Dunia ambang kerap dianggap rawan, transisi antara kenyataan dan harapan. Semacam tapal batas, di mana seseorang bisa melongok sejenak ke belakang lalu menatap ke depan. Dan menimbang: kembali atau menyeberang. Tempat di mana rasa bimbang dan ragu-ragu tak berlaku. Subagio Sastrowardoyo menulis dalam puisi “Daerah Perbatasan”: Kita selalu berada di daerah perbatasan/antara menang dan mati/ Tak boleh lagi ada kebimbangan memilih keputusan:/ Adakah kita mau merdeka atau dijajah lagi.

Tapi ambang-batas juga ada berupa waktu, dari mana seseorang tak bisa kembali. Orang Jawa punya candikala untuk menyatakan batas waktu antara petang dan senjahari. Pada saat itu, semua terasa lebih indah dan terang, akan tetapi juga begitu asing. Itu dipercaya saat balatentara Nyai Roro Kidul menyiapkan diri untuk mengiringi sang Ratu pergi. Masa suka cita yang merawankan hati. Begitulah setidaknya digambarkan dalam Para Priayi Umar Kayam. Ada satu adegan di mana Lantip kecil dan mbok-nya yang tabah, duduk berdua saat candikala; saat di mana ia akan pergi meninggalkan rumahnya yang ndeso-papa di dusun Wanalawas, dan tinggal bersama nDoro Sastrodarsono di nDalem Setenan, Wanagalih, untuk mengabdi, untuk kelak menjadi priayi.

Elie Wiesel, sastrawan berdarah Yahudi penerima Nobel Perdamaian 1985, menulis novel Fajar demi tetap mencuatkan harapan di tengah huru-hara holocaust. Itu seakan menjadi ambang-batas dengan novelnya sebelumnya, Malam. Setelah kegelapan, fajar akan bersinar. Marianne Katoppo, pada pengantar Fajar menyatakan bahwa dalam kesusasteraan Yahudi, termasuk dalam kitab suci Torah, Nebiim dan Ketubim, fajar selalu merupakan berakhirnya derita dan kesesakan, serta awal suatu hidup dan harapan baru.

Suasana merawankan hati ini pula tersua dalam cerpen “Seher” karya Selahattin Demirtas. Ia seorang aktivis politik Turki muda usia, lahir 1973. Debut sastranya melalui Seher (2017), diganjar Montluc Resistence and Liberty Award dan edisi Prancis masuk nominasi Prix Medicis. Terjual ratusan ribu eksemplar di Turki, dan diterjemahkan ke dalam belasan bahasa di dunia. Dari Bahasa Turki langsung ke dalam Bahasa Indonesia, buku setebal 118 halaman berisi 12 cerpen ini diterjemahkan oleh Mehmet Hassan—kapan-kapan mungkin kita perlu berkenalan—menjadi Subuh (Marjin Kiri, 2020).

Saya mendapat buku ini dari Bernando Sujibto alias BJ, saat saya dolan ke rumahnya di kawasan selatan Bantul. BJ yang pernah studi di Turki, baru saja menerbitkan buku terbarunya, Kitab Hitam Turki (IRCiSoD, September 2021)—memaparkan hal-ihwal Turki dari dalam, yang banyak tak kita ketahui dari luar. Kini ia mengajar di Sosiologi UIN Sunan Kalijaga. Saat kami bercerita tentang masa kecil Tsabit, anak pertama saya yang semasa kecil suka menggambar bus dan truk, di mana ia bercita-cita jadi sopir—sekarang ia mahasiswa BJ—serta-merta sang dosen muda itu teringat buku Demirtas.

Di dalam buku itu katanya ada cerita tentang jenis-jenis mobil yang dihapal dengan baik oleh seorang perempuan muda petugas kebersihan. Ia suka mengamati kendaraan di lampu merah dan jalanan, dan ia tahu dari kompleks mana saja mobil-mobil itu meluncur yang menunjukkan kelas sosial seseorang. Juga ada kisah sopir bus yang melayani rute Diyarbakir-Istanbul yang tergelincir ke dalam pelukan seorang selebritis bernama Asuman. Rumah tangganya jadi hancur berantakan. Sehingga tiap kali melihat gambar Asuman di bokong truk, ia akan mendadak enggan menyalip.

