Dalam buku Hidup Matinya Sang Pengarang dinyatakan bahwa tolok ukur Sartre perihal peran pengarang adalah selama bukunya masih menimbulkan amarah, kegetiran, rasa malu, cinta, bahkan kalau sang pengarang tidak lebih dari sekadar tempat teduh, ia akan tetap hidup (Heraty, 2000). Dunia satra pun juga demikian. Para sastrawannya tak luput dari pergantian siklus zaman. Yang telah tiada digantikan oleh para penulis muda yang dulu disemai oleh para pendahulunya. Ada hal menarik ketika memperbincangkan geliat para penulis muda di Kalimantan Timur saat ini.
Beberapa penulis muda Kalimantan Timur mulai bermunculan di media masa lokal atau nasional, baik secara daring atau luring, di antaranya: Novan Leany, Andrian Septy, Indon Wahyudin, Esty Pratiwi, Slayer Andi, atau Panj Aswan. Untuk nama terakhir, ada yang menarik untuk dijadikan catatan bersama.
Bermula pada Rabu pagi, 11 Mei 2022 notifikasi telepon genggam saya dipenuhi dengan panggilan dan pesan singkat whatsapp yang masuk. Mungkin hal ini juga dialami oleh sebagian besar penulis dan pegiat sastra di Kalimantan Timur, khususnya di Samarinda saat itu. Kabar yang membuat khalayak penulis dan pegiat sastra tergetar begitu mengetahui bahwa Panji Aswan telah berpulang karena sakit ginjal yang diperparah dengan kebocoran di ususnya. Saya ingat betul, terakhir bertemu almarhum adalah di minggu terakhir penghujung Ramadan saat Komunitas TerAksara mengadakan buka bersama. Tak ada gelagat apapun. Kabar terakhir di pesan grup whatsapp bahwa dirinya sedang sakit dan minta didoakan untuk kesembuhannya.
Seperti biasa, percakapan di whatsapp tersebut berlanjut dengan canda tawa kami bersama. Selang sehari, ternyata Panji telah tiada. Teman-teman penulis terhenyak. Kalimantan Timur kehilangan satu potensi besar dari sosok penulis muda ini. Berselang sehari pemakaman, para sastrawan dan pegiat sastra di Samarinda, baik yang muda maupun senior berkumpul mengadakan tahlilan dan doa bersama. Acara ini tentu saja juga menjadi salah bentuk apresiasi terhadap almarhum. Lantas, mengapa Panji Aswan layak “dicatat” di ranah kesusastraan Kalimantan Timur? Ada beberapa catatan yang kiranya bisa jadi pertimbangan.
Panji Aswan atau bernama asli Panji Asuhan, kelahiran Samarinda yang belum genap berusia 28 tahun ini (lahir 16 Juli 1994)
Dalam rentang usia muda, Panji Aswan telah menghasilkan banyak antologi puisi dan prosa, yang sebagian dimuat di media massa. Bisa jadi, fakta inilah yang menjadikan sebab namanya tercatat sebagai salah satu penyair Kalimantan Timur dalam buku Apa dan Siapa Penyair Indonesia yang dipelopori dan diterbitkan oleh Yayasan Hari Puisi pada 2017. Tentu saja catatan karya-karya Panji Aswan masih ada yang belum terdokumentasikan dan terpublikasi, mengingat beberapa teman (termasuk yang dikrim ke saya) masih menyimpan manuskrip puisi dan prosa yang rencananya hendak diterbitkannya di tahun 2022 ini.
Ada beberapa hal terkait almarhum yang menarik dijadikan catatan inspirasi, khususnya bagi para penulis muda. Produktivitas Panji Aswan dalam menulis sastra tak terbantahkan. Bahkan hal ini diakui oleh salah satu sastrawan senior bernama Herman A. Salam. Dalam acara tahlilan dan peringatan atas kepulangannya di Kantor Bahasa Kalimantan Timur (12/05/2022). Herman mengatakan bahwa meskipun Panji tidak mampu menyeselesaikan kuliahnya di jurusan Sastra Indonesia, FIB Universitas Mulawarman, namun kemampuan almarhum justru mampu melampaui capaian teman-temannya yang telah bergelar sarjana. Salah satu bukti lagi atas capaian prestasinya adalah antologi Doa Puisi berhasil menjadi Nomine Penerima Penghargaan Sastra 2021 yang diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Provinsi Kalimantan Timur.
Produktivitas Panji Aswan dalam menghasilkan banyak karya ternyata berbanding lurus dengan kesibukannya selama ini. Pemuda yang bertubuh besar ini dikenal sebagai pribadi yang ramah, ringan tangan, ulet, dan manusia pembejar. Sebagai anak lelaki satu-satunya dari 3 bersaudara, tentu saja ia menjadi andalan di keluarga. Kesehariannya di awali usai salat subuh mengantar ibunya berbelanja sayur di Pasar Segiri. Begitu ibu selesai memasak, ia pun membantu membuka warung gado-gado dan menutup warung di petang hari. Sewaktu menjadi mahasiswa, almarhum dikenal sebagai seorang aktivis kampus.
