Tuan penulis duduk memandang ke jendela yang kacanya tembus taman samping rumahnya yang tak lagi terawat setelah istrinya mati—tak lama setelah dia kembali dari pulau yang memberinya ribuan mimpi buruk; sehingga membuatnya tak pernah ingin tidur di masa-masa awal masa pembuangannya. Di hadapannya, teronggok cangkir keramik berisi kopi yang baru sekali disesap. Dia memasang kacamata berbingkai tua yang dikenal pengagum sekaligus pembencinya.

Betapa ia terkejut saat membaca berita di koran mengenai kematian sepasang kekasih yang tinggal dalam sebuah apartemen. Sang perempuan adalah—penulis muda yang sedang naik daun, ia dikenal karena cerpen-cerpen yang mengangkat kehidupan penderita gangguan jiwa—pelaku pembunuhan terhadap kekasihnya. Dia membunuh kekasihnya setelah bercinta, sebelum menyarangkan sebutir proyektil yang membuat tengkoraknya pecah dan tembus ke tembok dan mengenai keramik antik koleksi pacar gilanya.

Dia mengingat cerpen yang pernah dibacanya hampir sebulan sebelumnya—saat dia menjadi pemateri dalam sebuah kelas menulis. Penulisnya adalah orang yang sama dengan orang yang melakukan pembunuhan itu.

Tiba-tiba, di kepalanya, mendesing sebuah kalimat yang pernah didengarnya: itu hanya cerpen, Tuan. Dulu, ia urung menyanggah jawaban sang penulis muda yang mendadak memutuskan pergi meski kopi di cangkirnya masih berisi setengah—bukan karena telah dingin.

Sebenarnya, waktu itu, dia ingin mengatakan, “Kau benar, Nona. Cerpen hanyalah sebuah tulisan. Mengapa  aku begitu mengkhawatirkannya?  Aku memang seorang tua yang selalu gagal memahami aksioma yang keliru bahwa dunia dapat dihancurkan sekaligus diciptakan melalui sebuah tulisan. Aku terlalu bodoh untuk memahami hari ini. Maafkan aku yang menyedihkan ini, Nona.”

*

Menulis adalah pekerjaan paling bodoh di dunia ini. Kupikir tak lebih baik dari apa yang dilakukan Hitler. Aku setuju, bahkan untuk membuat sebuah kebodohan perlu sebuah keahlian bukan? Aku belajar itu pada badut-badut sirkus. Seharusnya semua orang pernah melihatnya—setidaknya sekali seumur hidupnya. Di pasar malam, mungkin saja. Yang pasti, tak semua orang menyukai badut-badut bodoh itu. Aku salah satunya. Mungkin bukan tak menyukainya, aku ingin muntah jika melihat kebodohan-kebodohan yang ditertawakan. Ya, aku bukan tak menyukai kebodohan itu, melainkan orang-orang yang menertawakannya. Tidak, bukankah tak perlu orang-orang itu menertawakan jika kebodohan itu enyah dari muka bumi ini. Tapi, aku tahu bilamana hal semacam itu terjadi. Dunia ini akan kehilangan keduniawiannya.

Perlu kalian tahu, aku memiliki seorang pacar yang aneh—kalimat itu kupilih untuk tak mengatakannya sedikit gila. Tentu saja bukan gila semacam orang yang berjalan di trotoar jalan dengan bertelanjang bulat, dengan tubuh yang tak pernah tersentuh air. Kalian pun jangan mengira ia memiliki kegilaan semacam yang dimiliki seniman besar. Dua jenis kegilaan itu adalah pengecualian. Catat itu, penting! Ayolah, sekarang tentu bisa kalian terka-terka kegilaan macam apa yang diidap pacarku itu bukan?

Salah satu contoh kegilaannya adalah ketika ia mendaftarkan namaku sebagai peserta kelas menulis tanpa pesetujuanku. Dengan antusias, dia menjelaskan kelas itu akan dibimbimbing langsung oleh seorang penulis terkemuka yang namanya sering masuk nominasi peraih nobel. Dia tentu tahu kalau aku memiliki semua buku penulis yang telinganya tuli sebelah kiri dan buta sebelah kanan. Aku hanya cukup memasang wajah penuh berkah ditambah seulas senyum saat ia panjang lebar menjelaskan mengapa aku harus mengikuti kelas itu.

