Sebagai pernyataan singkat yang menguar kecintaan, hasrat yang dalam, ingatan, dan satirisme, dalam perjalanannya, mengalami pengayaan yang terus meninggalkan asal katanya dalam bahasa Yunani “epigramma” yang berarti pedoman, teladan, nasihat, atau ajakan untuk melakukan hal-hal yang benar.
Paling tidak, dari sejumlah epigram (atau puisi epigram) yang kerap dijadikan rujukan, seperti “Hak Oposisi” (WS Rendra, 1975) dan “Perjananan Usia” (Candra Malik, 2016)—sekadar menyebut beberapa judul, istilah “pernyataan singkat” menjadi relatif atau potensial diperdebatkan. Sesingkat apa? Apakah singkat itu adalah 24-25 baris pendek sebagaimana kedua contoh di atas? Kalau memang begitu, kenapa puisi “Rakyat Adalah Sumber Ilmu”-nya WS Rendra yang terdiri 35 baris, sebagaimana puisi “Jatuh Cinta Padamu”-nya Khalil Gibran yang terdiri dari “hanya” 12 baris, juga kerap dijadikan contoh ketika membahas epigram.
Ambiguitas standar belum berhenti sampai di sana. Istilah “tidak bertele-tele” yang juga kerap melekat (atau dilekatkan) tentu saja kontraproduktif dengan bahasa puisi dan epigram. Sementara itu, salah satu kecenderungan puisi yang membuatnya khas (sekaligus “berbahaya”) adalah defamiliarisasi diksi yang kerap terjadi—atau menjangkiti—genre tulisan tersebut, sebagaimana termaktub dalam pembukaan “Pandangan Pertama”-nya Khalil Gibran sebagai berikut:
Itulah saat yang memisahkan aroma kehidupan dari kesadarannya.
Itulah percikan api pertama yang menyalakan wilayah-wilayah jiwa.
Itulah nada magis pertama yang dipetik dari dawai-dawai perak hati manusia.
Demi menghindari sifat kebertele-telean yang potensial mencabut epigramisme-nya, kenapa Gibran tidak langsung saja menulis, misalnya,
Pandangan pertama memang memabukkan
Atau paling tidak,
Tidak ada yang kuasa menerbangkan seseorang ke surga kecuali pandangan pertama kekasih
dan masih banyak opsi tidak bertele-tele lainnya.
Tapi… membaca sehimpun teks yang dilabeli epigram oleh penulisnya sendiri, bukan hasil epigramisasi berbagai pihak atas cocoklogi label, adalah kasus yang lain. Ia tidak bisa dihadapkan langsung pada polemik ambiguitas di atas. Sebagaimana membaca buku Tangan Tangan Kisah yang ditulis Ubai Dillah Al Anshori, tawaran-tawaran pembacaan melentang-lenting ke sana-kemari.
Kecurigaan dan harapan adalah dua hal yang berkelindan di dalam kepala saya ketika membaca—hingga akhirnya menamatkan—sehimpun epigram terbitan Soesoeran tahun 2022 itu.
Epigram kedua dalam buku tersebut—
/2/
siapa di antara kita
akan menjadi jendela
menunggu senja
yang tidak pernah tiba
menerbitkan kecurigaan bahwa Ubai tidak melakukan apa-apa, selain menulis epigram sebagaimana pengertian epigram yang kadung melekat ke dalam resepsi publik: indah di rima, diksi memesona. Perkara makna, belakangan. Bagaimana tafsir bekerja adalah tembok perlindungan klasik bagi penulis puisi dan atau epigram.
Kesempatan, dalam istilah Khalil Gibran, memabukkan siapa pun dalam pandangan pertama, seolah-olah tak ingin (atau sengaja “tak dimanfaatkan”) Ubai sebagai penulis.