SAYA mulai membaca buku Why Nations Fail, The Origins of Power, Prosperity, and Poverty (atau judul terjemahnya dalam bahasa Indonesia: Mengapa Negara Gagal, Awal Mula Kekuasaan, Kemakmuran, dan Kemiskinan) sekitar satu setengah bulan silam. Waktu membaca yang cukup lama untuk sebuah buku. Yah, bukunya cukup tebal, 582 halaman, dan saya membaca di sela kesibukan yang memberikan porsi sedikit saja untuk ‘me time’ (yaelah, me time). Work form home juga tidak mengubah kesibukan itu, karena meski office time berkurang, waktu keiburumahtanggaan ya bertambah. Salah satu keajaiban di rumah bagi para ibu rumahtangga adalah selalu saja ada sesuatu untuk dibersihkan atau dirapikan. Demikianlah sedikit curahan hati dari saya. Hehe.

Baik. Kita kembali ke buku ini. Why Nations Fail (selanjutnya disingkat WNF) terbit pertama kali dalam bahasa Inggris di New York tahun 2012, delapan tahun silam. Saya menemukan review buku ini di harian The Guardian daring edisi 2012. Tahun 2014, WNF diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Buku yang ada pada saya adalah cetakan ke-5 edisi bahasa Indonesia yang rilis Juli 2018. WNF adalah kerja penelitian dan studi kedua pakar (terutama Acemoglu) selama limabelas tahun. Yup, benar sekali, hal ini menunjukkan betapa seriusnya buku ini. Ia menjadi salah satu terobosan dalam menjawab pertanyaan klasik selama berabad-abad tentang mengapa ada sebuah negara yang berhasil, sementara negara lainnya gagal. Mahasiswa jurusan politik, ekonomi, atau hubungan internasional barangkali sudah lama khatam membaca buku ini. Entah ketertarikan macam apa yang merasuki saya mencomot buku ini dari rak toko buku Gramedia beberapa bulan silam.

WNF ditulis oleh dua profesor sekaligus pakar dari dua bidang yang mendasari buku ini, Daron Acemoglu (kentara sekali nuansa Turki dalam nama ini, bukan?), profesor ilmu ekonomi di MIT (Massachusetts Institute of Technology), Amerika Serikat, dan James Robinson, profesor ilmu pemerintahan di Harvard University. Begitulah, politik dan ekonomi adalah titik mula buku sekaligus jawaban atas pertanyaan kenapa sebuah negara bisa gagal. Penasaran, mari kita bicarakan.

Jika mengambil analogi plot drama atau film, bisa dikatakan plot buku WNF ini spiral. Beda misalnya dengan buku Chomsky yang plotnya episodik, tiap bab memiliki timeline ceritanya sendiri meski tak kehilangan benang merah. WNF di satu titik pada bagian awal sudah menjelaskan klimaks plotnya, dan sisa buku dalam ratusan lembar halaman hanya penjelasan, penguatan, dan penegasan kembali tentang klimaks plot. Semua pembahasan akan kembali pada satu hal yaitu jawaban tentang mengapa negara bisa gagal.

Buku dibuka dengan ilustrasi sederhana tentang perbedaan cukup ekstrim antara satu kota yang terbagi dua karena berada di wilayah dua negara yang berbeda, Amerika Serikat dan Meksiko. Kota Nogales yang berada di wilayah Arizona, Amerika Serikat dan Nogales di wilayah Sonora, Meksiko. Digambarkan perbedaan keduanya begitu mencolok: pendapatan, penegakan hukum, ketertiban umum, angka kejahatan. Perbedaan yang muncul bukan karena letak geografis atau asal usul penduduk tapi karena mereka berada di dua negara berbeda dengan institusi politik dan ekonomi berbeda. Pembaca tentu bisa menebak Nogales sebelah mana yang pendapatan warganya tinggi, penegakan hukumnya efektif dan berkeadilan, ketertiban umum terjaga, dan angka kejahatan rendah, dan Nogales sebelah mana yang sebaliknya.

Sampai di sini, pertanyaan itu langsung terjawab, bukan begitu? Negara gagal atau berhasil karena perbedaan institusi politik dan ekonomi di antara mereka. Lalu, institusi politik dan ekonomi macam apa yang membawa keberhasilan dan macam apa pula yang membawa kegagalan? Ada beberapa poin yang coba saya disarikan dari buku ini.

