LEMBAGA Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin bekerjasama dengan Asyikasyik menggelar diskusi dan nonton film pendek “Suatu Malam, Ketika Puisi Tak Mampu Ia Tulis Lagi” di Rumah Alam, Sungai Andai, Kota Banjarmasin. Menghadirkan para narasumber, yakni produser film Asyikasyik; Hudan Nur, Ketua Forum Sineas Banua (FSB); Munir Shadikin, Penikmat Film; Naufal Lisna Reisya, yang memperbincangkan karya film ekranisasi di Kalimantan Selatan.

“Saya ingin membayangkan bahwa bagaimana sosok Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri dan Joko Pinurbo (Jokpin) yang bertemu di suatu tempat,” ungkap Novelis Sandi Firly kepada Asyikasyik.com, Sabtu (11/2/2023) sore.

Dengan terbayang itu, Sandi berkeinginan untuk meramunya ke dalam sebuah karangan cerita pendek (cerpen). Andai saja, menurutnya keempat tokoh berbeda generasi itu bertemu, maka apa jadinya pertemuan tersebut dengan obrolan-obrolan yang penuh sastrawi.

Sandi Firly sedang memaparkan Cerpennya yang menjadi pilihan KOmpas 2019

“Jadilah cerpen itu, dan tokoh anak muda yang sebagai penyair itu memang baru diciptakan,” ucap Founder Asyikasyik.

Kata Sandi, cerpen ‘Suatu Malam Ketika Puisi Tak Mampu Ia Tulis Lagi’ dimuat pertama kali di Koran Kompas pada 1 Desember 2019. Sebelum akhirnya, dia terbitkan ke kumpulan cerpen yang diabadikan sebagai judul buku tersebut.

“Bersama kawan-kawan di Banjarbaru, mereka tertarik ingin memfilmkan karya cerpen saya. Waktu itu, proses syutingnya cuma satu minggu,” ucap peraih novelis terbaik di Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) Kandangan, itu.

Ketua Forum Sineas Banua, Munir Shadikin menjelaskan bahwa iklim film di Kalimantan Selatan belum banyak lagi memproduksi karya ekranisasi, yang merupakan transformasi karya sastra ke bentuk film. Kedatangannya pertama kali di Banjarmasin, dia melihat naskah karya Adjim Arijadi berjudul: Perang Banjar Hampir Berakhir, digarap ke dalam sebuah film.

Suasana Diskusi di Rumah Alam, Sungai Andai Banjarmasin

“Kemudian diambil dari beberapa potongan ceritanya, berjudul Panglima Tanpa Kepala dijadikan sebuah film lagi. Setelah itu diambil oleh Pemprov Kalimantan Selatan untuk digarap,” beber dia.

Munir menyebut bahwa keberhasilan tak hanya ditinjau dari aspek naskah yang dibuat, tetapi bagaimana beban sang pembuat film yaitu sutradara. Apalagi, menurutnya karya sastra yang banyak meminati karangannya maka ekspetasi para penonton sangat tinggi terhadap perfilman tersebut.

“Padahal, alih wahana atau ekranisasi ini tidak bisa memenuhi ekspetasi penonton. Pasti saja tidak ada yang terpuaskan,” ucap alumni Prodi Film di Akademi Komunikasi Indonesia (AKINDO) Yogjakarta, itu.

Maka, bagi Munir perlu pendewasaan dari penonton bahwa dua hukum antara film dan sastra, tentu memiliki dua dimensi yang berbeda.

Hanya saja, menurutnya bagaimana penonton melihat bahwa film ini karya sutradara, bukan penonton yang memiliki ekspetasi tersebut. “Saya sudah menonton film ini tiga kali. Memang bener, saya sudah membaca cerpennya dan nempel sekali wajah para aktornya ketika lebih dulu membaca karangannya,” ungkap dia, tersenyum.

Sebagai penikmat film, Naufal Lisna Reisya melihat banyak anggapan-anggapan yang muncul pasca menonton. Di hadapan Sandi Firly, dia mengaku cukup menikmati film yang digarap dengan alih wahana dari cerpen tersebut.

“Tetapi, film ini akan membuat banyak orang beranggapan setelah menontonnya. Terlepas tokohnya siapa, kita banyak mengira-ngira di dalam cerita,” jelasnya.

Menurut Reisya, sulit sekali membayangkan alur film tersebut. Apalagi, dia melihat cuplikan saat detik-detik memegang cutter maka pertanyaan banyak sekali yang hadir dimata penonton.

“Masih ada ruang untuk penonton menduga-duga. Lelakinya bucin, beberapa kali puisinya dibuang oleh perempuan. Kemudian, sang perempuan senyum maka menimbulkan tanya,” tandasnya.@