KOMPETISI film dokumenter amatir Eagle Award diluncurkan pertama kali oleh Metro TV pada masa-masa kejayaan stasiun televisi itu sebagai channel tv berita tahun 2005. Kompetisi itu dengan cepat menjadi prestisius.

Sewaktu kuliah saya bahkan pernah mengkhayal menjadi sutradara terkenal melalui kompetisi Eagle Award ini. Khayalan yang tentu saja bagian dari perilaku berkhayal. Seiring berjalannya waktu, kompetisi ini meredup dikalahkan stand up comedy dan hal lain. Internet juga mulai mengambil alih posisi media arus utama sebagai penyaji berita. Empat belas tahun kemudian, di tahun 2019 ini, ternyata kompetisi Eagle Award masih eksis, bertahan dan  agaknya berada di posisi stabil meski tidak segempita dulu.

Fakta bahwa kompetisi ini tidak lagi berada di titik puncak dapat dilihat pada Aruh Film Kalimantan yang baru saja digelar di Mess L, Banjarbaru. Pada jadwal, pemutaran pemenang Eagle Award 2019 dilaksanakan pada pukul 13.00 siang. Pukul 14.00 saya datang ke lokasi dari Banjarmasin, film itu belum diputar. Panitia menyampaikan bahwa undangan sudah disebar untuk menonton film ini, namun tampaknya khalayak tak tampak antusias. Meski di luar ruangan orang-orang mulai ramai berdatangan, film akhirnya diputar dengan hanya sepuluh penonton, dua di antaranya sang filmmaker. Kondisi apresiasi yang menyedihkan untuk film dengan penghargaan skala nasional.

Bahwa saya sangat antusias menjadi perilaku anomali di ruang pemutaran film saat itu. Penonton lain agaknya bahkan tak mengenal kompetisi Eagle Award, mungkin bahkan di luar ekspektasi ketika mereka mendapati bahwa yang diputar adalah film dokumenter. Terasa lebih out of imagination ketika film dokumenter yang mereka tonton adalah sesuatu yang terasa sangat biasa dalam kehidupan sehari-hari. Barangkali mereka akan bertanya, apa istimewanya film dokumenter ini? Kenapa bisa memenangi bahkan kompetisi nasional berumur belasan tahun?

Eagle Award tahun 2019 menurut saya monumental karena pemenangnya adalah urang Banua, anak-anak muda dari komunitas film kabupaten Tabalong. Abdi Firdaus dan Lyanta Laras Putri memenangi Eagle Award dengan film dokumenter mereka berjudul Paguruan 4.0. Paguruan di sini adalah kosakata bahasa Banjar untuk kata ‘para guru’ dalam bahasa Indonesia. Film dokumenter ini bercerita tentang para guru di dua sekolah di wilayah kabupaten Tabalong, SDN 1 Nawan Hilir dan SDN 3 Kambang Kuning yang berjibaku dengan perangkat digital dalam pembelajaran dan administrasi sekolah. 

Dalam diskusi, para penonton mengaku bahwa gambaran guru (terutama guru-guru senior) yang kebingungan, koneksi internet yang hilang timbul, dan terbatasnya perangkat pembelajaran berbasis digital adalah hal yang biasa mereka temui. Dialami oleh orang tua mereka yang guru, bahkan di wilayah kota seperti Banjarmasin atau Banjarbaru. Di sanalah titik kebermaknaan film ini.

Para juri penilai proposal film Paguruan 4.0 yang mewakili masyarakat kota megapolitan menganggap proposal film yang diajukan Abdi dan Lyanta menarik karena mereka sendiri tidak familiar dengan kondisi gagap penggunaan perangkat digital ini. Tidak familiar dengan perasaan panik karena loading internet yang lambat atau kegagalan mengunduh dan menggunggah berkas. Tidak familiar dengan perasaan putus asa karena tidak bisa mengikuti instruksi sebuah aplikasi digital atau putus asa karena ketiadaan perangkat untuk mengakses instruksi aplikasi digital itu sendiri.

