SUDAH beberapa kali Tok Wis mencoba menahan massa untuk tidak lekas percaya dengan segala bentuk tahayul semisal tuyul, kuntilanak yang mati beranak, dan omong kosong tentang pocong.
Kali ini, Bu Darmi yang menjadi korban. Beberapa hari sebelumnya, ternaknya yang digembalakan di sekitar pelabuhan di Bandarbakau , hilang. Konon, kata Wak Atan ternaknya dimakan lelembut yang tersangkut di akar kedabu. Sontak, satu kampung menjadi riuh dan gempar. Sebelumnya, kerbau Mak Sum yang menjadi korban. Sebelumnya lagi ada kambing Tok Pi’i. Bahkan, pernah Abdul, anak dari Syamsul hilang tak tentu rimbanya, hingga sekarang.
Sebenarnya, semenjak dulu, Bandarbakau sudah terkenal sebagai pasarnya para ‘orang halus’. Nenek Jum pernah berkisah, ketika ia masih teramat muda, di Bandarbakau pernah terlihat olehnya keramaian dan aneka lampu dari colok dan obor di kejauhan. Sedang semua orang tahu bahwa tak ada seorang pun mau bermukim di sana, melainkan hanya rerumpunan pokok bakau, api-api, kedabu, cingam, dan perepat saja. Adapun sesekali monyet terlihat asyik bergelayut dan bermain di ranting-ranting bakau yang melintang.
***
Hari itu, Bu Darmi sudah kehabisan kesabaran. Dengan didukung Wak Atan, ia beserta beberapa orang warga mendatangi kawasan Bandarbakau. Tujuannya tak lain adalah ingin meminta kesediaan dari lelembut yang katanya bersemayam di surau kecik untuk dapat mengembalikan ternak dan juga orang yang pernah hilang diculiknya. Mereka membawa nasi kuning dan telur ayam cemani, serta ayam jantan yang paruh dan cakarnya berwarna kuning. Tidak lupa aneka buah-buahan dan kemenyan yang dibakar mengeluarkan bau yang khas.
Ketika memulai prosesnya, Wak Atan menyembelih ayam dan menaburi darahnya membentuk lingkaran yang mengelilingi mereka. Kemudian, ia membakar kemenyan di dalam sebuah tempat yang terbuat dari kuningan. Tiba-tiba saja, ia berteriak panjang. Matanya membeliak dan kemudian tak sadarkan diri. Tak lama, ia bangkit dan menatap tajam satu per satu warga yang ikut bersamanya. Tatapannya cukup membuat bulu kuduk merinding.
Wak Atan mendelik dan membeliak. Badannya menegang dan menggelinjang. Dengan suara serak, ia kemudian berkata, “Mereka tidak akan kembali lagi. Dan itu akan selalu terjadi, melainkan kalian lakukan persembahan setiap awal bulan Safar. Lalu, jangan lagi sesekali kalian mendekat ke sini. Apatah lagi menebang rumah kami.”
Itu saja yang dibilangnya, kemudian badan Wak Atan menegang lagi dan dengan teriakan panjang, ia rebah kembali ke tanah. Setelah sadar, Wak Atan berpesan agar aneka sesajen yang mereka berikan untuk penunggu Bandarbakau agar diletakkan di pinggir laut yang sedang pasang.
Menurut Wak Atan, penunggu Bandarbakau sudah sangat marah dengan pembukaan lahan yang dilakukan belakangan. Maraknya penebangan lahan menyebabkan hantu laut marah dan memerintahkan gelombang untuk menggulung bibir pantai.
Tak ayal, beberapa tahun belakangan ini juga gelombang tinggi hingga menyebabkan airnya luber ke darat yang dikenal dengan banjir rob. Sejak itu, tidak kurang dari 20 keluarga yang memiliki rumah di pinggir laut terpaksa pindah. Betapa tidak, laut yang dahulu berjarak ratusan meter dari rumahnya, sekarang sudah bak beranda rumah. Tak terkecuali dengan surau kecik.
