ANAK-ANAK kecil suka berkerumun di dekat Danza sejak lelaki itu memiliki struktur rambut yang unik: sulur-sulur rambut yang terbuat dari tikus-tikus hitam mungil. Kautahu, mereka, anak-anak itu sangat gembira apabila bertemu Danza. Sebelum tikus-tikus itu hadir di kepala Danza, mereka tak pernah seceria itu bila berhadap-hadapan dengan Danza. Malah anak-anak itu segera menjauh dan memancarkan pandangan ketakutan ketika melihat Danza. Tapi sekarang segalanya berbeda. Danza berbeda, anak-anak itu berbeda, semua hal berbeda.
Saat sekolah dasar, orang-orang—guru, orang tua, saudara, tamu-tamu dewasa yang berkunjung ke rumah—acap bertanya kepada Danza tentang cita-citanya. “Aku ingin menjadi pejabat,” kata Danza percaya diri. Seperti kebanyakan anak kecil, ia begitu percaya diri dan berani mengatakan dengan terang isi hatinya. “Kenapa kamu mau jadi pejabat?” Begitu biasanya pertanyaan yang selanjutnya terlontar. Dengan kepolosan tingkat tinggi, Danza menjawab, “Karena kalau aku menjadi pejabat, aku bisa gampang punya banyak uang untuk beli mainan dan makanan kesukaanku. Aku sering lihat di televisi, para pejabat itu sering korupsi, dan mereka punya banyak uang.” Orang dewasa itu akan menegur, “Tapi korupsi itu perbuatan buruk, Danza.” Danza menimpali, “Aku kan nggak bilang aku mau korupsi. Aku cuma bilang aku mau menjadi pejabat dan punya banyak uang.”
Berpuluh-puluh tahun kemudian, setelah menempuh berbagai jenjang pendidikan dengan susah payah dan pindah dari satu tempat kerja ke tempat kerja yang lain dan bernegosiasi dengan berbagai orang bermental ular, cita-cita masa kecil Danza menjadi kenyataan. Ia menjadi pejabat. Ia menjadi pejabat tingkat nasional dan punya banyak uang dengan gampang. Bukan hanya uang, ia punya rumah yang luas dan mobil mewah. Ia memiliki seorang istri dan dua orang anak—laki-laki dan perempuan. Seperti Danza, istri dan anak-anaknya berbahagia. Sebab mereka bisa melakukan apa pun dengan mudah sejak Danza mendapat satu jatah kursi jabatan. “Kursi ayah sangat ajaib,” kata Azyana, anak perempuan Danza.
“Seperti topi pesulap, ia bisa memunculkan apa pun yang membuat kita senang.”
Nizza, istri Danza sangat suka berbelanja. Bukan sekadar berbelanja, melainkan belanja secara jor-joran tanpa peduli berapa pun harga barang yang ia beli. Ia memiliki prinsip yang unik, prinsip yang membikin Danza heran dan agak keberatan. “Aku tidak mau membeli barang yang berharga murah, selama masih ada yang berharga mahal.” Ia sayang kepada istrinya dan oleh sebab itu ia selalu memenuhi keinginan istrinya. Namun, semakin lama gaya hidup istrinya semakin mahal dan ia mulai melakukan dan membeli hal-hal yang berada di luar nalar Danza. Ia sering bepergian ke luar negeri—baik sendirian, bersama Danza, atau bersama teman-temannya—dan pulang-pulang memborong berbungkus-bungkus barang berharga selangit yang kebanyakan hanya dipakainya sebentar atau bahkan ada yang tidak dipakainya sama sekali selain sebagai alat bukti bahwa barang itu sudah ia beli. Ia suka membeli barang-barang aneh: alat pelangsing badan berbentuk sabuk, kursi yang memberikan sensasi tersengat listrik saat diduduki, tas kulit mini yang konon memiliki sejuta fungsi dan khasiat, dan berbagai benda-benda aneh lainnya yang kadang Danza tak mengerti apa kegunaannya.
Danza adalah lelaki penyayang istri. Ia masih tetap menyayangi istrinya, bahkan ketika tiba suatu masa istrinya mulai meminta hal-hal yang berada di luar batas kemampuan—dalam hal ini, kemampuan finansial—Danza. Itu membuatnya mesti memutar otak keras-keras. Namun, ia tidak jua menemukan cara yang bagus untuk memenuhi permintaan istrinya yang kian tak masuk akal. Bagaimanapun, Danza hanyalah seorang pejabat. Ia memang punya banyak uang, tapi keuangannya terbatas, bukan macam pengusaha dengan lini usaha di mana-mana yang uangnya tak henti-henti mengalir sampai dirinya sendiri tak bisa lagi menghitung jumlah kekayaannya.
Ia punya jalan keluar lain sebetulnya. Tapi begitu ia mengingat jalan keluar tersebut, ia teringat dengan perkataan seseorang semasa ia masih kanak-kanak. Hanya teringat, tidak lebih. Pada hari-hari berikutnya, keinginan istrinya tetap terpenuhi dan ingatan Danza akan perkataan seseorang di masa lampaunya itu sudah betul-betul lenyap dari pikirannya, seperti lenyapnya nyala api terakhir pada sebatang lilin.
Anak laki-laki Danza, Zano adalah pemuda baik-baik jika sedang berada di depan sang ayah. Ia berbicara dengan ayahnya secara baik-baik, meminta sesuatu secara baik-baik, izin untuk melakukan sesuatu dengan baik-baik. Singkatnya ia melakukan segalanya dengan baik-baik ketika di hadapan Danza dan karena itu Danza merasa anak itu baik-baik saja.
Begitu berada di luar jangkauan Danza, Zano adalah apa-apa yang tak pernah Danza harapkan dan sangkakan. Ia menggunakan uang yang ia pinta dari sang ayah dengan alasan keperluan kuliah untuk membeli bir dan ganja. Ia pergi ke pesta-pesta yang dipenuhi hentakan dan bola lampu kerlap-kerlip alih-alih pergi ke rumah teman dan dosen untuk memperdalam pelajaran—sebagaimana yang ia katakan sewaktu izin kepada Danza. Ia membersihkan dan merapikan diri sebelum pulang dari pesta-pesta basah dan penuh desah itu. Setibanya di rumah, ia akan tersenyum kepada ibunya dan terutama kepada Danza. “Selamat pagi, Ayah,” katanya sebelum beranjak ke kamar. Danza membalasnya dengan senyum sumringah dan penuh kebanggaan seolah-olah anak lelakinya itu baru pulang dari perlombaan internasional dengan membawa medali emas. Dari balik pintu kamarnya, Azyana, putri Danza mendengkus melihat kelakuan kakaknya.