BARU saja usai berpameran berdua di Yogyakarta, pelukis Hajriansyah kembali berpameran di Bali. Kali ini sendiri. Pameran tunggal.
Sebanyak 22 lukisan dengan beragam ukuran akan dipajang di TAT Art Space, Jl Imam Bonjol, Gang Rahayu No.16, Denpasar Bali, 12-28 Mei 2023.
“Love, Life, Lite”. Itulah tema yang diusung dalam pameran pelukis asal Banjarmasin, Kalsel ini. “Seperti tema, pameran ini tentang cinta, kehidupan, dan hal-hal yang ringan saja,” ujar Hajri yang juga pemilik Kampung Buku, Jl Sultan Adam, Banjarmasin.
Lebih jauh Ketua Dewan Kesenian Kota Banjarmasin ini memaparkan, setelah tiga pameran terakhir– dua pameran tunggal dan satu pameran berdua, ia mengaku itu semacam latihan setelah sempat cukup lama vakum melukis selepas lulus dari ISI Yogya.
“Ternyata sulit dan rumit juga,” ucapnya. “Apalagi jika saya bandingkan, misalnya, dengan beberapa teman yang telah ‘matang’ secara gagasan dan teknik dalam konsep visualnya. Saya melukis apa saja, sebagian benar-benar lahir dari pergulatan batin pribadi dan sebagian lainnya dari mengadaptasi karya-karya orang lain.”
Pergulatan batin itu, lanjut Hajri, misalnya yang berkaitan dengan perkembangan spiritualitas diri, sebagian lainnya dari pikiran-pikiran kebudayaan yang ia geluti sejauh ini.
“Spiritualitas itu tentang Cinta Ilahi, metafornya bisa berupa kupu-kupu yang saya andaikan keindahannya seperti warna-warna yang menari, kuda yang berlari atau terbang, burung-burung, binatang lainnya yang mewakili simbolik cerita keagamaan, jantung dan jaringan sel, dan lain-lain. Pikiran kebudayaan itu berkaitan kerusakan alam, rumah-rumah yang mengapung di air, hewan endemik, dan lingkungan sungai lainnya yang memang berkaitan dengan daerah saya,” papar Hajri, yang termuat di dalam katalog pamerannya.



Seperti diketahui, selain melukis, Hajri memang cukup banyak menggeluti bidang lainnya, termasuk bidang usaha. Hajri juga dikenal sebagai seorang penyair, sejumlah buku puisinya telah terbit, baik tunggal maupun bersama. Ia juga menulis cerpen dan esai.
Sekalipun mengaku aktivitas melukisnya baru kembali intens dalam beberapa tahun belakangan, namun Hajri berusaha percaya diri, bahwa karyanya yang dalam masa yang ia sebut sebagai masa “latihan” ini cukup pantas untuk dikemukakan dalam sebuah pameran tunggal di luar daerah.
“Saya tak tahu apakah saya akan bertemu dengan apresian yang seirama ‘selera’nya dengan ekspresi saya, tapi saya tetap mencoba untuk optimistik. Melalui pameran tunggal yang keempat, atau yang pertama kalinya di luar daerah, ini saya ingin meringankan beban-beban pikiran terkait pertanyaan-pertanyaan di mana posisi saya dalam peta seni rupa mutakhir Indonesia. Saya telah menjalani hidup saya dengan cinta, dan tak semuanya harus selalu terasa berat seperti harus menemukan autentisitas gaya pribadi. Hidup penuh cinta berarti penuh warna dan (bisa saja) semuanya terasa ringan-ringan saja,” tandasnya.

Dalam katalog pameran Hajri ini juga memuat catatan I Gede Arya Sucitra, pelukis dan dosen seni rupa FSR ISI Yogyakarta.
Gede Arya menyebutkan, pada momentum pameran tunggal bertajuk ‘Love Life Lite’ ini, Hajri memampatkan dunia pengalaman seni, horizon keilmuan, pemikiran kritis, pengalaman batin, dan dimensi spiritualitasnya dalam mencerna aspek daya hidup dari ‘kehidupan cinta yang (seakan-akan) ringan’ melalui panorama estetika seninya.
