JIKA Anda memasukkan kata kunci “Realisme Revolusioner” di google, maka yang keluar adalah buku karya Hajriansyah berjudul Realisme Revolusioner (Misbach, Amrus, Pekik).

“Jadi, realisme revolusioner ini sebenarnya tidak masuk dalam khasanah dunia. Lalu, mengapa ada istilah ini dan bagaimana kemunculannya?” ujar Sandi Firly yang didapuk menjadi pembahas buku bersama penulisnya, Hajriansyah, di Kampung Buku, Banjarmasin, Minggu (28/1/2024) malam.

Di dalam buku sendiri disebutkan, istilah Realisme Revolusioner muncul dari sastrawan Pramoedya Ananta Toer dan pelukis Amrus Natalsya dari Sanggar Bumi Tarung (SBT), sebagai bentuk Realisme Sosialis khas Indonesia yang bernuansa lokal dan kontekstual dengan persoalan kebangsaan di awal kemerdekaan.

“Dalam dunia seni memang lahir aliran Realisme Sosialis pada tahun 1905 di Uni Soviet sebagai reaksi dari aliran Romantisisme. Jika kemudian para seniman Lekra di Indonesia muncul istilah Realisme Revolusioner, saya kira ini ada kaitan erat dengan sejarah panjang revolusi di dunia,” ujar Sandi, sastrawan yang juga pelukis.

Lebih lanjut Sandi menyebut sejarah Revolusi Prancis,  Revolusi Rusia, hingga Revolusi Komunis Tiongkok. “Dan yang paling dekat masanya adalah revolusi komunis di China tahun 1949 yang disusul kemudian Revolusi Kebudayaan tahun 1966 dipimpin Mao Zedong,” ucap jurnalis ini.

Hajriansyah dan Sandi Firly

Hajriansyah mengakui, bahwa Realisme Revolusioner hanya ada di Indonesia. “Lantaran itu pula buku ini menjadi penting karena belum pernah ada yang menulis tentang itu,” katanya.

Benar. Diskusi malam itu yang diikuti para anak muda dengan dimoderatori Arif Rahman Hakim adalah buku edisi revisi. Karena cetakan pertama cukup laris, terlebih saat didiskusikan di Bentara Budaya, Yogyakarta akhir tahun lalu. Sebab itulah penerbit Gading mencetak ulang buku yang diolah dari skripsi ini.

“Ya, bila pada edisi pertama hanya ada sosok pelukis Misbach Tamrin, di edisi revisi ini memuat juga tokoh SBT Amrus Latalsya dan Djoko Pekik,” jelas Hajri.

Facebook Comments