“Kamu pasti tahu lebih banyak tentang sastrawan itu.”

Aku bergeming dalam pose membaca majalah tua berusia hampir lima puluh tahun yang kudapat dari seorang kolektor asal Karanganyar. Lelaki yang menyebut dirinya Kabut. Lelaki paling aneh yang pernah kukenal dan kutemui. Keanehan-keanehan itulah yang membuatnya istimewa dan tentu jamak dan mudah mengundang iri.

“Kamu beruntung, ribuan orang berebut untuk mendapatkan kursi. Aku dapat karena seorang kawan yang menjadi panitia.”

“Dia gila karena frustasi. Matanya sebelah buta dan telinganya sebelah tuli.”

“Kau tahu itu?”

“Semua orang tahu.”

“Bodoh! Ke mana saja aku tak tahu hal semacam itu.”

“Dia mendapatkan itu karena menulis.”

Gila! Dia malah mengira itu lelucon yang layak ditertawakan hingga matanya berair dan keram di perut. Dia berhenti tertawa setelah melihat aku memasang muka tak bersimpati.

*

Pria gila itu telah membelikanku dua stel pakaian baru untuk acara kelas menulis selama dua hari itu, namun aku tak memakainya. Aku memilih kaos oblongnya berwarna putih polos dan tentu saja ukurannya terlalu besar untuk badanku. Berpadu dengan celana jeans cokelat muda. Aku pula melingkarkan sebuah syal berwarna gelap yang senada dengan warna celana yang menunjukkan ukuran pinggangku.

Dia memuji gaya busanaku. Katanya aku telah menyeruapi seorang seniman besar. Tentu hanya seorang bodoh saja yang mengukur kesenimanan dari cara perpakaian seseorang. Dungu!

Tak seperti kuduga, lelaki itu tampak jauh lebih tua dari umurnya. Dan itu sempat membuatku berpikir kalau dia akan mendapat napas terakhirnya dalam kegiatan itu. Napasnya sering terlihat sesak setelah terlalu banyak bicara. Tubuhnya begitu kurus, mungkin saja TBC menggerogoti paru-paru tuanya.

Aku dapat menakar betapa dia seorang yang keras kepala. Dia memiliki tubuh yang kecil dan rahang yang bersudut. Tatapan matanya selalu tajam meski kecil bulat. Ia memiliki dengusan serupa hewan liar yang tersesat. Sepuluh tahun bebas dari masa tahanan tak membuatnya terlihat sebagai seorang normal.

Beberapa hari sebelum kelas menulis itu dilaksanakan, aku dan peserta lain telah diminta mengirimkan cerpen yang sudah ditulis. Pada saat itulah, dia mengulik semua karya. Hasil siginya, ia paparkan dalam forum, tanpa menyebut penulisnyanya. Aku mendapat kesempatan ketiga dari lima belas peserta. Sial, dia menyebut cerpenku adalah yang terburuk dari semua cerpen yang dia baca. Dia menggunakan cacian paling menggelikan, cerpen itu bisa mempercepat kematian seorang lansia yang kesepian di panti jompo. Sontak saja semua orang di ruang itu tertawa. Dengan pedih, aku pun turut menertawakan lelucon paling keji dan keparat yang pernah kudengar seumur hidup.

Sesi kedua, di hari pertama, setelah jeda kopi, kami menuju sebuah taman. Aku tak terlalu suka tempat terbuka atau ruang yang terlalu berlimpah cahaya. Tentu saja aku berpikir untuk meninggalkan acara itu, tapi sungguh tak ingin kehilangan kesempatan menjadi bahan lelucon seorang yang kukagumi.

Di areal sekitar seluas lapangan bola yang di sana-sini bukit-bukit buatan, kami dibebaskan memilih tempat untuk menulis. Dalam waktu satu jam, aku telah menulis lebih dari empat halaman kwarto dengan spasi satu setengah.