asyikasyik-LIPUTAN KHUSUS, Piano mengalun-alun memecah malam, pun senar gitar, cahaya terang mengibas gelap, gelas berdenting-denting, sebuah pesta—yang diadakan oleh ekspatriat Uni Soviet—berlangsung di sebuah wisma paling mewah di Banjarbaru. Lalu kita tengok ke luar sebentar, menatap gelap yang mendekap kota. Memang, gemerlap cahaya di dalam sana sedikit-sedikit keluar, tapi malam di Banjarbaru, pada tahun-tahun itu, belum seramai hari ini—yang bahkan belum resmi menjadi kota madya.

Tempat itu, Mess L namanya, berada di Kelurahan Komet Banjarbaru, dibangun pada tahun 1963, lima puluh sembilan tahun yang lalu, sebagai tempat tinggal bagi para staf dan insinyur Uni Soviet yang bekerja untuk proyek besi baja.

Soekarno yang kala itu masih menjabat sebagai presiden memang punya hubungan erat dengan Uni Soviet.

Begitulah Indonesia membuka ruang bagi mereka untuk membikin kantor, pegudangan, dan logistik di Banjarbaru. Di tahun-tahun awalnya, seringkali dengung helikopter meraung-raung di udara, menjelajahi daerah yang diduga memiliki sumber biji besi beserta cadangan untuk mendukung industri.

Optimisme tumbuh seiring dengan proyek besar tersebut, lalu tahu-tahu waktu mengubah banyak hal, 1965, peristiwa G30SPKI meletus. Arah politik berubah dalam waktu yang demikian singkat. Orang-orang dibasmi. Kekacauan terjadi macam fiksi menjengkelkan di novel-novel dari penulis anti-romantis.

Di Banjarbaru sendiri, sayangnya, impian yang semula tumbuh menetas dari biji besi secara langsung menguap ke udara. Hilang tak tergapai ke langit luas. Orang-orang Uni Soviet, atau yang hari ini kita kenal sebagai Rusia, menghentikan pestanya, langkah kaki keluar melewati pintu dan tak pernah kembali lagi. Mess L, tempat mimpi besar itu ditanam, jatuh  teronggok serupa pot tanpa bunga dari masa ke masa setelah peristiwa tersebut.

Lepas tahun-tahun celaka itu, hantu tumbuh gentayangan di banyak tempat, di seluruh kekacauan yang pernah terjadi. Dalam salah satu bagian di novel Eka Kurniawan, Cantik Itu Luka, di sebuah tempat imajiner bernama Halimunda, hantu-hantu membikin sesak kota, dan masyarakat berdamai serupa ia tetangga manusia belaka.

Di Mess L kekacauan itu tak terjadi, tapi seiring waktu—sebagaimana cerita yang menyebar dari mulut ke mulut—hantu-hantu turut pula tinggal di sana.

Entah hantu yang bagaimana, tapi mereka menetap di mess tersebut, menjadi tetangga manusia, dan begitulah tempat yang semula ramai perlahan sesak dengan cerita-cerita menyeramkan.