“Ah, ya, saya ambilkan,” kata BJ. Ia pamit sebentar ke dalam rumah, dari halaman belakang yang rimbun pohonan, tempat kami berbincang. Tak lama kemudian ia keluar dan mengulurkan dua buku. Buku Subuh titip buat Tsabit, katanya. Untuk saya sendiri, ada Kitab Hitam Turki yang warna covernya sehitam kopi, hiasan pinggirnya mengingatkan karya para minituris dalam novel Namaku Merah Kirmizi Orhan Pamuk, membuatnya bagai sedap-sepat tembakau Motorna. Dan isinya, senikmat kuliner khas Madura, sop kambing dengan kacang ijo yang dihidangkan sang koki rumah.

Itulah awal buku Demirtas saya dapatkan. Karena dapat langsung dari orang yang cukup paham dunia literasi Turki, maka saya sekalian ambil bonus “prolog” tentang pengarangnya. Demirtas, kata BJ, sebenarnya adalah aktivis politik pro-Kurdi yang kita tahu, tentu saja beroposisi dengan pemerintahan Turki, termasuk dengan pemerintahan Edrogan. Ia pernah menjadi anggota parlemen Turki (sejak 2007) dan didapuk sebagai pimpinan bersama Partai Demokratik Rakyat (HDP) periode 2014-2018. HDP merupakan partai kiri yang memperjuangkan progresifitas, feminisitas dan hak-hak minoritas. Gesekan dari aktivitas tersebut telah membuatnya ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara yang tidak kepalang tanggung: 183 tahun penjara.

Di penjara, ia menulis. Dari mana bakat kepengarangannya, saya kira tidak terlalu urgen dipertanyakan mengingat dunia literasi dan apresiasi sastra di Turki lebih dari cukup untuk membuat seseorang fasih menulis—sebelum akhirnya memilih jalan mau menjadi sastrawan atau bukan. Di Turki, kata BJ, setiap buku yang terbit akan dibeli oleh pemerintah, dan segera diserap pasar secepat gerak lumba-lumba, bukan selamban kura-kura sebagaimana di negeri kita.

***

SEPULANG dari rumah BJ, malam itu juga buku titipan buat Tsabit saya baca lebih dulu, sebelum saya serahkan kepada siempunya, sebelum Kitab Hitam Turki dibuat khatam. Cerpen pertama, “Laki-Laki dalam Jiwa Kami”, meski berlatar kehidupan dalam penjara, tidak membuat saya tertekan, justru menemukan kesegaran berkat kecerdasan pengarang memainkan detail kecil amatannya tentang burung gereja.

Akan tetapi, cerita kedua, “Seher” segera membuat saya membeku.

Pada lembar-lembar awal, saya mendapat kesegaran sama seperti cerpen pertama, mengikuti kehidupan sebuah keluarga besar Turki yang semarak dan semanak. Sebagaimana keluarga besar India dalam fiksi Narayan, Jhumpa Lahire atau Anak-Anak Malam Salman Rusdhie. Begitu pula keluarga besar Arab/Mesir dalam prosa Najib Mahfoudz atau dalam novelet Lampu Minyak Ibu Hasyim karangan Yahya Haki.

Apalagi ini kesibukan keluarga Turki menyambut Hari Raya. Pada malam Lebaran itu, anak gadis keluarga Gani, Seher, menguleni kukunya dengan inai. Dua adik perempuannya, Kader dan Pinar, menggambari telapak tangan mereka dengan motif lingkaran. Kedua gadis kecil itu tak henti membayangkan baju dan sepatu baru yang akan mereka kenakan. Sementara Seher masih membayangkan Hayri, laki-laki satu tempat kerja yang mengajaknya bertemu esok pagi di kedai roti. Bagaimana pun, Seher sedang bertumbuh dengan separoh jiwa remajanya yang murni dan awal masa dewasa yang mulai penuh perhitungan. Ia bekerja di sebuah pabrik konveksi dan garmen.

