CATATAN ini bersifat subjektif, namun disandarkan pada pendekatan disiplin ilmu dan analisa literasi film, sekaligus melibatkan pengalaman penulis terlibat dalam berbagai festival film dan pengalaman penjurian selama menjadi praktisi film.
Seperti kita ketahui bersama, pada gelaran Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) XV di Kotabaru, 6-10 November 2018, memiliki agenda baru yaitu, LombaFilm Puisi. Setidaknya ada 24 film puisi (tidak termasuk peserta yang mundur dan tidak jadi mengirimkan karya) yang dikirimkan peserta. Ini paling tidak menunjukkan antusiasme peserta cukup tinggi. Nampak tidak hanya pegiat film/video, namun sastrawan sendiri juga terlibat dalam kompetisi ini.
Kompetisi Film Puisi ASKS XV Kotabaru adalah gagasan baru yang dikeluarkan Ibu Helwatin Najwa selaku Ketua Pelaksana. Ini dimaksudkan sebagai pembeda dari ASKS sebelumnya. Sebagaimana dalam penjelasan Ibu Helwatin di asyikasyik.com, karya puisi selama ini lebih banyak dikonsumsi hanya oleh beberapa kalangan. Produk yang dihasilkan lebih banyak berupa buku-buku. Sebarannya pun lebih sering berada dalam peminat sastra, kalangan satrawan dan peserta Aruh.
Karena itu, ‘Film Puisi’ bisa jadi dianggap baru bagi pegiat film dan para sastrawan Kalsel. Terbukti, masih belum ada referensi terkait film puisi yang detail dan mendalam. Data temuannya masih berupa film yang diadaptasi dari puisi. Karena itu, usaha panitia perlu diakui dan diberikan apresiasi dalam membentuk gagasan ini sebagai upaya para panitia ASKS untuk menjawab kegelisahan atas belum maksimalnya konsumsi karya puisi.
Edukasi Pra-kompetisi
Publik perlu memahami, membaca dan menafsirkan kemunculan film puisi sebagai hal baru yang kehadirannya seharusnya bukan ditandai melalui kompetisi. Karena kompetisi hanya sebagai bentuk respon terhadap karya publik, bukan malah sebaliknya. Mengingat format film puisi (dalam kerangka panitia) dengan tataran disiplin ilmu masih bersifat pembacaan, maka kita perlu melihat lebih dalam untuk menentukan angle yang paling dekat untuk membacanya. Bayangkan saja jika bayi baru belajar merangkak tapi harus dihadapkan dengan lomba naik sepeda, tentu perlu proses yang bisa jadi panjang.
Kebijakan bisa saja berbeda jika karya film puisiyang berangkat dari kompetisi tidak dibatasi dengan aturan-aturan baku, alasannya tentu saja karna film puisi masih dalam wilayah pembacaan. Polemik sempat muncul menyusul adanya syarat baru yang disampaikan panitia: tidak boleh ada dialog dalam konten film. Sebagian kalangan menilai, syarat baru ini membingungkan sebagian peserta dan berdampak pada karya film.
Sebagai praktisi film dan pengalaman, karya yang telah selesai dibuat merupakan hasil pemikiran paling matang (mise-en-scene) yang diekpresikan oleh seorang kreator dalam sebuah karya. Keutuhan karya jadi “terganggu” jika karya harus diubah karena alasan untuk dapat diterima di sebuah kompetisi. Tentu saja selain hasil kerja kolektif, sebuah produksi film telah melalui berbagai proses yang tidak instant, ada kontribusi pemikiran, tenaga dan materi. Dan semua proses itu tak diketahui oleh panitia maupun juri.
Syarat baru tadi membuat ada calon peserta yang mundur. Selain itu, syarat baru tadi juga berdampak lain, terlihat dari beberapa film yang sempat terkumpul merevisi karyanya dengan me-mute adegan dialog atau adegan yang bersifat prolog. Perlakuan terhadap karya film tentu saja menjadi catatan awal terlaksananya kompetisi ini.
Karena itu, jika gagasan ini sudah mendapatkan perhatian oleh para pegiat film dan sastrawan, harusnya ada edukasi pra-kompetisi yang di dalamnya berupa pembacaan bentuk dan teori yang setidaknya menjadi pedoman sederhana untuk menggambarkan karya film puisi. Agar porsi produk sastra dan film tetap terwakili dalam sebuah karya.
Momentum untuk membaca karya harusnya terjadi pada pra-event, dengan menawarkan program pelatihan. Pasca event hanya sebagai bahan evaluasi untuk event lanjutan. Harapannya agar film puisi bisa dipetakan dalam sebuah kaidah ilmu pengetahuan dan kesenian.
Pertanyaanya adakah continuity setelah kegiatan ini? Jika memang film puisi patut untuk dilanjutkan sebagai ruang kekaryaan. Bukan terlihat seperti pelengkap atau bahkan formalitas agenda pembeda untuk daya tarik peserta.
