DI suatu senja, di suatu pantai tepian kota, aku pertama kali bertemu dengannya. Saat itu ia sedang berdiri di dermaga tua, menatap lurus ke arah laut, memperhatikan matahari terbenam. Tidak seperti biasanya, langit senja sore itu berwarna magenta. Warna merah bercampur biru seperti lukisan di antara riak awan. Ketika ia terpukau menatap senja yang tidak biasa, aku terpukau menatap wajahnya yang tidak biasa.
Setiap orang bahagia terlihat memiliki wajah yang sama di mataku, namun setiap orang yang tidak bahagia, entah mengapa selalu terlihat berbeda, seolah setiap luka punya ceritanya sendiri. Dan, wanita ini memang punya ceritanya sendiri. Singkat cerita sore itu kami berkenalan. Namanya Senja. Bukan nama sebenarnya. Tapi ia lebih suka dipanggil demikian.
Rambut Senja bergelombang seperti deburan ombak yang memanjang sampai ke punggung. Hidungnya bangir, pipinya tirus, dan dagunya terbelah sempurna. Mata Senja begitu indah seperti kacang almond yang berhiaskan bulu-bulu lentik dan sepasang alis menyerupa sayap elang. Sayang kedua bola mata itu selalu menatap sayu.
“Kamu datang ke sini sendirian?” tanyaku memotong lamunannya. Ia terperanjat. Rupanya ia tidak menyadari aku dari tadi berada di sebelahnya. Tapi ia tidak pergi dan malah menanggapi perkataanku dengan sebuah anggukkan. “Hati-hati, wanita secantik kamu tidak baik sendirian. Apalagi di jam-jam seperti ini,” aku menoleh ke kiri-kanan, kemudian berbisik pelan, “banyak setan berkeliaran.”
Senja tertawa kecil, kemudian mata almond itu menatapku. “Aku tidak takut setan,” katanya menantang, “justru aku lebih senang bermain dengan setan ketimbang malaikat.”
“Seriusan, kamu sedang apa sendirian di sini?”
“Kamu sendiri?”
“Rumahku dekat sini. Hampir setiap sore aku ke sini.”
Aku tidak berbohong. Aku memang sering ke sini. Apalagi jika ada barang baru, maka aku akan pergi memojok di tebing untuk giting sambil menonton orang mancing. Tidak ada yang lebih nikmat dari menghisap lintingan ganja sambil menatap langit ketika senja.
“Baru kali ini aku melihatmu di sini,” kataku.
“Iya. Memang baru sekali aku ke sini. Temanku berkata sunset di tempat ini indah.”
“Temanmu tidak bohong.”
“Iya. Dia tidak bohong,” balasnya lalu menoleh ke arah laut. Wajahku ikut menatap ke arah ke laut, memperhatikan matahari yang separuh tubuhnya telah terbenam.
“Enak sekali ya jadi kamu. Tiap hari bisa ke sini, berjalan-jalan di tepi pantai, mendengar debur suara ombak, menghirup segar udara pantai, sambil menatap matahari terbenam. Tapi apa kamu tidak bosan melakukan hal yang sama berulang-ulang?”
“Seseorang pernah berkata kepadaku bahwa menatap senja bisa membuka hatimu, dan karena hatiku sudah lama tertutup, aku datang ke sini setiap hari,” kataku. Tentu saja aku berbohong. Tidak seorang pun pernah berkata begitu kepadaku. Aku membacanya di sebuah buku yang aku lupa judulnya. Telah lama kukumpulkan kutipan-kutipan yang bisa kugunakan untuk menggoda wanita.
“Terus?”
“Apanya?”
“Hasilnya? Apa hatimu berhasil terbuka?”
Aku refleks tersenyum begitu tahu ia memakan umpanku. “Sampai saat ini sih belum, tapi tidak tahu kalau nanti,” kataku meniru tokoh yang sedang jadi idola anak muda.
Ia tersenyum mendengar jawabanku. “Kamu mau ke mana tadi? Kulihat tadi kamu berjalan ke arah sana.”
Pertanyaan itu membuatku kaget. Kusangka ia hanya fokus menatap laut, ternyata ia memperhatikan sekeliling juga. “Aku hendak ke sana,” kataku menunjuk tebing setinggi lima kaki di tikungan. Tebing itu memiliki tangga untuk turun bagi mereka yang ingin mancing. “Aku biasa di sana. Menatap senja sampai gelap. Kadang jika tidak malas aku akan memancing.”
“Aku boleh ikut?”
“Kamu tidak takut—”
“Setan?” ia memotongku. “Sudah kubilang, aku lebih suka bermain dengan setan ketimbang malaikat.”
Aku tersenyum mendengarnya. Bahkan dalam hati aku berkata, menjadi setan pun tak apa.
Di tepi tebing kami membicarakan pelbagai hal sambil memperhatikan orang-orang memancing. Ketika sisa-sisa cahaya di langit telah lenyap, perutku berbunyi. Untung aku membawa bekal beberapa roti sandwich selai kacang. Beruntung juga aku membawanya agak banyak hingga bisa kubagi dengannya. Kami memakan roti diselinggi tawa setiap melihat seorang pemancing yang terjatuh ketika hombak yang sedikit lebih besar menghempas tubuhnya.
Hari itu aku tidak membutuhkan ganja untuk membuat hariku menyenangkan.
***