HOMO DEUS karya Yuval Noah Hahari, intelektual sejarah berkebangsaan israel yang hari ini demikian populer setelah mempublikasikan bukunya yang berjudul Sapiens. Entah mengapa, agaknya hari ini buku-bukunya menjadi salah satu rujukan utama dalam melihat dunia di masa lalu dan dalam membayangkan apa yang mungkin terjadi di masa depan. Harari telah menjelma forecaster, peramal masa depan dengan segala kemungkinan-kemungkinan dari kajian berbasis sejarah yang dilakukannya. Sebagai peramal, ia begitu diyakini.

Homo Deus adalah buku Harari yang paling populer setelah Sapiens. Terbit pertama kali tahun 2015 dalam bahasa Ibrani. Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris tahun 2016, dan bahasa Indonesia tahun 2018. Saya membelinya akhir tahun kemarin, 2020, dan baru selesai saya baca awal tahun ini. Buku ini termasuk buku yang saya baca tuntas dengan cepat karena bahasanya yang renyah, dan harus diakui, Harari memiliki selera humor yang baik. Sarkas, dan menggelitik.

Homo Deus diawali dengan keyakinan Harari bahwa manusia telah sampai pada titik di mana mereka telah hampir menaklukkan segala sesuatu, termasuk bencana level global yang menakutkan bagi manusia: kelaparan, perang, wabah, dan bahkan kematian. Bukti dari suksesnya manusia menaklukkan kelaparan misalnya adalah prediksi ilmiah bahwa setengah dari populasi manusia justru mengalami obesitas atau kelebihan berat badan pada tahun 2030, dan dari hasil survey pada tahun 2010 diketahui bahwa kelaparan dan gizi buruk telah membunuh sekitar satu juta orang, sementara itu obesitas telah membunuh sekitar tiga juta orang.

Manusia juga dianggap telah sukses mengalahkan wabah. Tahun 1979, cacar dianggap telah lenyap karena program vaksinasi cacar yang demikian sukses. Di lain pihak, berbagai wabah yang mengintip untuk menghancurkan manusia juga dianggap akan tertangani dengan baik bersama semakin majunya teknologi kedokteran. Meski pendemi covid kali ini adalah tantangan dari tesis mengenai wabah ini, dalam sebuah tulisan di harian Financial Times tahun lalu, Harari tetap meyakini kemampuan manusia menaklukkannya. Di sisi lain, Harari juga menuturkan tentang robot-robot nano yang telah diciptakan dan akan terus dikembangkan untuk mengidentifikasi penyakit dalam tubuh manusia sekaligus menyembuhkannya.

Sementara itu, perang, dalam pandangan Harari, secara fisik takkan menjadi alternatif pilihan lagi bagi manusia. Pandangan pragmatis tak membuka ruang untuk itu. persekutuan ekonomi telah menjadi motivasi utama yang pada akhirnya menjadikan perang sebagai kemustahilan. Bahkan kematian juga telah dikalahkan dengan semakin tingginya tingkat harapan hidup manusia, karena menurut Harari, kematian adalah persoalan kesalahan teknis dari fungsi tubuh manusia. Jika kesalahan itu diminimalisir dan terus direvisi, maka pada akhirnya manusia akan bisa melarikan diri dari maut.

Pada bagian selanjutnya, Hahari menjelaskan mengenai posisi manusia di antara makhluk hidup lainnya. Pembahasan mengenai ini telah banyak dibahas dalam bukunya Sapiens. Yang menarik adalah bahasannya mengenai rekonsepsi manusia tentang dirinya sendiri. Menurutnya, manusia perlu memahami penanda dirinya yang istimewa. Yang pertama, mengenai jiwa manusia. Bagi Harari, jiwa manusia masih perlu dipertanyakan kebenaran eksistensinya. Konsepsi jiwa sebagai satu entitas utuh, tak terlihat, tetap keberadaannya, dan berpotensi abadi dianggap bertentangan dengan teori evolusi (Darwin) yang terjadi pada diri manusia. Bahwa manusia terdiri dari sistem bagian-bagan kecil yang membentuknya dan bagian-bagian itu terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Dalam konsepsi tersebut, keberadaan jiwa menjadi sesuatu yang anomali bahkan muskil.

