DERASNYA arus informasi digital melalui media sosial, berjejalan, saling tumpang tindih, membuat orang seringkali berpikir instan dan pragmatis. Akibatnya, informasi yang berseliweran kerap ditelan mentah-mentah tanpa dikunyah. Saat itulah nalar kritis terhadap informasi menjadi mandeg, tak jalan.
“Hilangnya nalar kritis pengonsumsi informasi inilah yang kemudian membuat tersebarluasnya hoax. Sebab tidak ada upaya melakukan verifikasi, kroscek, terhadap informasi yang dia dapatkan. Lebih celaka lagi, bila informasi itu langsung dibagikan tanpa terlebih dulu membaca isinya secara tuntas dan teliti,” ujar Berry Nahdian Furqon, salah satu pembicara dalam diskusi yang digelar Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin di Rumah Alam Sungai Andai, Banjarmasin, Rabu (27/4/2022).
Berry yang aktivis juga politikus lebih lanjut mengatakan, tidak utuh dalam menerima informasi maka akan menghasilkan asumsi. “Yang direspon bukan lagi fakta, tapi asumsi. Sehingga yang beredar di udara bukan lagi realitas yang nyata, melainkan asumsi-asumsi semata,” ujarnya.
Untuk itu, Berry menyarankan, agar nalar kritis terhadap informasi yang beredar tidak menjadi tumpul dan redup, kiranya perlu dibentuk komunitas virtual. “Bagaimana bentuknya, saya tidak tahu, mari kita pikirkan bersama,” ucapnya.
LK3 menggelar diskusi dengan tema “Merawat dan Menguatkan Nalar Kritis Masyarkat Sipil” didasari atas kegundahan terhadap banjir bandang informasi melalui saluran media sosial saat ini.
Direktur LK3 Abdani Solihin dalam kata pengantarnya menyebutkan, kisah, berita atau informasi tentang kebaikan yang semuanya berbasis pada fakta bisa menjadi berantakan manakala kabar ini berada di tangan orang yang memiliki pola pikir serba negatif. Ia bisa mengubah menjadi kisah tentang keburukan dan dengan enteng disebarkan ke berbagai media sosial. Pun kabar, informasi atau apa pun namanya yang serba bohong, namun karena diwartakan oleh orang yang seakan-akan suci dan soleh, kabar ini bisa menjadi warta gembira penuh sukacita.
“Gempuran berita hoax pada tahun politik dan dibumbui dengan penyedap rasa bernama agama, membuat nalar manusia Indonesia diuji. Apalagi kaum cerdik pandai dan agamawan yang selama ini menjadi benteng nalar dan moral justru ikut bermain dalam membuat atau menyebarkan berita bohong,” katanya.
Nah, dalam diskusi ini, LK3 mengajak bagaimana dalam kondisi seperti itu nalar tetap bisa terjaga, cerdas, waras, dan kritis,
Siti Mauliana Hairini, dosen FISIP Universitas Lambung Mangkurat yang hadir sebagai narasumber mengatakan, apa yang sesungguhnya terjadi adalah sebuah pertarungan wacana. “Karenanya, juga harus dihadapi dengan wacana. Produksi wacana sebanyak-sebanyaknya terhadap kasus semacam itu. Dan yang terpenting adalah story, dalam hal ini story telling bagaimana menceritakan atau memahami urutan sebuah peristiwa terjadi sehingga bisa dilihat kebenarannya,” ucapnya.
Ia juga menyarankan, agar setiap informasi yang diterima terlebih dulu dicek kebenarannya. “Untuk bernalar kritis ini bisa menggunakan metode filsafat, yakni bertanya. Jadi, kita terus pertanyakan tentang informasi itu sampai didapatkan kebenarannya,” katanya.
Sementara pembicara Hairansyah, Koordinator Subkomisi Penegakan HAM, mengatakan, tidak adanya daya nalar kritis terhadap setiap informasi yang didapatkan bisa berakibat berbahaya. Apalagi, katanya, dalam politik saat ini masyarakat mulai terpola dalam dua kubu. “Yang itu menyebabkan, apapun yang disampaikan oleh kubu lain akan mendapat penentangan dari kubu lainnya. Di sini nalar kritis tidak lagi berlaku, yang berlaku hanyalah kepentingan masing-masing dengan kubunya,” katanya.
Ilham Masykuri Hamdie, dosen UIN Antasari, yang hadir dalam diskusi juga menyebutkan, bahwa tidak terjadinya nalar kritis terhadap berbagai informasi itu salah satu faktonya disebabkan karena lemahnya budaya literasi.
“Dan itu tidak hanya terjadi di bidang politik atau lainnya, tapi juga literasi dalam hal keagamaan. Bagaimana misalnya di saat bulan Ramadan ini, khotbah yang disampaikan dari tahun ke tahun seringkali hanya itu-itu saja. Tidak ada penambahan wawasan,” ucapnya.
Ilham menyarankan agar dalam berdakwah juga harus mencerdaskan. Ia juga mengingatkan agar syahwat keduniawian jangan sampai menutupi hati. “Hati itu seperti cermin. Apabila ia buram, maka mungkin masih ada tabir syahwat keduniawian yang menutupi,” ucapnya.
Diskusi yang dimoderatori Noorhalis Majid dan dihadiri para dosen juga para aktivis ini diakhiri dengan acara buka puasa bersama. Diskusi ini merupakan kali kedua yang digelar LK3 selama bulan Ramadan 1443/ 2022 H.@