Indonesia bukan hanya memiliki sumber daya alam biomassa yang banyak dan beragam, tetapi juga memiliki cadangan beberapa logam penting (misalnya, Nikel (Ni)) yang merupakan bahan baku penting bagi industri katalis dan baterai di masa depan.
Sebagai peneliti bidang katalis beda fase (heterogen), adalah menjadi tanggung jawab moral dan komitmen keilmuan untuk mengambil peranan dan kontribusi yang maksimal. Tentu saja peranan dan kontribusi tersebut harus bersinergi dengan bidang ilmu/kajian lain di lingkungan Universitas Lambung Mangkurat (ULM) khususnya dan Indonesia serta dunia.
Terbangunnya iklim dan atmosfer akademik, dana riset yang cukup,peralatan riset dasar yang memadai, insentif jurnal/publikasi yang lebih besar dan akses referensi jurnal/buku untuk up date riset dan metodologi terkini juga mutlak diperlukan untuk terwujudnya ULM menjadi universitas maju dan berdaya saing.
Demikian disampaikan Prof. Rodiansono, S.Si., M.Si., Ph.D. dalam akhir pidato pengukuhannya berjudul “Katalisator Beda Fase Berbasis Logam Nikel untuk Hidrokonversi Biomassa Menjadi Bahan Bakar dan Fine Chemicals”, pada 1 6 September 2020.
Guru besar bidang Ilmu Kimia ini juga menyimpulkan, bahwa Kalimantan Selatan memiliki potensi biomassa yang sangat potensial untuk dikonversi menjadi bahan bakar dan fine chemicals. Salah satu komponen kunci konversi biomassa menjadi bahan bakar dan fine chemicals adalah material katalis. Hasil rekayasa material katalis berbasis logam nikel(Ni) memiliki kinerja yang sangat baik dan menjanjikan untuk (hidro) konversi senyawa turunan biomassa menjadi bahan bakar dan fine chemicals.
Bapak dari lima anak kelahiran Desa Air Kering, Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu pada April 1 973 ini menyelesaikan pendidikan sarjana dan pascasarjananya di Jurusan Kimia Universitas Gadjah Mada pada 1 999 dan 2005. Lulus Program Doktor of Philosophy, Bidang Applied Chemistry and Biotechnology, Chiba Universiy, Chiba Jepang pada 201 2. Suami Nurul Asmayani ini mengawali karirnya sebagai dosen di Program Studi Kimia, Fakultas MIPA, ULM pada tahun 2000. Pada 201 2-201 4 ia menjadi Ketua Program Studi Kimia, Fakultas MIPA, ULM. Pada 201 4-201 8 ia menjabat sebagai Wakil Dekan III Bidang
Kemahasiswaan dan Alumni Fakultas MIPA, ULM, dan pada 201 9-sekarang dipercaya sebagai Kepala Bagian Laboratorium Penelitian Kimia Fisika, Fakultas MIPA.
Putra pasangan Almin dan Rasunah ini sangat ingin menghadirkan kedua orangtuanya saat ia dikukuhkan, tetapi pandemi tak memungkinkannya. Ia sangat bersyukur dilahirkan oleh kedua orangtua dari keluarga petani yang memiliki visi dan misi memperjuangkan mimpi-mimpi putra putrinya agar bisa terus sekolah meski mereka sendiri tidak pernah sekolah sehingga tidak bisa membaca dan menulis.
Prof. Rodiansono tertarik dengan katalis/katalisator sejak penelitian tesis S2-nya pada 2003-2005. Pembimbingnya Prof. Wega Trisunaryanti, Ph.D Eng (alumni Osaka University) paling dominan menginspirasinya untuk bekerja/meneliti katalis, khususnya yang berbasis logam nikel (Ni). Penelitian tesis S2-nya juga meneliti katalis dua logam nikel-molibdenum (Ni-Mo) untuk mengubah sampah plastik polipropilena menjadi bensin.
Aplikasi teknologi katalis sebenarnya sangat luas. Yang paling terasa manfaatnya di Indonesia, terutama dalam bidang ekonomi dan energi, yaitu pengolahan minyak bumi/tumbuhan untuk energi di masa depan.
Ketergantungan bangsa ini pada teknologi impor menyebabkannya tidak mandiri dalam pemenuhan kebutuhan industri tersebut. Contoh lainnya adalah untuk catalytic converter yang dipasang di saluran gas buang mobil. Sejauh ini baru mobil mewah yang menggunakannya karena teknologinya masih mahal atau converter/anti-bakteri pada AC merek tertentu untuk keperluan khusus. Lagi-lagi, teknologi ini masih mahal dan hanya bisa ditemukan di negara maju atau barang mewah tertentu.
Paling tidak ada tiga langkah yang dapat dilakukan oleh Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada teknologi dari negara maju dalam konteks teknologi katalis.
Pertama, riset dasar maupun terapan harus dijaga kontinuitasnya. Jangan sampai terlalu dipengaruhi oleh keputusan politik. “Apa yang sudah dirintis oleh mendiang BJ Habibie sebenarnya sudah bagus, tetapi situasinya tidak kondusif,” ujarnya.
Kedua, potensi bahan baku industri benilai tinggi harus mendapat proteksi dari pemerintah. Misal, material maju (termasuk Katalis), bahan bakunya diekspor jor-joran ke China dan didatangkan lagi ke Indonesia sudah dalam bentuk barang jadi.
Ketiga, dukungan kebijakan/fasilitas/insentif riset yang memadai. “Sumber daya manusia (SDM) kita juga sangat berkualitas dan kompetitif, tapi jika tidak mendapatkan dukungan yang memadai. SDM hanya sekadar bertahan untuk hidup, sangat sulit untuk berkarya,” jelasnya.
Mengapa sulit berkarya? Beberapa temannya di ULM atau di universitas lain tidak memiliki sama sekali laboratorium dan peralatan untuk eksperimen, sehingga mandek ilmu dan keahliannya. Dia bersyukur karena dalam rentang 201 4-2020 dapat hibah (Rp 4-5 milyar) yang bisa ia investasikan untuk alat/instrumen dan bahan, sehingga ia bisa tetap riset dan berkarya. 5Sementara, dukungan dari institusi (dana/peralatan/bahan) hanya cukup untuk pendidikan tidak untuk penelitian. Bahkan, untuk akses jurnal/artikel terbaru saja tidak punya.
SDM Peneliti katalis di universitas yang ada di Kalimantan (ULM, UNMUL, UPR, UNTAN, dan UBorneo) hanya sekitar sepuluh orang. Tiga orang dari ULM. Jika riset dilakukan sendiri jelas akan sulit berkembang. Tuntutan kolaborasi antaruniversitas, termasuk dengan universitas di Jawa, menjadi wajib. “Masalahnya, ULM secara institusi belum diakui oleh beberapa universitas di Jawa untuk membentuk Konsorsium Riset,” katanya.
Dia sendiri lebih dilibatkan oleh teman-temannya dari ITB, UI, LIPI, UGM, dan ITS secara personal untuk proyek konsorsium mereka. Ia mengharapkan peningkatan performansi institusi (khususnya LPPM) sehingga para peneliti katalis dapat dilibatkan dalam konsorsium yang ada. (Tim/ Artikel ini pernah dipublikasikan pada majalah Berita ULM No. 35 (Edisi September-Oktober 2020)