JIKA pembaca mencari film pendukung kampanye #metoo, barangkali Promising Young Woman (PYW) adalah salah satu contoh terbaik. Sekadar informasi, kampanye #metoo adalah gerakan untuk mendorong perempuan agar berani menyuarakan pelecehan atau kekerasan seksual yang dialaminya. Silakan mengelana di jejaring internet untuk mendapatkan informasi yang lebih utuh mengenai hal ini. Dalam setahun dua terakhir, selain PYW, film serupa yang masuk jajaran kandidat Oscar adalah Bombshell yang sudah pernah saya ulas sebelumnya.

PYW adalah film produksi tahun 2020 dan menjadi nominator Oscar 2021 untuk sejumlah kategori termasuk pemeran utama wanita terbaik untuk aktris utamanya, Carey Mulligan; penyutradaraan terbaik untuk sutradara film ini yang adalah seorang perempuan Emerald Fennell; penyuntingan terbaik untuk editor film Frederick Thoraval; film terbaik, dan memenangkan kategori naskah asli terbaik yang ditulis oleh sang sutradara sendiri, Emerald Fennell. Tak bisa dipungkiri, ide cerita untuk film ini menurut saya demikian orisinal, dan out of the box.

Mulligan memerankan Cassie Thomas, perempuan pertengahan tigapuluhan yang berhenti dari kuliah kedokterannya lalu bekerja sebagai pelayan di sebuah kedai kopi. Film ini diawali adegan Cassie pura-pura mabuk di sebuah klub malam. Kondisi yang memudahkan lelaki brengsek membawanya ke suatu tempat untuk berhubungan seks. Benar saja, seorang lelaki pura-pura ingin mengantar Cassie pulang lalu membawanya ke apartemen si lelaki. Saat lelaki itu berusaha meniduri Cassie yang dianggapnya takkan melawan dan takkan sadar karena kondisi mabuknya, tetiba Cassie sadar dan bertanya, “Apa yang kau lakukan?”

Cassie memiliki daftar lelaki-lelaki yang membawanya untuk ditiduri saat ia pura-pura mabuk. Daftar itu sangat panjang. Penonton tak mendapat penjelasan apa yang dilakukannya pada lelaki-lelaki itu. Menurut saya, ini adalah salah satu kelebihan film ini. Film ini telah melawan arus tren penggambaran vulgar adegan seks dan kekerasan. Jika penonton berharap, yah berharap, akan menemukan adegan seks atau kekerasan yang gamblang seperti yang biasa penonton dapatkan di film-film Tarantino, Fincher atau belakangan menjadi tren film original Netflix, silakan kecewa.

Film ini meski substansi ceritanya mengenai kekerasan seksual, takkan penonton dapati adegan semacam itu.

Film ini mencoba memahamkan penonton mengapa seorang perempuan yang tergolong paling cerdas di kampus, akhirnya memutuskan dropout lalu menjalani hidup sedemikian dramatis. Itu adalah sebuah usaha balas dendam tak ada habisnya, perasaan terzalimi yang demikian kuat. Cassie bukan korban kekerasan seksual, Nina Fisher lah korbannya. Nina adalah sahabat paling karib Cassie, mereka tumbuh bersama, dan Nina diperkosa berulang kali saat ia mabuk di sebuah pesta. Yang menakjubkan adalah semua orang, lelaki, dan celakanya, perempuan, melihat itu sebagai kesalahan Nina. Siapa suruh Nina mabuk, karena mabuk dan Nina tak melakukan perlawanan apapun, artinya Nina setuju dengan hal itu. Nina yang bodoh dan malang.

Nina akhirnya bunuh diri, dan Cassie yang gagal membawa para pemerkosa Nina ke penjara memilih membalas dendam dengan caranya sendiri. Cara yang sungguh menyedihkan karena lelaki-lelaki yang dijadikannya target barangkali tak jua jera.

Pada satu titik sebenarnya Cassie telah memutuskan berhenti dari dendam tak berkesudahan itu saat bertemu teman kuliahnya, Ryan Cooper, teman kuliahnya yang menjadi dokter anak. Cassie mencintai lelaki itu, dan memutuskan untuk kembali hidup normal. Tapi menjadi normal hanya ilusi Cassie saat ia mendapatkan sebuah video. Video perkosaan Nina. Ada Ryan di video itu yang dengan semangatnya menonton secara live Nina diperkosa. Di akhir film, Cassie mendatangi Al Monroe di pesat bujangnya. Al adalah tokoh utama pemerkosa Nina. Nina bermaksud membunuh Al, namun alih-alih berhasil membunuh Al, Casssie akhirnya mati dibunuh Al. Meski demikian, Cassie telah menyiapkan segalanya. Dalam kematiannya, ia menang.

