Kehadiran teknologi metaverse yang merupakan penggabungan aspek sosial media dan game online memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi virtual. Teknologi mutakhir ini membuka akses bersosialisasi secara bebas dan tak terbatas. Metaverse menjadi tren yang menyediakan sarana hiburan virtual seperti liburan, pertunjukan dan konser secara nyata tanpa perlu ke luar rumah. Dengan demikian, akan muncul profesi baru yang berkembang seiring berkembangnya metaverse.
Minggu, 29 Mei 2022 yang lalu bertempat di Hotel Bumi Wiyata, Depok. Riri Satria meluncurkan bukunya yaitu kumpulan puisi Metaverse serta kumpulan esai Jelajah. Acara tersebut dihadiri hampir 100 orang yang sebagian besar adalah penyair, penulis, serta aktivis sastra, antara lain; Kurnia Effendi, Sam Mukhtar Chaniago, Nanang R. Supriyatin, Tatan Daniel, Nunung Noor El Niel, Rissa Churria, serta Emi Suy.
Riri Satria sendiri adalah sosok kolaborasi yang berkecimpung di dunia ekonomi, bisnis, teknologi, pendidikan, dan juga puisi. Selain berprofesi sebagai dosen di Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, Riri juga seorang Founder dan CEO Value Alignment Advisory Group, yang bergerak di bidang manajemen strategis dan transformasi digital, serta komisaris sebuah BUMN PT. Jakarta International Container Terminal (JICT). Ia adalah Sarjana Ilmu Komputer lulusan Universitas Indonesia serta menempuh program Doktor pada PSB Paris School of Business, di Paris, Prancis.
Metaverse adalah buku kumpulan puisi Riri Satria yang keempat
Sebelumnya Riri telah merilis kumpulan puisi Jendela (2016), Winter in Paris (2017) berisikan kumpulan dalam Bahasa Inggris yang ditulis selama musim dingin di Paris dan diluncurkan pada Ubud Writers and Readers Festival 2017 di Ubud Bali, serta Siluet, Senja, dan Jingga (2019) yang diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Sementara itu Jelajah merupakan buku kumpulan esainya yang kelima setelah Untuk Eksekutif Muda: Paradigma Baru Dalam Perubahan Lingkungan Bisnis (2003) berupa kumpulan tulisan Riri tentang ekonomi, manajemen, dan bisnis, di harian Republika pada kurun waktu 1999- 2001, lalu tiga buku pada trilogi Proposisi Teman Ngopi (2002) yang terdiri dari Ekonomi, Bisnis, dan Era Digital, lalu Pendidikan dan Pengembangan Diri, serta Sastra dan Masa Depan Puisi.
Sebelum acara peluncuran buku, Riri memberikan kuliah umum yang bertajuk “Metaverse: Dampak Terhadap Puisi dan Kepenyairan”. Metaverse, terdiri dari dua makna, yaitu meta dan universe, atau jagat yang berada di dalam dunia maya, jagat tidak nyata namun berdampak nyata. Manusia berinteraksi dalam jagat yang dibuat teknologi digital, algoritma, dan teknologi pendukungnya. Teknologi ini memang menimbulkan isu-isu baru dalam sosial dan kemanusiaan. Pertanyaan besarnya, bagaimanakah eksistensi manusia sebagai makhluk sosial dalam era metaverse ini?
Riri Satria memberikan kuliah umum tentang Metaverse dan dampaknya terhadap puisi dan kepenyairan
Riri mencatat setidaknya ada empat dampak Metaverse terhadap puisi dan kepenyairan, yaitu (1) sumber inspirasi yang baru, (2) kolaborasi yang lebih kolaboratif karena membuat kita bagaikan ‘hadir bersama’ dalam satu ruang walaupun sebenarnya terpisah, (3) ngumpul untuk membaca, belajar, atau mendiskusikan puisi yang lebih ‘ngumpul’ walaupun terpisah, serta (4) komputer yang mampu membuat puisi atau computer-generated poetry menjadi semakin dahsyat.
Forum diskusi pembahasan buku menghadirkan narasumber penyair serta Emi Suy yang juga pengurus Jagat Sastra Milenia serta Sekretaris Redaksi Sastramedia.com, pengamat serta aktivis kebudayaan dan kemanusiaan Tatan Daniel, Guru Besar Teknik Elektro sekaligus ketua klub puisi civitas academia Universitas Indonesia, Prof. Riri Fitri Sari, serta Riri satria sebagai penulis buku. Diskusi dipandu oleh Sofyan RH Zaid, Pemimpin Redaksi Sastramedia.com dan pengurus Jagat Sastra Milenia.
Rupanya teknologi ini juga memberikan sejumlah pertanyaan yang harus mampu dijawab oleh dunia kepenyairan. Padahal isu yang mengiringi teknologi komputer dengan algoritma kecerdasan buatan yang mampu menbuat puisi masih banyak yang belum tuntas dibahas. Namun walau bagaimanapun, para penyair mesti memahami perkembangan zaman ke depan yang dipicu oleh teknologi metaverse, karena mereka bisa menjaga peradaban itu dengan semakin mengasah empati dan rasa kemanusiaan
Penyair Emi Suy yang memberikan epilog buku puisi ini mengatakan bahwa Riri Satria mengundang kesadaran baru yang mengajak kita menjawab pertanyaan lama dengan pertanyaan yang lebih kritis menyangkut nasib kehidupan di era digital yang semakin berlapis dan rawan. Kita perlu mendengar kesaksian Riri Satria agar kita belajar dari “suara lain” itu tentang harapan hidup di masa depan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak boleh membuat keterasingan dalam kehidupan, ini bisa membahayakan.
Lebih lanjut dalam diskusi tersebut, Emi Suy menjelaskan “Tampaknya Bang Riri berusaha menangkap kondisi kekinian yang bisa saja sulit untuk diartikulasikan. Di sisi yang lain, masih banyak penyair berkutat pada citraan alam, atau hal-hal yang terkesan klise dan kuno. Riri Satria berusaha mengatakan apa yang terjadi sekarang dengan menyebutkan istilah-istilah dari teknologi baru, dunia digital, dan teori yang sedang banyak diperbincangkan di bangku-bangku akademik, atau hal-hal lainnya yang mungkin akan terdengar tidak puitis bunyinya bagi sebagian kita. Tapi dengan ketekunan ia berhasil memasukkan dan memadukan kata-kata itu ke dalam puisi-puisinya dan menghasilkan rangkaian frase dengan diksi berbunyi yang unik. Tampak pada judul-judul puisi dalam buku ini, seperti Drone di Atas Khatulistiwa, Hacker, Dark Web, Proxy, Glock 19, Post Truth Society, serta Hitmen. Judul yang tidak lazim untuk puisi yang biasa kita temui.”