UMUR tak ada baunya. Berapa pun usianya, orang bisa meninggal dunia (atau tewas) kapan saja: secepat kilat dan cahaya, tiba-tiba, tanpa pertanda. Dalam kearifan lokal masyarakat Banjar, Kalimantan Selatan, hal itu disebut sebagai umur kada babau. Tak ada bau, tak ada yang tahu kapan malaikat maut datang, kapan kematian menjelang.

Saya tak begitu kaget ketika mendengar kabar Noor Sholihin Hidayat (Dayat) berpulang di RSUD Ulin, Kota Banjarmasin, Senin (02/12), Pukul 13.30 WITA. Bada Ashar hingga bada Magrib, saat bersama kawan-kawan Sanggar Seni Rupa Sholihin (SSRS) melayat ke rumah duka (di Jalan Gatot Subroto), kami mengenang banyak hal tentang almarhum, terkait aktivitasnya di bidang seni rupa.  

Dayat dilahirkan di Kota Banjarmasin, 18 Juni 1977, kuliah di FTSP (Teknik Arsitektur), Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta. Lukisannya sempat dipajang di Balai Kota Banjarmasin, 17-21 Mei 2015, pada Pameran Seni Lukis Mengaji Warna Damai di Kota Seribu Sungai (Peringatan ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan, 17 Mei 1949).

Karena lebih tua darinya, sehari-hari Dayat memanggil saya kaka — panggilan yang lumrah di kalangan praktisi seni di banua. Dayat hormat, sungkan (bahkan cenderung takut) kepada saya, yang dianggap sebagian orang sangar, panyarikan dan mambari takutan. Tapi hal itu tak sepenuhnya benar. Sebagian citra kita dibangun orang berdasarkan prasangka.

Sepanjang hayatnya, Dayat adalah relawan (volunter) seni rupa. Ia mengajar menggambar dan mewarna bagi anak-anak PAUD/SD di SSRS (Bengkel Sholihin, UPTD Taman Budaya Kalsel), mengajar privat di rumah anak-anak binaannya, kadang diminta sebagai juri lomba menggambar dan mewarnai. Yang membuat saya tersentuh adalah kesediaannya (di masa lalu) mengajar seni rupa bagi anak-anak di Rumah Singgah Anak (Jalan Cempaka) dan anak-anak pengupas bawang, di Pasar Bawang (Pasar Lima).

Hajriansyah (penulis sastra, perupa, kurator seni rupa, dosen seni rupa, mahasiswa pascasarjana UIN Antasari, owner Kampung Buku, Jalan Sultan Adam, Banjarmasin) telah menyebut: almarhum Dayat sepanjang hidupnya tidak banyak menghasilkan karya seni rupa. Benar. Saya sendiri lebih melihat almarhum sebagai volunter, pelatih dan pembina seni rupa bagi anak-anak. Meskipun kuliah arsitektur, tampaknya ia lebih bangga dan bahagia sebagai volunter, pelatih, dan pembina seni rupa bagi anak-anak.

Di samping kebanggaan dan kebahagiaan sebagai volunter, pelatih dan pembina seni rupa bagi anak-anak, penyakit jantung yang diidapnya (yang membuatnya meninggal dunia) mungkin salah satu alasannya memilih untuk membujang hingga akhir hayat.

Sebelum meninggal dunia, beberapa bulan sebelumnya Dayat sempat rawat inap di RSUD Ulin. Bada Magrib, ketika saya (penasihat SSRS), Fathur Rahmi Fadli (ketua SSRS) dan perupa Aswin Noor (Sekretaris SSRS) bezoek, dia terbaring lemah.

Melihat kami, dia gembira dan berusaha untuk duduk di ranjang, tapi kami minta agar dia berbaring saja. Meskipun ruangannya ber-AC, karena suhu ruangan masih terasa pengap, dia tak mengenakan baju. Menyaksikan degup jantungnya yang berdetak cepat dan napasnya yang tersengal-sengal, saya iba, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Setelah keluar dari rumah sakit, saya ingat, dia bilang dokter menyarankan agar jantungnya dipasang ring.

Riwayat penyakit jantung yang diderita Dayat tampaknya sudah lama. Saya ingat, beberapa tahun silam (kalau tak salah bersama Fathur Rahmi Fadli dan Hajriansyah) sempat menengoknya saat dia rawat inap di RS Islam (Jalan S. Parman, Banjarmasin). Sama seperti di RSUD Ulin, saat dirawat di RS Islam, selain selang infus, tabung oksigen selalu tersedia di samping ranjang sakitnya.

Tanpa bermaksud mendoakan, saya kira (mengingat kondisinya) maut yang datang menjemput dengan cepat lebih baik bagi Dayat. Saya tak bisa membayangkan kondisinya — sebelum berpulang — yang bicara dengan suara pelan, lirih dan napas tersengal-sengal.

Selamat jalan, adingku… Kelak kita akan bertemu, sebab umur kada babau…@