Film dan Intellectual Property (IP)
Kita perlu menyamakan frekuensi atau penyamaan persepsi, kita sedang mencari bentuk dan mencari ruang baru, karena gagasan baru perlu peninjauan dari berbagai disiplin keilmuan. Terlebih gagasan film puisi memiliki dua unsur disiplin keilmuan yang berbeda, sastra dan film.
Walaupun pada dasarnya dari semua produk citra visual hanya film yang mampu menggabungkan banyak unsur kesenian. Sifat film diakui dapat menggabungkan semua unsur seni (seni rupa, seni tari, seni musik, seni teater/drama, dan sastra) menjadikan film memiliki “bahasa” sendiri dalam penuturannya.
Meskipun film dianggap seni paling muda dalam temuannya, namun ilmu dan pengetahuan perfilman telah berkembang dengan sangat cepat dan melahirkan dispilin ilmu teori yang sudah cukup lama disebarluaskan melalui berbagai cara, termasuk di berbagai sekolah perfilman di seluruh dunia. Materi seperti buku-buku teori filosofi, konsepsi, kajian, hingga pengetahuan teknik perfilman sudah banyak ditulis dan diterbitkan.
Kita harus banyak memahami unsur-unsur pembentuk “bahasa” film sebelum menggabungkannya ke dalam unsur lain, yang sejak kelahirannya film sudah mengawinkan gambar gerak ke dalam bahasa naratif. Intellectual property (IP) atau produk-produk sastra lain yang diadaptasi menjadi film sudah banyak yang diproduksi. Bahkan di Indonesia sendiri film-film box office banyak diambil dari IP novel.
Produk sastra tentu ada banyak, dan puisi sendiri dianggap sebagai ruang imajis yang terapannya dalam bahasa visual dapat mencapai perbedaan, karena interpretasi sebuah bait pada puisi jika dibahasakan ke dalam bahasa visual pasti akan berbeda-beda.
Sudah menjadi kesepakatan bersama, bahwa dari IP apapun film berasal, jika ia dituangkan dalam medium film maka hanya menjadi satu bahasa, bahasa visual yang terlepas dari keterikatannya pada genre apapun. Hingga kini, genre prosa di dalam film bahkan belum ada.
Analisa Ketandaan dalam Bahasa Visual
Bagi ahli semiology (ilmu ketandaan), sebuah isyarat harus terdiri dari dua bagian: yang memberi arti dan yang diberi arti. Dalam kesusastraan, hubungan antara yang memberi arti dan yang diberi arti merupakan fokus utama seni. Penyair membangun konstruksi, yang di satu pihak terdiri dari bunyi (pemberi arti) dan di lain pihak makna (yang diberi arti). Hubungan di antara keduanya itu bisa sangat menarik dan di sinilah kenikmatan sebuah puisi.
Tapi dalam film, pemberi arti dan yang diberi arti hampir-hampir identik: isyarat sinema ialah isyarat sirkuit pendek. Gambar buku secara konsep lebih dekat kepada buku daripada kata “buku”. Memang benar, bahwa ketika kita masih anak-anak harus belajar menerjemahkan gambar buku punya arti buku. Tapi hal ini jauh lebih mudah dari pada belajar menafsirkan huruf-huruf atau bunyi “buku” sebagai apa yang ia berikan artinya. Sebuah gambar mempunyai hubungan langsung dengan apa yang ia beri arti. Sedangkan kata harus melalui penafsiran tambahan dalam sebuah kata lain agar pemaknaan dapat diberi arti.
Meski demikian, film memang seperti bahasa. Lalu, kalau demikian bagaimana ia melakukan apa yang ia lakukan? Jelas, bahwa imaji seseorang tentang sesuatu benda bukanlah imaji orang lain. Jika kita sama membaca kata ‘Mawar” (dalam bahasa Inggris, Rose), kita mungkin ingat pada ‘Mawar Perdamaian’ yang dipetik beberapa musim yang lalu. Sedangkan orang lain akan mengingat pada ‘Mawar’ yang diberikan seseorang ketika orang tersebut menyatakan cintanya.
Tapi dalam sinema, semua orang pasti akan melihat pada ‘Mawar’ yang sama. Sedangkan seorang sineas akan memilih antara sekian banyak jenis ‘Mawar’ lalu merekam‘Mawar’ tersebut dengan cara yang tak terbatas pula banyaknya.
Pilihan seniman dalam sinema tidak ada batasnya. Sementara pilihan seniman dalam kesusastraan relatif “terbatas”. Sedangkan pilihan pengamat ialah kebalikannya. Film dalam hubungan ini tidak mensugestikan, tapi ia menyatakan. Di situlah letak kekuatan film dalam membahasakan ruang imaji pada sebuah produk sastra.