AKU telah menunggumu lama sekali. Bahkan cangkir ini hampir kering, persis seperti tenggorokanku yang mulai panas karena asap rokok yang terus-terusan kuteguk. Aku duduk memandang asap yang terbang di depan hidungku, dari seorang ayah yang menunggu anaknya bermain di tengah taman. Orang ini baru saja menyelesaikan ceritanya padaku, lalu diam menyandarkan bahu, menghisap rokoknya panjang, memandang anaknya dengan tatapan yang mengambang.
Ia seorang anggota dewan. Dan ia baru saja terpilih untuk yang kedua kalinya beberapa bulan sebelum ini. Tapi ia baru saja kehilangan keluarganya. Sungguh disayangkan, kebahagiaan tak dapat direngkuhnya keduanya, karier politik dan keluarga. Ia harus mengorbankan salah satunya, dan itu sungguh menyakitkan. Kebahagiaan dalam hal ini timpang, baginya.
“Sungguh, Mas,” katanya meyakinkan. “Kita tak mampu meraih satu kebahagiaan secara bulat penuh!”
Aku hanya diam, memikirkan ucapannya yang tak masuk akal bagiku. Bagaimana mungkin, seseorang yang berjuang bersama untuk suatu kebahagiaan dalam keluarga, kemudian harus meninggalkan pasangannya yang setia. Mereka hidup susah pada awalnya. Istrinya mendukungnya sepenuh hati, untuk penghidupan yang lebih layak di masa depan. Dan ia tahu, menjadi anggota dewan tentu dapat menyelamatkan kehidupan mereka yang sekarat secara ekonomi. Tentu ada tujuan mulia pula di sana, suaminya orang yang benar-benar berdedikasi selama ini untuk orang lain.
Ia menjadi orang organisasi semenjak mereka SMA. Ketika kuliah pun ia orang yang aktif di Mapala. Dan istrinya selalu menjadi pendukung pertamanya di sisinya, dari mereka pacaran hingga berumah tangga. Istrinya selalu menjadi pendengar yang setia setiap keluh kesahnya, tidak hanya dalam soal-soal organisasi, bahkan masalah kehancuran rumah tangga mertuanya.
Setahap demi setahap pacarnya, yang kemudian jadi suaminya itu, mendapat kepercayaan diri dalam kehidupannya. Setamat kuliah mereka langsung menikah dan hidup mandiri terpisah dari orang tua. Mereka bangun rumah tangga dari bawah. Suaminya bekerja apa saja, dari pegawai swasta sampai jadi kuli tinta, dan istrinya mengalah menjadi penjaga rumah, padahal dalam hal kecerdasan ia-lah tempat suaminya selalu bertanya.
Ini cerita yang benar-benar tak masuk akal bagiku. Ketika suaminya mendapat kesempatan menjadi orang partai, lalu mencoba peruntungan dalam politik lokal dan berhasil—karena keteguhannya meyakinkan suaminya pada kemampuan organisasinya, ia justru kemudian menjadi ragu pada hubungan mereka. Paling tidak begitu tafsir suaminya, kepadaku. Ya, suaminya yang selalu saja pergi keluar daerah dicurigainya menyimpan rahasia tertentu.
“Siapa sih yang tak tergoda, Mas. Sebulan dua sampai tiga kali kunjungan dan rapat keluar daerah, dengan segala fasilitas yang sempurna. Satu dua kali saya memang terjerumus dalam godaan wanita cantik yang disodorkan teman-teman, tapi lebih banyak saya mampu menahan diri karena saya benar-benar mencintainya. Mencintai keluarga saya.”
Sungguh pernyataan yang mengada-ada. Mencampur-campurkan kesenangan dan pembelaan akan cinta, sehingga tak jelas mana lagi yang sesungguhnya benar adanya. Benar-benar aneh bagiku, meski keanehan beginilah yang jamak sekarang di mana-mana. Bahkan dalam perkara yang dikaitkan dengan agama.
