DAYAT menambahkan nama “Sholihin” di tengah namanya menjadi Noor Sholihin Hidayat, hingga begitu lekatnya nama itu pada dirinya. Setiap hari Minggu, dan terakhir juga Jumat, ia mengajar anak-anak menggambar dan mewarnai di Bengkel Sholihin.
Ia telah mengajar beberapa generasi di sanggar rintisan pelukis Rizali Noor tersebut. Lebih dari sepuluh tahun seingat saya, sejak Ka Rizal memutuskan mengajar anak-anak di rumahnya atau privat langsung ke rumah si anak.
Ya, seperti halnya gurunya—Ka Rizal, Dayat juga mengajar secara privat. Tentu banyak sekali muridnya selama ini. Dari yang seumuran sekolah PAUD sampai SMP, belum termasuk yang pernah belajar kepadanya dan kini sudah kuliah atau bahkan mungkin ada yang bekerja.
Selain mengajar di sanggar dan secara privat, akhir-akhir ini ia juga mengajar kaligrafi untuk anak-anak jalanan. Ia memang tidak pernah belajar khat secara khusus, tapi tentu ia bisa mengajarkan mereka membuat kaligrafi kreasi dengan warna-warna ceria sebagaimana biasa ia mengajarkannya pada anak-anak di sanggar.
Saya kira di sinilah kontribusi terbesar Dayat sebagai seorang seniman yang cukup singkat kehidupannya.
Sebagai pelukis ia memang tidak banyak berkarya. Satu-satunya lukisannya yang terpajang di Bengkel (Sanggar Seni Rupa) Sholihin adalah lukisan kecil berjudul “Ekologi”, yang baru-baru ini menghiasi cover buku Aruh Sastra Kalimantan Selatan XVI Tanah Bumbu. Saya meminjam gambar lukisan tersebut dengan seijin Dayat dan janji, akan memberikan nomor penerbitan buku tersebut kepadanya. Dan itulah yang menjadi utang saya kepadanya, di hari yang mengejutkan saya.
Siang Senin (2/12/2019), Ketua Sanggar Seni Rupa Sholihin—Fathur Rahmy—menelpon saya. Saya baru datang kuliah dan tak saya angkat telepon tersebut. Segera pesan yang agak janggal masuk ke WA saya, “Jri, ada kabar soal Dayat kah.. Hanyar tadi, Ariel nelpon, kabar dari P Ennos jar”. Saya berpikir “kabar soal” apa(?), dan tiba-tiba terlintas hal yang menyakitkan dalam benak saya. Dan benar, itu kabar soal Kematian!
Hari sebelumnya, Minggu (1/12), Ka Fathur mengajak teman-teman sanggar membesuk Dayat di rumah sakit. Saya bilang ke pelukis Akhmad Noor, yang japri lewat pesan WA, saya tidak bisa ikut karena sedang di Banjarbaru menghadiri acara penutup Banjarbaru Rainy Day’s Literary Festival, dan titip salam serta doa untuk kesehatan Dayat. Akhmad Noor dan Ka Fathur Rahmy yang berangkat, dan tadi mereka bilang Dayat tampak sangat sehat—jika dibandingkan keadaannya sebelum ini saat beberapa kali masuk rumah sakit.
Saya yang pertama datang ke rumah Dayat, untuk memastikan kebenaran kabar yang sebelumnya simpang siur itu. Beberapa orang tengah bersiap akan mendirikan tenda, pintu rumah terbuka lebar dan ketika memasukinya, di tengah ruangan tubuh kaku sahabat kami ini terbujur diselimuti tapih bahalai. Bapaknya yang melihat orang asing—ya, lama sekali saya tak berjumpa beliau—menanyai saya, “siapa?”
Saya jawab, “Hajri”, dan beliau langsung, hampir menangis, menyapa hangat. “Dayat rancak mandirakan ikam.” Begitu pula ibunya berkata pada saya, “Dayat rancak mengisahakan ikam. Semalam ada diberi Hajri kopiah, jarnya.” Saya trenyuh sekali, dingin lutut saya dan hampir menangis, tapi buru-buru saya mendekati jenazah di ruang tengah itu untuk mengambil foto dan mengabarkan benar kabar yang sebelumnya simpang siur itu, kepada teman-teman sanggar di grup WA dan FB, atas seijin bapaknya. Setelah selesai tugas saya kepada teman-teman, saya mengambil Yasin di sisi almarhum, saya membaca lirih dengan lalu lintas kenangan yang banyak sekali.
Dayat sering berkunjung ke rumah saya, dan hampir tak pernah saya membalas kunjungannya. Kecuali, saat terakhir dan saya terkejut rumahnya di Jalan Kemiri Gatot Subroto telah jauh berbeda (direhab) dari jauh sebelum ini, untuk mengantarkan lukisannya. Kami hanya sering bertemu di sanggar di komplek Taman Budaya, atau sesekali ketika ia berkunjung ke Kampung Buku. Ia yang lebih banyak bercerita biasanya, tentang kegiatan terbarunya atau tentang temannya di komunitas apa, atau tentang kegiatan kami dan seni rupa dan seni lukis anak.
Dayat punya teman di mana-mana, di banyak komunitas, dari komunitas musik, aktivis lingkungan, serta pegiat-pegiat budaya lainnya. Ia suka bersilaturahmi, ke yang tua dan yang muda. Dulu, ketika pemusik Anang Ardiansyah (alm.) sakit-sakitan, Dayat termasuk yang paling sering mengunjunginya. Begitu pula ke seniman-seniman tua lainnya, juga silaturahmi dan bercanda dengan seniman-seniman seumurannya atau calon-calon seniman yang sering main ke Taman Budaya.
Begitulah, orang-orang itu pun datang menakziahinya. Datang dari banyak komunitas yang berbeda. Yang masuk ke dalam rumah membacakan Yasin dan Fatihah, atau yang sekadar duduk berbincang di depan rumah. Mereka menceritakan Dayat, keadaannya beberapa hari yang lalu, serta kenangan-kenangan yang telah lama tentang dirinya.
Dan ketika sedang mengetik obituari ini, pelukis sepuh Misbach Tamrin menelpon saya, menanyakan benarkah Dayat telah berpulang(?). Pak Misbach lalu bercerita sesudah kepastian saya, Dayat-lah yang memperjuangkan penghargaan seniman dari Walikota Banjarmasin untuknya beberapa hari terakhir ini. Suara Pak Misbach terbata-bata, seakan tak percaya, Dayat yang jauh masih sangat muda darinya telah mendahului kita semua.@