan sebenarnya?” Tentu saya sumringah, bercampur haru. “Kenapa… Nur mesti mencari kata-kata yang sedemikian gelapnya hingga sayapun tersesat?” Saya terdiam.

Lalu, besoknya di hari ketiga SDD duduk sendiri (lagi) menikmati kudapan. Saya mendekat. “Nur, kamu harus konsisten. Kamu harus menggali khasanahmu sendiri, carilah dirimu… sampai kamu mendapati kekhasan dirimu. Siapa yang tahu, 50 tahun lagi kamu jadi epigonal… Tapi belajarlah menulis dengan diksi-diksi sederhana…” SDD terkekeh sambil menghirup secangkir teh di hadapannya.

Facebook Comments