Hal lain tentang manusia adalah adanya kesadaran pikiran. Kesadaran pikiran memungkinkan manusia menyadari pengalaman subyektif berupa rasa sakit, marah, atau cinta. Meski demikian, Harari lagi-lagi mempertanyakan eksistensi kesadaran pikiran ini karena berdasar penjelasan mutahir sains mengenai sensasi dan emosi, ia tak lain hanyalah algoritma pemprosesan data biokimiawi dalam otak manusia. Dan karena dogma saintifik tersebut akhirnya kesadaran akan realitas menjadi samar, karena jika ia adalah proses kimiawi aktivitas elektrik otak, maka otak juga dapat menstimulasi kesadaran lain atas dunia virtual di luar dunia nyata yang dapat diamini sebagai dunia nyata yang lain. Jika kaidah matematika diterapkan atas hal ini, maka sebuah kemungkinan horor akan tercipta: jika hanya ada satu dunia nyata, dan dunia virtual tak terbatas, maka probabilitas atau kemungkinan kita menghuni dunia nyata yang tunggal menjadi mendekati nol.

Keistimewaan manusia yang lain juga adalah kemampuannya bekerja sama. Kemampuan bekerja sama inilah akhirnya yang menjadikan manusia mampu menguasai bumi, bukan yang lain. Bekerja sama dalam satu kelompok, besar atau kecil, dengan komunikasi yang baik juga akan menciptakan apa yang kemudian disebut sebagai kenyataan intersubyektif yang hanya dimiliki manusia.

Kenyataan secara umum dibagi dua, subyektif, dan obyektif. Kenyataan subyektif adalah kenyataan yang hanya dialami oleh subyek orang perorang. Rasa sakit karena patah hati misalnya, adalah kenyataan subyektif, yang hanya dialami oleh orang yang merasakannya dan tak dialami oleh orang lainnya. Bagi yang mengalami, tentu saja hal tersebut nyata adanya, dan itu adalah sebuah realitas yang tak terbantahkan. Sedangkan kenyataan obyektif adalah kenyataan yang ada secara independen, baik kita memercayainya maupun tidak, kenyataan itu tetap ada sana. Misalnya sebuah pasar akan tetap eksis, entah kita percaya atau tidak, pergi ke sana atau tidak.

Sementara itu kenyataan intersubyektif adalah kenyataan yang lahir karena secara kolektif manusia memercayainya sebagai sebuah realitas. Makna atas realitas ini tercipta dari kesepakatan bersama manusia, misalnya tentang uang dan fungsinya. Menurut Harari, manusia bisa menguasai dunia karena kemampuan mengejawantahkan realitas subyektif ini. Perang, atau wacana terorisme misalnya, lahir dari kesepakatan-kesepakatan manusia.

Dengan semua keunggulan itu, ditunjang selanjutnya oleh kemajuan sains yang memungkinkan manusia menembus sekat-sekat ketidakmungkinan.

Manusia perlahan-lahan akan memasuki dimensi di atas normal, sebagian manusia akan menjadi kelompok super. Pada satu titik tertentu akhirnya menurut Harari, sekelompok manusia ini akan menjelma tuhan bagi dunia: homo deus. Harari menyebut sekelompok manusia, yang artinya tak semua manusia bisa meningkat pada derajat ketuhanan ini. Lantas manusia manakah yang bisa tertahbiskan sebagai tuhan?

Tak lain adalah manusia yang memiliki akses, pada uang, dan kekuasaan. Uang akan mengantarkan pada penguasaan sains, dan kekuasaan akan menjadi pengawal implementasi sains itu sendiri. Menjelmakan manusia menjadi tuhan. Lalu, bukankah ini terasa tidak adil? Ya memang tidak adil. Namun, begitulah prediksi Hahari. Sebagian kecil manusia yang menjelma tuhan bukan hal asing. Pada masa ini kita bukannya tak pernah mendengar prediksi utopis (distopis?) macam ini. Film-film macam The Hunger Games, atau Elysium sudah bicara mengenai sekelompok manusia pilihan yang menaikkan level diri mereka menjadi tuhan membawahi manusia-manusia lainnya.

