Dalam dunia politik, di mana batas antara realitas dan ilusi setipis janji para politisi, sebuah tren baru telah muncul–Astroturfing.
ASTROTURFING, bagi yang belum tahu adalah kegiatan menciptakan ilusi dukungan dari akar rumput yang sebenarnya tidak ada. Ini seperti membayar orang banyak untuk memberi kejutan di pesta ulang tahun sendiri, tetapi alih-alih mendapat kue, yang didapat adalah suara. Dalam lanskap politik Indonesia yang dinamis, astroturfing telah menjadi tren terkini, dengan para politisi berlomba-lomba untuk mendapatkan gelar ilusionis terbaik.
Pada makna sebenarnya, astroturf adalah jenama rumput tiruan yang sering dipakai di lapangan sepak bola. Karena itu pula para satiris bahasa politik dengan jeniusnya menjadikannya istilah untuk pemalsuan suara akar rumput. Astroturf adalah sebuah skill seni membuat gerakan akar rumput palsu untuk mempengaruhi opini publik. Astroturfing politik serupa dengan kemampuan pesulap menipu dengan kecepatan tangannya. Dan tentu saja, politisi kita sudah dan akan terus melakukan segala upaya untuk membuat kita percaya pada kekuatan ajaib super mereka.
Coba bayangkan, seorang politisi berdiri di depan kerumunan orang yang bersorak-sorai, dengan penuh semangat melambaikan tangan mereka dan menjanjikan bulan dan bintang. Masalahnya, isi kerumunannya sama aslinya dengan tas tangan desainer yang dibeli dari penjual barang “kw” toko-toko online. Para “pendukung” telah dikurasi dengan cermat, dipilih sendiri, dan ditempatkan secara strategis untuk memberikan ilusi dukungan publik yang luar biasa. Sebuah pertunjukan boneka politik yang talinya ditarik dari belakang layar.
Astroturf adalah sebuah kemampuan seni membuat gerakan akar rumput palsu untuk mempengaruhi opini publik.
Contoh lain, sebuah aksi yang baru-baru ini terjadi di Jakarta, di mana seorang politisi terkemuka mengaku mendapat dukungan dari ribuan pendukungnya. Masyarakat yang tidak menaruh curiga sama sekali tidak mengetahui bahwa apa yang disebut sebagai pendukung ini tidak lebih dari sekedar aktor bayaran, yang disewa untuk berpura-pura antusias dan mengibarkan plakat dengan slogan-slogan yang menarik. Sebuah produksi sandiwara politik, lengkap dengan sorakan yang telah dilatih sebelumnya dan tepuk tangan yang tepat waktu.
Lalu dengan tragisnya, salah satu aktor yang disewa secara tidak sengaja membongkar rahasia ketika diwawancara langsung oleh salah satu stasiun TV. Ketika ditanya tentang kebijakan politisi tersebut, dia menjawab dengan tatapan kosong, sambil mengakui, “Saya di sini hanya untuk mendapatkan nasi kotak gratis.” Tentu saja, nasi kotak gratis pun tidak bisa membangkitkan dukungan politik yang tulus.
Astroturfing tidak hanya terbatas pada kegiatan langsung di lapangan. Di era media sosial, para politisi telah melakukan aktivitas ilusionis mereka secara online, menciptakan realitas alternatif di mana popularitas melonjak hanya dengan sekali klik. Facebook, Twitter (sekarang disebut X), Tiktok dan Instagram telah menjadi panggung virtual bagi para pesulap politik ini untuk menampilkan tipuannya.
Astroturfing menciptakan realitas alternatif di mana popularitas melonjak hanya dengan sekali klik di media sosial
Salah satu contoh penting adalah seorang politisi yang secara ajaib memperoleh ratusan ribu pengikut dalam semalam, mengubah halaman media sosialnya menjadi pusat dukungan online yang ramai. Namun, setelah diperiksa lebih dekat, terungkap bahwa sebagian besar pengikut ini tidak lebih dari akun palsu dengan kecerdasan politik serupa kompor pentol bakso. Tampaknya algoritma sosmed memang mudah terpengaruh terhadap pesona politik palsu.
Untuk menambahkan sedikit ironi, beberapa politisi telah melakukan kampanye anti-astroturfing. Bingung? Wajar. Mereka menciptakan gerakan-gerakan akar rumput palsu untuk mengungkap gerakan-gerakan akar rumput palsu lainnya. Menciptakan ruang cermin politik di mana realitas hanyalah kenangan belaka. Sebuah level meta-politik yang menurut George Orwell mengesankan sekaligus membingungkan.
Namun jangan lupakan pahlawan tanpa penuh tanda jasa dalam ekstravaganza astroturfing ini–para influencer media sosial. Para trendsetter digital ini adalah dalang penuh pamrih, yang dengan terampil memanipulasi persepsi publik dengan kemahiran seorang ilusionis berpengalaman. Di balik setiap hashtag dan topik yang sedang tren, terdapat strategi yang dirancang dengan baik yang bertujuan untuk mengalihkan perhatian dan membentuk narasi.