Menjadi pelukis, kata Gede Arya, tampaknya hasrat alamiah dasar Hajriansyah untuk tetap eksis secara konsisten membangun kesadarannya talenta seninya. Seiring meluasnya kemampuan intelektual dan kajian filsafat, Hajri memetakan dan menimbang makna kreativitas dalam seni, bagaimana mengendapkan ‘teks dan konteks’ penciptaan karya dilakukan dalam kenyataan dan bagaimana hal-hal tersebut bersandar pada nilai-nilai berupa etika dan estetika yang bermanfaat bagi kehidupan.
“Tidak mengherankan jika sebagai seniman-perupa, Hajri bersungguh hati mengelola ide, gagasan, teori seni, konsep penciptaan, ekspresi artistik, dan sensibilitas visualisasi gagasan,” ujar pelukis yang seangkatan dengan Hajri di ISI Yogya, tahun 1999.
Dalam amatan Gede Arya, Hajri menampilkan karya-karya yang mencoba merefleksikan alam fenomenal keseharian yang tampak, yang sebenarnya merupakan gambaran dari apa yang ada di baliknya. Tentu ini kesannya berfilsafat, diharapkan harus mampu meraba titik-titik awal dari jangkar pemikiran tersebut untuk memastikan di mana langkah awal harus bermula.
“Berbicara tentang seni, tentu pemahaman estetika sebagai bagian filsafat seni tidak bisa diabaikan. Filsafat adalah kunci memasuki peta kehidupan. Dengan kunci itu ditemukan makna kehidupan dan sarana untuk pencapaian tujuan kehidupan dan melalui jalan (ekspresi) seni, kehidupan itu menjadi lebih beradab dan bermakna,” katanya.
Satu topik mendasar yang menarik disampirkan lebih awal perihal proses ‘katarsis-rasa’ estetika pelukis Hajri, beber Gede Arya, adalah bagaimana memahami ‘seni’ sebagai bagian kebudayaan sebagai proses tumbuh (pertumbuhan atau perubahan terus menerus) dan ‘penghayatan diri’ melalui pergulatan yang sungguh-sungguh, komitmen, dedikasi dan semangat menjelajah ruang pemikiran kelimuan dalam berbagai wacana, isu-isu sosial, peristiwa politik, hingga penciptaan seni terkait pilihan kreativitas medium, media, dan metode melukis. Kata ‘penghayatan’ ini menyimpan pengertian sebagai adanya ‘pengalaman batin’ yang mengisyaratkan adanya proses transformasi.
“Menariknya, ‘penghayatan Hajri’ selama ini tidak menemukan muara ‘kepuasan’ mode secara material-media yang spesifik. Dia secara simultan dan terus menerus penuh dedikasi melakoni berbagai ‘metode dan teknis’ memperkaya ‘daya hidup pemikirannya’ hingga ‘daya hidup kreatifnya’ seperti melukis, menulis puisi, prosa, esai, artikel seni, seminar kebudayaan, dan sebagainya,” terangnya.
Refleksi representasi karya lukisan Hajri, jelas Gede Arya, tampak secara berulang terinspirasi karakter beberapa objek konkret/kasat mata (manusia, hewan, tumbuhan, bunga, rumah tradisional, mesin, hingga organ jantung) ditampilkan sebagai suatu kesatuan ‘kesadaran’ simbolik/metaforik.
“Objek kasat mata tersebut di tangan Hajri menjadi sublimasi kesadaran tentang spiritualitas perjalanan hidupnya,” kata Gede Arya.
Menikmati gelaran beragam tema lukisan Hajri dalam ‘Love Life Lite’, ujar Gede Arya, memang dihasratkan dalam keriangan rasa dan easy going sensibility, mengingat daya hidup cerita dalam lukisan-lukisan tersebut ada di sekitar kita.
“Tentu jika handai tolan berkesempatan bertemu dengan pelukisnya (Hajriansyah), percakapan dunia estetisnya bisa lebih syahdu, dan mendalam, seraya menenggelamkan beratnya ‘cinta-dunia’ menuju cahaya kesadaran akan kehadiran Yang Maha Agung dan Indah,” pungkasnya.
Dan yang pasti, berpameran di luar daerah (Kalsel), ini juga merupakan bagian dari pembacaan dan penjelajahan atas segala kemungkinan bagi karya seni lukis. Tidak saja bagi Hajri sendiri, namun juga apa yang nanti bisa Hajri bagikan pengalamannya bagi seni lukis di banua.@