Y.S. Agus Suseno, menyebut nama itu, belakangan ini kita akrab dengan postingan kritik-kritiknya di facebook dalam bahasa Banjar. Pendek, singkat, tajam, namun juga tak kehilangan selera humor khas Banjar. Seperti senyum yang getir.

Bagai jurus mabuk, “pang parahu, siapa kana kada tahu”, postingan pendek itu tak sekalipun menjurus atau menyebut intansi atau nama yang menjadi sasaran tembaknya. Tetapi yang membaca, terutama yang paham bahasa Banjar, bisa saja mengalikan ke mana arah bidikannya.

Tiap hari, atau dalam sehari beberapa kali, dia membuat postingan semacam itu. Konsistensi. Tugul. Daya tahan inilah yang akhirnya membuat dirinya lekat dalam benak kita sebagai seorang yang istiqomah di jalur ini, layaknya kereta api yang terus melaju bergemuruh.

Y.S. Agus Suseno sejatinya adalah seorang penulis puisi, cerpenis, esais, juga penulis naskah dan sutradara teater (teater tradisi maupun teater modern, berbahasa daerah Banjar maupun bahasa Indonesia). Buah dari dedikasi itu pula yang membuatnya meraih beberapa penghargaan, di antaranya Hadiah Seni Gubernur Kalsel (2000), Anugerah Budaya Gubernur Kalsel (2015), dan Anugerah Seni Walikota Banjarmasin (2016).

Dia dikenal sangat serius mengerjakan setiap karya yang akan ditampilkan. Tak heran bila pementasannya selalu mendapat sambutan antusias. Seperti Musikalisasi Puisi karyanya beberapa waktu lalu di Taman Budaya Kalsel, Banjarmasin.

Akhir pekan lalu dia juga tampil tunggal di Kampung Buku, Sultan Adam, Banjarmasin. Membacakan sejumlah karyanya, termasuk puisi-puisi bahasa Banjar yang sarat kritik. Salah satu fokusnya adalah persoalan Meratus.

Nah, untuk mendalami lebih jauh mengapa sastrawan yang menggelari dirinya sendiri sebagai “Datu Tadung Mura” yang bersarang di Banjarmasin ini konsisten dengan sikap kritis yang khas itu, berikut simak isi wawancaranya dengan Sandi Firly dari asyikasyik.com.

 

Apa kabar, Bang Agus?

Alhamdulilah, baik.

Selain sebagai seorang seniman, penyair, Anda sekarang lebih dikenal sebagai pengkritik kekuasaan yang konsisten lewat facebook. Apa motivasi Anda?

Penyair atau seniman seyogianya kritis, aktif mengkritisi segala sesuatu, termasuk mengkritisi kekuasaan. Seniman ‘kan dikategorikan golongan intelektual? Kalau dia tidak mengkritisi kekuasaan, lalu intelektualitasnya di mana? Kalau karyanya tak terkait dengan realitas sosial yang ada di masyarakat, bisa dibilang dia onani, berkarya untuk kesenangan diri sendiri.   

Mengapa menggunakan media facebook untuk menyampaikan kritik Anda?

Karena online via modem/notebook, akun medsos yang saya punya cuma facebook. Saya tak punya, tak kepingin, tak bernafsu punya smartphone/android, tak kepingin punya akun medsos lain (WA, IG, misalnya) seperti orang kebanyakan; soalnya tujuan saya ber-medsos adalah untuk mempublikasikan karya (puisi, berbahasa daerah Banjar maupun berbahasa Indonesia), juga mensosialisasikan ide, gagasan, pemikiran dan kritik sosial (termasuk pada penguasa daerah). 

Apa yang hendak Anda capai dengan kritik-kritik itu?

Saya tak ingin mencapai apa-apa. Kritik yang saya sampaikan lebih seperti orang meludah, mambuang liur basi. Soal bagaimana respons orang terhadap kritik itu, terserah. Tapi saya tak pernah menyebut nama orang. Saya juga sadar, amat sadar, banyak yang tersinggung dengan kritik saya, di dunia nyata maupun di dunia maya; terutama teman-teman ASN yang bekerja di instansi yang terkait dengan tata kelola seni dan budaya. Salah satu bentuk ketersinggungan mereka adalah, terutama di lingkungan Pemprov Kalsel (sejak tahun 2016 hingga sekarang), dengan menutup akses, memblokir saya; tak pernah lagi meminta saya sebagai anggota Dewan Juri dalam festival/lomba seni yang mereka adakan, tak melibatkan saya sebagai anggota Tim Kesenian Kalsel yang berangkat ke luar daerah. Bagi saya, itu tak masalah. Kata peribahasa Banjar, “Hulat dalam batu gin ada rajakinya.” Lagi pula, kalau diajak belum tentu juga saya mau ikut.

Mengapa menggunakan bahasa Banjar dalam menyampaikan kritik, bukan bahasa Indonesia?

Nah, ini pertanyaan menarik… Netizen Kalsel, umumnya, urang Banjar khususnya, di facebook rata-rata memposting status berbahasa Indonesia. Lucu juga, sebab — karena papadaan juatoh kemudian statusnya dikomentari teman-temannya dalam bahasa Banjar juga. Jadi, kenapa tidak langsung saja memposting status berbahasa Banjar? Belakangan saya tahu, ternyata, bagi sebagian orang, membuat postingan yang sepenuhnya berbahasa Banjar itu tidak mudah. Untungnya, saya sudah selesai dengan kendala teknis itu. Memposting status berbahasa Banjar jelas sasaran utamanya adalah urang Banjar, baik yang bermukim di Kalsel maupun di luar daerah. Teman-teman facebook yang mengomentari postingan saya kebanyakan malah bukan urang Banjar yang bermukim di Kalsel, bahkan bukan mereka yang dianggap atau menganggap dirinya penyair, tapi urang Banjar yang bermukim di Kaltim, Kaltara, Kalteng, Kalbar, Riau, Jambi, Kuala Tungkal, Sumatera Utara, Serdang Bedagai, Surabaya, Jakarta, dan Malaysia. 