Maka seharusnya penonton akan terenyuh melihat wajah-wajah tua para guru yang lelah karena ketidakmengertian akan perangkat digital yang harus dioperasikannya atau kontras dari ekspresi itu, wajah-wajah antuasias anak-anak murid yang begitu senang ketika gurunya menampilkan gambar ayam di layar proyektor lengkap dengan bunyi petok-petoknya. Ini adalah bagian-bagian paling memukau dari film ini. Para filmmaker mampu menangkap ekspresi itu, menampilkannya masif sehingga ekspresi itu menelusup sampai ke dasar jiwa kita.

Awalnya ide cerita film ini adalah tentang sepak terjang Pak Deni, guru di SDN 1 Nawan Hilir sekaligus penggiat blog dan operator sekolah yang membuatnya sangat akrab dan menjadi pakar dalam pemanfaatan dunia digital untuk kepentingan pendidikan. Tapi juri tak bersepakat bahwa film dokumenter ini kelak menjadi film biografi. Ada kecenderungan para juri menolak film dokumenter profil orang .

Hal yang untuk film ini saya sepakat, meski saya tidak sepakat bahwa film dokumenter tidak boleh membicarakan hanya biografi seseorang. Mengangkat kondisi guru yang tertatih-tatih menghadapi era 4.0 ini justru lebih mendalam keberartiannya. Masyarakat kita dipaksa siap, meski sebenarnya sebagian besar masyarakat kita tidak benar-benar siap. Sehingga muncullah fenomena keterkejutan sekelompok orang pada kegagapan yang dialami kelompok yang lain karena kegagapan yang terasa asing itu adalah hal yang biasa, bagian dari keseharian bagi yang lainnya.

Maka, apakah film ini layak menjadi juara 1 Eagle Award 2019? Saya pikir layak tentu saja. Meski demikian, harapan saya untuk bisa melihat film dokumenter dengan sentuhan narasi dan scene dramatik seperti yang pernah saya dapati dalam film dokumenter nominasi Oscar 2017, White Helmet, tidak terpenuhi di film ini.

Paguruan 4.0 seperti film-film pemenang Eagle Award pada umumnya, kental nuansa video reportase berita seperti yang sering kita temui misalnya pada acara berita investigatif di channel Metro TV. Nuansa video reportase berita itu agaknya tak terhindarkan karena menurut Abdi, salah seorang filmmaker Paguruan 4.0, kru filmnya sendiri memang berasal dari Metro TV. Kalau kita berharap menemukan film dokumenter yang memperhatikan nuansa sinematografi yang fokus pada nilai-nilai artisitik dramatik, film Paguruan 4.0 tidak dapat memenuhi harapan itu.

Kekuatan Paguruan 4.0 ada pada cerita filmnya sendiri, kemampuan menangkap ekspresi para tokoh sebagai titik-titik makna dalam film ini, dan kemampuan pengambilan gambar dengan kamera sebagai mata penonton. Pengambilan gambar dari jarak dekat menjadikan penonton seakan-akan bagian dari set, bagian dari cerita. Hal terakhir ini menjadi kelebihan lain, kemampuan mereka yang menjadi subyek kamera untuk mengabaikan kamera.

Perlu kedekatan dan ikatan yang kuat antara kru film dengan subyek film sehingga pengambilan gambar dapat dilakukan secara alami tanpa hambatan. Lyanta sendiri menyampaikan perlu beberapa hari untuk membuat ikatan emosi yang baik antara para guru yang diambil gambarnya dengan kru film. Waktu yang sangat singkat menurut saya untuk sebuah ikatan yang kuat, namun tampaknya mereka berhasil melakukan itu.

Terakhir, Karena ini film dokumenter bagus buatan anak muda Kalimantan Selatan yang memenangi kompetisi bergengsi tingkat nasional, sayang sekali Anda melewatkannya. Itu seperti mengabaikan mi bancir Agus Sasaringan duet dengan Chef Marinka yang disajikan gratis dalam porsi berlimpah. Saya hanya bisa berkata, rugi betul Anda.

Wallahua’lam.@