Surau yang dibangun oleh Penghulu Sarip, kakek dari Tok Wis ini sudah ditinggalkan jamaahnya dan menjadi bangunan tua yang sudah menunggu roboh. Tok Wis bercerita bahwa mendiang kakeknya yang dikenal sebagai orang bertuah di kampung itu, kemudian mendirikan sebuah surau di kawasan Bandarbakau.
Ia membangun surau dengan posisi hampir mengapung dengan cara menjalin papan pada akar-akar tunjang bakau sebagai pondasi sekaligus tiang tanpa menebang bakau tersebut. Kemudian diatapi dengan atap yang dibuat dari daun nipah yang dijalin dan dibiarkan tak berdinding. Luasnya sekitar 5×5 m2. Untuk mencapai surau tersebut, dibangun sebuah jembatan yang terhubung ke arah laut—yang sekaligus berfungsi sebagai tempat tambat kapal—dan ke darat sebagai akses keluar masuknya.
Dulu, semasa kakeknya masih hidup, atau ketika dia masih berusia kanak-kanak menjelang remaja, surau kecik demikian ramai dikunjungi. Mulai dari nelayan yang baru melabuh, hingga penggembala yang mengembalakan ternaknya di sekitaran Bandarbakau yang juga ditumbuhi jeruju dan waru. Entah mereka beribadah, atau hanya meluruskan pinggang melepas lelah.
Perlahan, Bandarbakau yang dianggap angker, menjadi kawasan yang nyaman bagi kebanyakan penduduk di desa itu.
***
Menurut Tok Wis yang sudah menunggui Bandarbakau ini semenjak belasan tahun silam, petaka ini dimulai dari terpilihnya si Bapak itu sebagai anggota legislatif daerah. Ketika kampanye dulu, ia menjanjikan begitu banyak pembangunan di sini. Bahkan, kawasan Bandarbakau yang sudah tersohor kisah bersejarahnya tak luput dari perhatiannya untuk pembangunan.
Melalui pengaruhnya, ia mengajukan pembangunan kawasan Bandarbakau menjadi pelabuhan. Tentu saja tidak segampang dan semulus itu. Ia membujuk para kepala dinas terkait untuk menyegerakan pembangunan di sana yang tentu saja mendapat penolakan dari masyarakat. Tapi, bukan wakil rakyat namanya kalau lekas menyerah. Mendapat suara rakyat saja bisa dilakukannya, apalagi mendapat wilayah—yang tentu tidak butuh persetujuan dari masyarakat.
“Kawasan Bandarbakau ini akan kita jadikan pelabuhan bongkar muat barang. Nantinya, kawasan ini akan menjadi sentra yang menopang perekonomian masyarakat sekitar,” ucap bapak itu suatu ketika. Dia seorang tokoh masyarakat yang amat disegani dan sudah dipercaya menjabat sebagai wakil rakyat selama dua periode.
“Ini tanah kami, Pak. Kami sudah di sini selama setidaknya lima keturunan. Bahkan surau itu peninggalan bersejarah yang dibangun oleh kakek saya sendiri, dulu ketika masa penjajahan. Kenapa sekarang tiba-tiba lahan ini mau diambil pemerintah?” sergah Tok Wis.
Si Bapak yang terhormat tersenyum—yang di mata Tok Wis dan sebagian besar warganya terlihat—seperti tikus yang berdecit. Gigi taringnya yang emas itu seakan menggambarkan kalau ia adalah orang yang siap memangsa orang lain hanya demi emas jua. Sungguh memuakkan. Ia kemudian menyambung, “Tanah ini masuk ke dalam kawasan arahan penggunaan lain (APL) yang dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW), akan dialokasikan sebagai kawasan pelabuhan. Sederhananya, tanah ini dikuasai oleh negara, Bapak.”
Tentu saja massa tidak puas dan hampir saja terjadi bentrok antara masyarakat dan aparat andai tidak segera tengahi oleh Tok Wis.
Semenjak saat itu, alat-alat berat mulai rutin menyambangi kawasan Bandarbakau. Mereka mulai menebangi pohon api-api dan bakau yang ada di sana. Dimulai dari arah selatan, satu persatu mangrove dibabat dan kemudian ditimbun menggunakan tanah merah.