Sejauh ini Anda lebih banyak mengkritik pemerintahan Provinsi Kalsel dan Banjarmasin, mengapa?

Pertama, saya warga Provinsi Kalimantan Selatan, kedua: KTP saya Kota Banjarmasin. Sebagai praktisi seni, saya mesti peduli pada Bumi Antasari dan kota tempat saya bermukim. Soal ada yang suka atau tidak suka, itu lumrah. Masyarakat kita, termasuk eksekutif, legislatif dan ASN, sebagian lupa bahwa kita kini hidup dalam sistem demokrasi. Sebagian masih mewarisi kultur Orde Baru yang antikritik, belum siap berbeda pendapat. 

Anda menyampaikan kritik itu, tentunya karena Anda kecewa dengan beberapa kebijakan pemerintahan Kalsel dan Banjarmasin, bukan begitu?

Iyalah… Orang menyampaikan kritik pasti ada alasannya, ‘kan?

Apakah juga karena Anda kecewa lantaran sebagai seniman budayawan, Anda tak banyak dilibatkan dalam kegiatan seni dan budaya oleh pemerintah?

Sudah dijawab di atas.

Sejauh ini, menurut Anda, apakah kritik yang Anda sampaikan cukup efektif?

Efektif atau tidak, itu tak jadi soal. Tapi saya sadar: di samping menciptakan “musuh”, kritik yang saya sampaikan juga menciptakan “pendukung”. Biasalah itu… Namanya juga manusia. Ada yang suka, ada juga yang tidak suka dengan kritik yang saya sampaikan.

Terbaca juga, Anda banyak menyoal orang-orang di lingkaran kekuasaan, mengapa?

Untuk mengingatkan, menggugah kesadaran: tak ada yang abadi di dunia ini. Semuanya bersifat sementara, juga pangkat, jabatan, dan kedudukan…

Sejauh ini, Ada beberapa fokus kritik Anda. Salah satunya tentang Meratus atau #savemeratus, apa yang hendak Anda capai dengan itu?

Nah… Ini pertanyaan paling menarik… Selain pencinta lingkungan dan aktivis lingkungan, sebagian orang tahu saya sering memposting status dan puisi yang terkait dengan penyelamatan Meratus, #savemeratus. Semula saya heran, ketika aktivis lingkungan bergerak, unjuk rasa menolak rencana eksplorasi batu bara oleh PT MCM (yang punya konsesi di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kabupaten Balangan dan Kabupaten Tabalong), mengapa praktisi seni Kalsel diam saja? Kalau seniman berkarya untuk kesenangan dirinya sendiri saja, tak peduli dengan alam lingkungan di sekitarnya, apa bedanya dengan onani? Dengan memposting status dan puisi #savemeratus, saya tak ingin mencapai sesuatu, hanya menyampaikan aspirasi pribadi saja, bahwa saya mendukung gerakan itu. Oya… Insya Allah, akhir tahun ini saya akan pentas tunggal, pentas independen, bertajuk “Musikalisasi Puisi dan Baca Puisi #SaveMeratus.”

Apakah Anda juga mungkin akan mengkritisi pemerintahan daerah lainnya di Kalsel?

Secara sekilas (melalui puisi) saya telah mengkritisi kebijakan pemerintah daerah lainnya di Kalsel, terutama yang di wilayahnya terdapat pertambangan batu bara dan perkebunan kelapa sawit.

Apa pandangan Anda dengan beberapa politisi muda yang mengajukan diri dalam Pilkada, seperti di Banjarmasin, Banjarbaru, dan Kabupaten Banjar?

Politisi muda yang maju dalam pilkada di Kota Banjarmasin, Kota Banjarbaru, dan Kabupaten Banjar, sekurangnya memberi harapan, bahwa secara alami era sudah berganti. Politisi tua sebaiknya tahu diri. Tapi politisi muda itu bukan jaminan bagi kebaikan demokrasi di Kalsel masa depan. Waktulah yang akan membuktikan.

Bagaimana dengan pemerintahan RI, Presiden Jokowi, Anda juga kritisi?

Begini… Kadang-kadang saya heran, teman-teman facebook saya amat suka menyoroti persoalan yang nun jauh di sana, masalah nasional, bahkan internasional, sementara masalah lokal diabaikan. Di situ saya heran. Memangnya mereka tinggal di mana? Sebelum menyoroti yang jauh, yang dekat dulu dong disoroti. Jangan kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak kelihatan.

Terakhir, apakah Anda akan terus kritis, seandainya nanti kepala daerah Provinsi Kalsel dan Banjarmasin berganti?

Insya Allah, iya. Saya sudah selesai dengan banyak hal dalam hidup ini. Melalui karya, keinginan saya cuma satu: manyampaikan hal-hal yang tak bisa disampaikan orang kebanyakan.

Terima kasih, Bang. Mudahan pian sehat dan parajakian ja tarus.

Amin, ya Allah…@