Mereka mampu mempertahankan keluarga mereka satu periode. Bahkan, istrinya dengan sungguh-sungguh mendukungnya ketika ia terlibat kasus penyertaan modal pemerintah kota kepada PDAM, dan terbukti hanya Ketua dan Wakil yang paling bertanggung jawab. Ia lepas dari jerat korupsi, bahkan bisa mencalonkan diri lagi untuk periode kedua. Tapi curiga memang tak ada batasnya, sedangkan cinta ternyata lain halnya—ada batasnya. Berbulan-bulan mereka berusaha menyembunyikan keretakan yang nyatanya makin melebar itu, hanya di antara mereka. Anak-anak tak pernah tahu, apalagi orang-orang di sekitar mereka. Citra harus dijaga. Dan betapa mahal kesudahannya. Persis satu bulan sesudah menduduki periode kedua, dinding rumah tangga itu ambrol menimpa hati istrinya. Demikian didakunya. Bahkan perasaan mereka yang sama terhadap anak-anak tak mampu menjadi penjamin kelangsungan keluarga. Istrinya yang diam-diam telah menggugat sebelumnya, memberinya pilihan: jalan politik atau hubungan mereka. Tak ada tawaran ketiga, tak ada negosiasi sebagaimana biasa dalam politik.
Asap rokok terus beterbangan lewat di hadapanku, tanpa ada tawaran sebatang kretek pun untukku. Ia hanya memandang anak bungsunya, yang di hari libur ini boleh dibawanya.
AKU MENUNGGUMU lama sekali, tak ada juga kabar berita. Sesekali kulihat layar handpone-ku, masih sama, tak ada tanda dibaca. Hari makin senja, lelaki di sebelahku telah pamit tanpa meninggalkan sebatang rokok pun, kecuali cerita yang kini makin ngiang dalam benakku. Betapa tak masuk akalnya! Andai kau datang, aku ingin bercerita.
Keramaian telah mulai menepi. Suara dari corong masjid bersahut-sahutan melantunkan ayat suci. Aku mencoba memandang lurus ke depan, air sungai mengalir keperakan ditimpa jingga senja hari. Apa yang kupandang di hadapan tak dapat mengalihkan aliran lain yang begitu deras di kepalaku. Kau berjanji, dan selalu berjanji.
Jiwaku telah sedemikian kering, merindukan basah meski setetes saja. Kau datang menepati janjimu, itu saja. Tak usah kau beralasan apa-apa, cukup datang dan kita akan segera angkat kaki dari sini. Tak usah kau mengatakan apa-apa, cukup tersenyum saja.
Senyum itu menggodaku. Senyum itu membuatku meninggalkan apa saja. Pekerjaan. Pengabdian yang lain. Bahkan keyakinanku sebelumnya.
Aku ingat telah diajarkan tentang kesungguhan sejak dini. “Tak ada yang mampu mengalahkan kesungguhan, Nak.” Begitu kata bapak selalu. Bahkan prasangka orang lain tak akan mampu menjatuhkan orang yang telah menanamkan niat yang kuat dalam hatinya, aku percaya betul itu. Hingga kini. Siluet senja telah mengukir jejaknya sedemikian rupa, hingga dinding gedung tua di hadapanku koyak dan menampakkan susunan bata tua pucat yang berdebu.
Aku ingat gedung tua di pinggir sungai itu. Aku telah melaluinya sejak kecil, ketika almarhum bapak sering mengajakku ke Pasar Baru untuk sekadar menyambangi tukang guting Madura langganannya, atau ketika menjelang lebaran Fitri untuk membelikan baju baru. Gedung tua itu milik perusahaan Belanda yang terus bertahan, sementara di sisi kiri dan kanannya bangungan-bangunan lain dari kayu dipugar dan dibuat baru.
“Ini gedung milik NHM, Nederlandsche Handel-Maatschappij, awalnya. Sebuah perusahaan perdagangan Belanda semi-publik,” kata bapak ketika itu. Aku tak terlalu mengerti, tapi bapak tampak bangga menyatakan bahwa bapaknya, kakekku, pernah bekerja di situ.