Bandarbakau sendiri sebenarnya merupakan sebuah kawasan teluk yang ditumbuhi oleh aneka mangrove; bakau, api-api, belukap, cingam, nyirih, perepat, kedabu, dan lainnya.
Surau kecik sendiri terletak di mulut teluk yang berada di daerah utara. Meskipun di sekitar surau kecik tidak ikut dibangun, namun pembabatan mangrove di selatan Bandarbakau turut berdampak terhadap mangrove yang tumbuh di sana.
Api-api dan kedabu yang berada pada bagian terdepan di sekitaran surau kecik Bandarbakau, turut ditebang, untuk memudahkan kapal pengangkut material lewat yang menyebabkan pola arus dan gelombang ikut berubah mengikis daratan di sekitar proyek penimbunan (reklamasi).
Meski di selatan terjadi penimbunan, di sekitar surau kecik malah terjadi penggerusan daratan. Bahkan, pinggiran pantai yang semula landai, sudah berubah curam serupa tebing. Keadaan terparah ketika ‘pasang mati’ pada musim utara di mana gelombang pasang berada pada kondisi tertinggi.
***
Hari itu, bulan empat belas, gelombang pasang tengah dalam kondisi puncak. Pasang dan surut dipengaruhi oleh gravitasi bulan terhadap bumi dan akan mencapai posisi puncak setiap tanggal 14 setiap bulan hijriah.
Sepanjang sejarahnya berdiri, baru kali ini air pasang berhasil merendam lantainya. Bahkan ketika banjir rob sekalipun. Nyata sudah, bukan air yang semakin tinggi, tapi tanah yang semakin turun dan garis pantai mulai surut. Tiang pondasinya yang tak lain adalah akar bakau sendiri sudah ditumbuhi teritip semenjak lama. Pohonnya sendiri sejak beberapa waktu yang lalu sudah berhenti untuk tumbuh dan daunnya meranggas. Batangnya pun mengering. Besar dugaan kalau ia mati akibat terkena tumpahan minyak yang berasal dari kapal pengangkut material ke Bandarbakau.
Pagi itu, Tok Wis terkejut ketika mengunjungi surau kecik. Surau peninggalan kakeknya itu sudah rebah sama sekali, mengikuti pohon bakau yang sudah lapuk akibat mati dan tidak mampu menahan gelombang. Besar dugaannya, gelombang pasang yang cukup tinggi diikuti badai tadi malam berhasil memorak-porandakan bangunan tua itu. Bahkan, atapnya sudah terurai dan tersangkut sebagai sampah pada sela-sela akar bakau yang lainnya.
Hatinya pilu melihat kondisi surau itu. Semenjak ditinggal jemaahnya, surau yang berdiri pada akar bakau ini semakin memprihatinkan. “Mungkin ini akhir usianya, dan aku juga akan berakhir seperti itu. Meranggas, dilupakan dan mati dalam kesendirian. Begitulah manusia. Jangankan memuliakan sesama, memuliakan rumah Tuhan saja ia lupa,” batin Tok Wis sedih.
Kondisi surut pagi itu semakin menunjukkan Bandarbakau berada pada kondisi terburuk, bukan hanya pada sekitar surau kecik saja. Jarak dari surau kecik ke bibir pantai ketika surut pagi itu mencapai lebih dari 500 meter. Dengan gontai, ia menapak perlahan di dalam lumpur yang dalamnya sepahanya.
Tiba-tiba, pandangan matanya tersangkut kepada sesuatu tumpukan di antara akar napas pohon perepat. Seonggok yang sudah tidak berbentuk yang diyakininya adalah bangkai manusia. Agak susah ia coba mengenali wajahnya akibat membengkak dan membusuk, namun diyakininya betul kalau ia mengenal mayat tersebut. Posisi mayat tersebut hampir dalam posisi menelungkup.
Tok Wis yang dipenuhi ketakutan dengan penemuan mayat ini, bergegas memutar langkahnya hendak mencari pertolongan. Entah sebab apa, kakinya tersandung dan ia jatuh terjerembab di dekat muka mayat yang baunya membuat mual itu. Tok Wis terkesiap. Matanya menegang dan keringatnya mengucur deras ketika melihat gigi berwarna emas di balik mulut berlumpur itu. [*]