Bahwa manusia mencapai derajat ketuhanan dengan bantuan teknologi dan pertumbuhan ekonomi menjadi bahasan khusus Harari dalam bagian buku yang diberinya judul Agama Data. Agama konvensional dengan tuhan-tuhan konvensional dianggap Harari tak mampu lagi menjawab pertanyaan-pertanyaan eksistensi manusia di masa depan, dan tak lagi mampu memenuhi kebutuhan akan keberlangsungan hidup manusia. Harari sekali lagi menegaskan bahwa agama hanyalah candu yang menajamkan imajinasi masyarakat dan menumpulkan pemahaman mereka atas realitas. Untuk keluar dari kondisi semacam itu, teknologi dan pertumbuhan ekonomi adalah jawabannya. Keduanya adalah tuhan baru yang akan menggiring manusia memahami diri mereka jauh lebih baik daripada manusia itu sendiri.

Algoritma, sistem digital, cyber power, akan menggantikan manusia dalam berbagai jenis pengambilan keputusan. Bukan manusia yang memutuskan jalan mana yang harus ditempuh saat berkendara, tapi sistem navigasi virtual. Bukan wasit yang lebih adil dan cermat dalam melihat sesiapa yang curang dalam permainan bola, tapi rekam digital visual pertandingan. Bukan dokter yang mampu mendeteksi persoalan kesehatan pasien, tapi algoritma mesin pencari di internet. Menurut Harari, ada saatnya di mana manusia akan menyerahkan segala pengaturan hidup individual dan sosialnya pada sistem teknologi tanpa kesadaran tapi penuh kekuatan itu.

Saya membaca beberapa ulasan Homo Deus ini, rata-rata membahasakan buku ini sebagai sebuah narasi yang mendebarkan, membuat syok, tapi memantik kesadaran. Namun bagi saya pribadi, beberapa tesis terasa begitu klasik: kegagalan tuhan, keberhasilan material dalam menyelamatkan kehidupan, atau keunggulan segelintir manusia hingga ia bisa naik ke level ketuhanan. Tesis-tesis ini begitu klasik, namun dalam buku ini terasa baru karena persoalan-persoalan yang menjadi latar belakang tesisnya juga baru. Kecerdasan artifisial, silicon valley, algoritma, kehidupan virtual. Semua adalah yang baru namun menyusupi kehidupan kita begitu dalam.

Buku ini meski begitu detil membicarakan kegagalan berbagai tuhan dalam mengantisipasi persoalan umat manusia secara umum, namun tak juga mampu memprediksi bagaimana kesadaran intersubyektif manusia mengenai ketetapbergantungan manusia pada tuhan sebagai jawaban dari berbagai persoalan. Kesadaran religius tak diketahui tren menurunnya, bahkan di beberapa belahan dunia justru menguat. Pertumbuhan pemeluk agama tertentu justru bertambah. Agama dan ketuhanan, meski dianggap terlalu imajinatif, dan membius bagi Harari, namun secara individual justru menjadi jawaban dari banyak permasalahan.

Kesadaran subyektif manusia atas agama masih demikian kuat. Harari mungkin tak memiliki pengalaman impresif yang menyenangkan dengan agama dan tuhan, namun bagi seseorang di suatu tempat, agama dan tuhan membawanya pada puncak-puncak dari apa yang disebut Hahari di awal buku sebagai salah satu tujuan kehidupan manusia: kebahagiaan yang bisa bertahan cukup lama.

Oh ya, ada satu hal juga yang tak bisa dijawab Harari dalam buku ini. Persoalan yang jua tak bisa dijawab sesiapapun tanpa bersikap pesimis: apakah manusia mampu menahan kehancuran ekologis akibat tuhan-tuhan baru ini: pertumbuhan ekonomi dan kemajuan teknologi? Dunia sedang menuju degradasi kualitas lingkungan yang sangat siginifikan dan mengkhawatirkan. Ancaman-ancaman ekologi mulai dari bertambah panasnya bumi akibat emisi CO2, pencairan es di kutub utara yang menyebabkan naiknya air laut. Ancaman-ancaman yang membuat gambaran kiamat besar semakin terasa nyata. Pada akhirnya, Harari menyerahkan prediksi kehancuran psikologis itu pada keyakinannya bahwa teknologi barangkali akan mampu mengatasi itu semua di masa depan.

Homo Deus Harari ini begitu meyakini kekuatan dan kedigjayaan agama data, dataisme ini, sebagai suatu yang akan menjadi kecemerlangan masa depan manusia.  Hanya saja, saya pribadi tak bisa ikut mengamininya. Menyambut agama baru ini dengan meniggalkan Tuhan saya di belakang, saya tak mampu melakukannya. Yah, seprimitif itulah saya kiranya.

Wallahua’lam.[]