Kalau tidak bolu, kue sus, atau lapis legit, penganan yang hadir di meja jamuan acara pemerintahan biasanya adalah kue-kue yang terkesan memiliki status sosial tinggi. Agak jarang ditemukan kue-kue tradisional khas Banjar; pais pisang, untuk-untuk, apam, atau kue cucur misalnya.
Perkara itulah salah satu yang dikeluhkan seorang ibu pada acara Diskusi Majalah Kandil Edisi Juni 2021 yang digelar di Rumah Alam, Sungai Andai, Banjarmasin, Sabtu (18/9/2021). DIskusi yang ditaja oleh Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin ini menghadirkan pembicara Husnul Athiya (akademisi/penulis), Rakhmalina Bakhriati (pegiat kuliner Banjar), dan Rafiqah (aktivis LK3) sebagai moderator.
Dengan para peserta para ibu-ibu yang sebagian besar adalah pelaku usaha UMKM, khususnya penganan Banjar, acara ini cukup menarik. Pembicara dan peserta cukup interaktif berbagi pengetahuan dan pengalaman soal kuliner Banjar.
Diskusi soal kulliner Banjar ini sehubungan Majalah Kandil (terbitan LK3) edisi terbaru memang mengangkat tema makanan urang Banjar dengan judul: Kuliner Banjar (Refleksi di Ujung Lidah). Bila kita tilik isinya, di sana ada tulisan Makanan Tradisional Banjar: Cerminan Identitas dan Kearifan Budaya ditulis Alfisyah (antropolog), Basahang: Refleksi Lada Hitam pada Masakan Banjar oleh Arif Rahman Hakim (antropolog, staf pengajar pada Prodi Sosiologi FISIP ULM), Mencicipi Soto Banjar, Membayangkan Sejarah ditulis Mursalin (dosen UIN, dan penulis buku-buku sejarah), Aroma Sahang dalam Citarasa Kuliner Banjar oleh Mansyur (sejarawan, dosen di Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP ULM), dan beberapa tulisan lainnya.
Kehadiran Majalah Kandil edisi Kuliner Banjar ini tampak selaras dengan gencarnya Kemendikbudristek dengan program Jalur Rempah di tahun 2021 ini yang bertujuan melihat warisan rempah –rempah masa lalu, menghidupkan masa depan untuk kesejahteraan.
Di masa ramainya pasar sahang, perdagangan dan pelayaran adalah penopang utama ekonomi Kesultanan Banjar. Ketika bandar-bandar di pantai Utara Jawa telah merosot sebab ditaklukkan oleh kerajaan Mataram, bandar dagang Banjarmasin mengambil alih sebagai pasar utama di wilayah tengah Nusantara.
Dari cuplikan tulisan Arif Rahman Hakim di Majalah Kandil itu menunjukkan bahwa Kalimantan Selatan, khusunya Banjarmasin, memiliki posisi penting dan strategis dalam jalur perdagangan jalur rempah Nusantara.
Maharaja Kerajaan Negara Dipa dan Daha melarang bawahan dan rakyatnya menanam lada karena akan mendatangkan malapetaka. Hal itu dapat diketahui setelah masa pemerintahan mereka, orang asing akan datang dan akhirnya dapat menguasai Banjar. Kedatangan orang asing itu tidak lain disebabkan oleh banyaknya perkebunan lada di Kalimantan Selatan ketika itu. Walaupun sahang menjadi tanaman terlarang, ternyata tetap dipakai sebagai penyedap rasa. Bahkan aromanya sampai ke Eropa yang menarik mereka mencari sahang hingga ke selatan Borneo.
Demikian ditulis Mansyur di dalam Majalah Kandil, bagaimana sahang (Bahasa Banjar) untuk menyebut merica atau lada di masa kerajaan yang ternyata aromanya tercium hingga Eropa, yang kemudian berujung pada perebutan penguasaan dalam bisnis sahang dunia.
Selain memuat sejarah rempah, dalam hal ini sahang, Majalah Kandil juga memuat tulisan tentang sejumlah makanan khas Banjar.
Di antaranya tetang Lempeng Belayung yang ditulis oleh Noorhalis Madjid, atau tentang Wadi, Samu, dan Pakasam: Refleksi Ketangguhan Bangsa Perantau oleh Rakhmalina Bakhriati, dan Hari Raya, Makan Lapat Supaya Rakat ditulis Reja Fahlevi. Ada juga tulisan tentang budaya; Makan Batalam Bakipas Pangeran oleh Sandi Firly. Juga cerita pendek yang masih terkait dengan kuliner berjudul Di Mana Kampung Halamanku? Karya Hatmiati Masy’ud, dan puisi-puisi oleh Ali Syamsudin Arsi. Terdapat juga ilustrasi dari lukisan-lukisan karya Muslim Anang Abdullah.
Dalam filosofi urang tuha di keluarga kami, lapat mengandung nilai filosofis yang dalam. Dilihat dari istilahnya, bentuknya, dan cara pembuatannya. Istilah lapat mengandung arti bahwa akan selalu badapat (bertemu), sehingga di setiap lebaran selalu dijadikan menu utama dalam momentum berkumpul keluarga. Di mana dan ke manapun anak-anaknya merantau, namun dalam momentum lebaran selalu berkumpul untuk bertemu (badapat) di hari yang special seperti lebaran.
Begitu tulis Reja Fahlevi tentang Hari Raya dan lapat. Boleh dibilang, Majalah Kandil dengan tema kuliner ini cukup representatif membicarakan tentang kuliner Banjar, mulai dari sejarah, budaya, hingga kearifan-kearifan yang terkandung dalam kuliner Banjar. Tentu majalah ini penting bagi mereka yang ingin mengetahui jejak sejarah rempah, khususnya sahang, di banua Banjar, serta budaya dan kearifan tradisional masyarakat Banjar dalam hal kuliner.
Namun, tetap saja pertanyaan yang paling menggelitik sekaligus menohok pada diskusi Majalah Kandil terkait kuliner ini adalah: Mengapa kuliner Banjar tidak hadir di jamuan pemerintahan?@
(Untuk mendapatkan majalah Kandil bisa mengontak ke nomor: 0859196150980 a/n Paula)