Pagi-pagi sekali keluarga besar itu sudah bangun dengan riang gembira. “Para lelaki” (begitulah pengarang membahasakan) yang terdiri dari ayah alias Gani, kakak tertua Hadi dan adik lelaki Seher berusia lima belasan, Engin, berangkat salat Ied ke masjid. Pinar dan Kader dengan inai yang semerah buah delima di tangan mungil mereka, berlarian ke sana ke mari. Sementara Seker dan ibunya, Sultan, sibuk menyiapkan sarapan. Sarapan harus sudah siap ketika para laki-laki kembali dari masjid. Setelah itu, Seher memenuhi ajakan Hayri bertemu di kedai roti.

Akan tetapi, mulai pertengahan hingga penghabisan, cerpen “Seher” ini tiba-tiba terasa menjerat leher. Saya disergap kemurungan, rasa tak nyaman, perasaan mual, marah dan putus asa. Dimulai saat Seher kembali masuk kerja setelah libur Lebaran, ia disambut  Hayri dengan tambah mesra, dan…Menyesal, kenapa cerpen ini yang mesti ditarok bagian depan, sehingga hasrat untuk melanjutkan cerita selanjutnya mendadak padam. Maka, supaya gairah Anda juga tak ikut padam membaca lanjutan tulisan saya, sebaiknya kita pindahkan pembicaraan cerpen “Seher” ini ke bagian terakhir saja.

Butuh waktu berhari-hari bagi saya untuk berani membuka buku ini kembali. Hanya karena rasa penasaran pada cerita Demirtas yang lain sajalah yang membuat saya meminjam kembali buku tersebut kepada Tsabit. Dan ternyata, dan untunglah, cerpen ketiga, “Nazan Petugas Kebersihan” memberikan kesegaran baru yang membuat saya bisa bernafas lega. Maka saya tak bisa berhenti, dan tak butuh waktu lama menyelesaikannya. Bukan saja karena secara fisik buku ini memang tipis, tapi yang lebih penting ceritanya mengalir membuat kita ibarat melaju di jalan tol rasanya ingin menambah laju kecepatan, dan akhirnya benarlah, buku debut ini sangat menarik!

***

CERITA Demirtas khas mata batin seseorang dalam penjara; ada upaya memecah kebosanan dan kerutinan dengan mengamati dan memikirkan hal-hal kecil, seperti semut, laba-laba dan burung gereja. Jenis-jenis mobil yang melaju di jalan raya yang berkaitan dengan status sosial pemiliknya, bukan saja berdasarkan merk, tapi juga dari kompleks pemukiman mana mobil itu berasal. Perihal seorang tahanan yang rajin menulis surat dan mengirimkan kepada dirinya sendiri, dengan menghitung perkiraan berapa hari surat itu bakal sampai ke alamatnya, dan setelah itu ia lalu akan membacanya sendiri seolah baru menerima surat yang baru sampai itu.

Kisah sedih di balik kuliner Hatay, tetangga Aleppo; sebuah bom meledak menewaskan 68 orang, salah satunya perempuan sepupu Tuan Hamdullah, pemilik sekaligus koki restoran cukup ramai di Hatay. Persoalannya Hamdullah punya kisah cinta tak sampai dengan Rukiye, sepupunya itu! Hal yang segera membuat sang koki memutuskan meminum semua pil dan sirup di lemari obat. Sebaliknya, ada kisah seseorang yang selamat dari upaya gantung diri lalu sibuk iseng sendiri membayangkan perempuan-perempuan taksirannya. Persahabatan Cemal dan Husyein, hal-hal kecil bersama ibu, dan kisah seorang ayah yang menulis buku atas nama orang lain, dan kisah lain-lain yang tak kalah serunya.

Facebook Comments