Alih-alih menjadi film thriller seperti diinfokan beberapa situs informasi film, menurut saya, PYW adalah genre drama yang karakter tokoh-tokohnya kuat dengan cerita yang juga kokoh. Sebagian penonton tentu berpikir, mengapa Casssie harus merusak hidupnya hanya karena temannya diperkosa dan bunuh diri. Tentu saja kehilangan orang yang dicintai dengan cara tragis memungkinkan seseorang kehilangan arah dalam hidupnya. Namun Cassie tak sekadar kehilangan sahabat yang ia sayangi. Cassie telah membentur tembok yang bernama permakluman sosial atas pemerkosaan. Benturan dengan tembok semacam itu bagi seorang perempuan yang berjuang mati-matian untuk mendapatkan keadilan adalah kemahafrustasian.

Pengadilan menolak pemenjaraan terhadap Al karena reputasinya yang cemerlang sebagai mahasiswa kedokteran. Ia tampan, kaya, dan pintar. Siapa yang percaya lelaki semacam itu melakukan kejahatan seksual. Dosen-dosennya bergeming, hakim, dan pengacara menolak percaya, dan teman-temannya manyalahkan Nina atas pemerkosaan itu. Bukankah kejadian semacam ini terasa nyata, juga terjadi dalam kehidupan kita.

Permakluman semacam ini menjadi sebuah penanda semakin kuatnya rape culture dalam kebudayaan Amerika modern yang konon menghargai perempuan namun masih partiarkis tiada terkira. Hubungan seksual tanpa persetujuan salah satu pihak, dalam hal ini perempuan, dan pemaksaan oleh lelaki selalu mungkin berujung pemerkosaan. Hal tersebut menjadi lebih sulit bagi perempuan ketika secara sosial, masyarakat tak ingin ambil pusing dengan hal tersebut alias menganggap hal tersebut normal. Bahkan dalam tradisi seks bebas ala hookup di Amerika, konsesus antara lelaki dan perempuan dalam hubungan seks dianggap tak diperlukan karena lelaki adalah pihak yang dianggap dominan dan berhak menentukan seperti apa hubungan seksual itu dilakukan. Kebebasan yang terasa begitu hipokrit.

Hal istimewa lainnya dari film ini bagi saya adalah sang sutradara sendiri yang sekaligus penulis naskah, Emerald Fennell. Selama ini Fennell justru dikenal sebagai aktris, daripada sutradara, produser atau penulis naskah film. Ia memang pernah menulis naskah film serial Killing Eve untuk enam episode menggantikan penulis naskah utamanya, dan mendapatkan nominasi Emmy Award untuk itu. Meski demikian, merupakan sebuah lompatan besar baginya ketika sebagai penulis naskah asli (bukan adaptasi) film, ia memenangkan Oscar, dan mendapat nominasi untuk sutradara terbaik, serta film terbaik di ajang yang sama untuk film PYW ini.

Film ini digarap perempuan dengan sudut pandang perempuan.

Bahwa industri film Hollywood lewat ajang oscarnya memberikan pengakuan bagi saya juga merupakan sebuah hal besar. Industri media dan film adalah industri yang sangat rentan terhadap pelecehan perempuan. Saya pernah sampaikan itu saat mengulas Bombshell. Menariknya, dengan perspektif perempuannya, Fennell menggarap ini dengan meminimalisir visualisai vulgar atas kekerasan dan hubungan seks. Ini seperti sebuah pernyataan bahwa ia takkan ikut arus utama karena penggambaran secara gamblang hubungan seks dalam film pun lebih cenderung melecehkan perempuan. Tengoklah Wolf of Wallstreet-nya Tarantino, atau scene kontroversial Last Tango in Paris.

Fennell telah menjadikan tokoh utama filmnya sebagai martir, hal ini juga menunjukkan bahwa menurut Fennell perempuan berhak menuntut keadilan atas kekerasan seksual yang dialami atau dialami kaumnya, bahkan jika itu harus dibayar dengan nyawa. Pasca film ini jelas tak ada jaminan secara sosial masyarakat akan berhenti bersikap permisif atas kekerasan seksual pada perempuan. Hanya saja, film ini membawa alternatif perspektif mengenai bagaimana tiap orang harus bersikap atas kekerasan yang dialami perempuan. Demikianlah kiranya.

Wallahua’lam.@