Penulis muda Kalimantan Timur ini diketahui juga aktif di beberapa komunitas sastra dan literasi, semisal Jaring Penulis Kaltim (JPK), Sindikat Lebah Berpikir (SLB), Satu Pena, Buku Etam, Komunitas Mantra, dan Komunitas TerAksara.
Dengan segala kesibukannya, Panji Aswan masih bisa menghasilkan ratusan karya berupa puisi dan cerpen. Antologi berupa puisi dan cerpennya antara lain: Curahan Hati Pelacur Sajak (Pena House Publisher, 2016), 5 (Lima) Ketika Ia Menemani Tidurku (Arsha Teen Publisher, 2016), Pada Bulan-bulan (PPMPI, 2017), Belajar Menulis Cerpen (PPMPI, 2017), Tentang Rasa Ini, Aku Masih Menunggumu (Ahsyara Media Indonesia, 2018), dan Sabda Lelaki (IA Publisher, 2019). Tulisan-tulisannya juga termuat dalam belasan antologi bersama penulis lain di antaranya: Sajak-sajak Anak Negeri: Indonesia Berkreasi Tanpa Batas (Penerbit Rumah Kita, 2015), Negeri Tak Bersalju (Sabana Pustaka, 2015), Merantau Malam: Kumpulan Puisi Terbaik Pilihan Sabana (Sabana Pustaka, 2015), Angan Di Bibir Awan (Ajrie Publisher, 2015), Danau yang Terkubur (Stepa Pustaka, 2016), Sajak-sajak Anak Negeri: Indonesia Berkreasi Tanpa Batas #3 (Penerbit Rumah Kita, 2016), Kata Kasih untuk Ibu (Uwais Indie Publisher, 2016), Setangkai Padi yang Merunduk (FAM Publishing, 2016), Senyumanmu (Hikari Publisher, 2016), Kuntum Puisi Jiwa (Nahima Publishing, 2016), Sajak Sang Dewai (Poetry Publisher, 2016), Melayang-Layang (Oase Pustaka, 2017), Kesepian Jilid I (Aria Pustaka Publisher, 2017), The First Drop of Rain: Antologi Puisi Banjarbaru Rainy’s Day Literary Festival (Wahana Resolusi, 2017), Hujan Kunang-kunang (Wonderland Publisher, 2018), Luka Labatula dan Cerita-cerita Lainnya (Kantor Bahasa Kalimantan Timur, 2018), Matinya Si Pemuda (Oase Pustaka, 2019), Senjata Kata-kata (IA Publisher, 2020), dan Melawan dari Mahakam (Racikata, 2021)
Beberapa teman penulis muda, kerap beranggapan bahwa Panji adalah salah satu penulis roman atau puisi bertema percintaan yang handal. Ungkapan itu tidak sepenuhnya salah karena memang hampir sebagian besar puisi yang termaktub dalam antologi puisi pribadinya berisi kegelisahannya tentang gelora cinta anak muda. Seorang aktivis baik di kampus, pegiat di berbagai komunitas sastra, dan menjadi penulis muda tenar di Samarinda, tentu tak bisa lepas juga dari persolan cinta anak muda.
Beberapa puisinya secara gamblang mengungkapkan tema-tema cinta misalanya, Sabda Lelaki, Kekasih, Merindukanmu, Bolehkah?, Asmaratika, dan Sepucuk Cinta Untukmu yang Mmbutakan Sajakku, Bahkan pada puisinya Bulan, Tolong Sampaikan Cinta yang Terkubur, Sudah Lama Aku Mencintainya. yang termuat dalam antologi Di Perahu Aku Mabuk Rindu, 2019, judulnya sendiri telah menunjukkan (fakta) bahwa ia sedang galau akan cinta. Beberapa nama perempuan pun menjadi sumber inspirasi puisi-puisinya. Gelora anak muda, pastilah berkelindan dengan soal asmara. Bukankah Chairil Anwar juga mempersembahkan puisi-puisi indah untuk para perempuan pujaannya?
Meskipun sosok Panji lebih akrab dikenal sebagai penulis puisi roman, namun jika kita baca dan telusuri lebih lanjut, ada beberapa puisinya yang punya tema berbeda. Dalam catatan saya, segala aktivitas dan kesibukan almarhum di atas ternyata memengaruhi dan terefleksi dalam karya-karya (terutama) puisi. Sebagai aktivis mahasiswa dan juga tergabung dalam Aksi Kamisan Kaltim, keberpihakannya di dunia sosial politik terlihat pada puisinya semisal berjudul Para Pejuang Tambang, Pinokio, Kaos Bergambar Presiden, Surat dari Rantau, (Katanya) Kota Tepian, atau Pertanyaan-pertanyaan Enggang pada Sahabatnya.