Tumpuan Utama Keberhasilan Sebuah Negara adalah Institusi Politik, dengan Institusi Politik yang Memenuhi Kualifikasi maka Institusi Ekonomi Akan Berkembang Sebaik Harapan

Buku ini sangat kaya dengan pemaparan historis berbagai wilayah dan negara. Hal tersebut sekaligus menjadi kelebihan dan kekuatan buku ini, ia adalah kajian mendalam aspek historisitas negara-negara dalam relevansinya dengan tatanan politik dan ekonomi mereka. Gambaran historis ini mengantarkan pembaca pada pemahaman, oh iya ya, pantas saja negara anu seperti sekarang karena dulu negara itu begini dan begitu. Di antara puluhan deskripsi historis  itu (dari negara di selatan benua Amerika sampai sub-sahara Afrika), saya mengingat dengan baik cerita tentang negeri Venesia. Kisah tentang saudagar-saudagar Venesia yang terkenal (barangkali pembaca akan langsung teringat salah satu judul naskah drama William Shakespeare).

Dalam sejarahnya, Venesia pernah begitu makmur. Di abad pertengahan bahkan mungkin menjadi negeri terkaya di dunia. Venesia kaya karena institusi ekonomi yang memungkinkan persaingan sehat antarsaudagar dan aturan-aturan yang memungkinkan semua kalangan berpartisipasi dalam perdagangan. Saudagar muda dari kelas menengah ke bawah menjadi lebih makmur dan naik ke taraf sosial yang lebih baik. Apalagi ekses dari kemakmuran yang merata selain kehidupan perekonomian yang baik?

Selang satu abad kemudian, kejayaan Venesia meredup. Penyebabnya, para bangsawan lama merasa terancam dengan saudagar-saudagar kelas menengah ke bawah yang inovatif itu. Melalui institusi politik, bangsawan lama yang berada di perlemen itu mengamandemen aturan yang memungkinkan saudagar kelas menengah masuk ke Dewan Besar (Great Council) untuk bisa ikut merumuskan aturan ekonomi yang lebih terbuka, dengan tujuan agar saudagar-saudagar muda, orang kaya baru itu tidak bisa lagi ikut berpartisipasi. Maka keruntuhan Venesia pun dimulai. Hari ini Venesia bagi dunia hanya kota kecil di Italia dengan perahu-perahu indah di kanalnya, tak lebih dari itu.

Gambaran Venesia di masa lalu menjelaskan pada kita bahwa institusi politik sangat menentukan keberhasilan sebuah negara karena institusi politik adalah muara dari segala kebijakan yang mengatur setiap sendi kehidupan sebuah negara. Adalah jantung dari tubuh negara. Institusi politiklah yang menentukan kebijakan ekonomi, hukum, mengatur pranata sosial dan hal lainnya.

Contoh lain yang lebih populer tentang peran menentukan institusi politik  adalah Korea Utara dan Korea Selatan. Saya tak perlu panjang lebar menjelaskan karena saya yakin pembaca telah mengetahui institusi politik macam apa yang membangun Korea Utara dan Korea Selatan serta perbedaan implikasi dari institusi di kedua negara tersebut.

Apa Saja Kualifikasi Institusi Politik dan Ekonomi yang Membuat Sebuah Negara Bisa Berhasil?

Ini adalah pertanyaan penting lainnya. Setelah memahami bahwa keberhasilan sebuah negara ada pada institusi politik dan ekonominya, kita akan mulai bertanya-tanya, bangunan institusi politik ekonomi macam apa yang menjamin keberhasilan sebuah negara? Saya coba rangkumkan seperti poin-poin di bawah ini.

  1. Inklusif

Keterbukaan macam apa yang dimaksud dalam WNF ini? Dalam beberapa contoh dari sejumlah negara, yang dimaksud dengan istilah inklusif dalam buku ini mengacu pada terbukanya institusi politik dan ekonomi terhadap orang-orang baru, ide-ide baru. Institusi yang resisten terhadap status quo dan kejumudan, serta tak ada kelas tertentu –baca kaum elit- yang menguasai institusi ini secara absolut dan terus menerus. Institusi politik yang absolut juga sangat berpeluang berusaha melanggengkan kekuasan dengan berbagai cara termasuk mendisrupsi institusi hukum untuk menopang keabsolutan itu.

Jadi, jika ada negara yang meskipun berusaha mengaktualisasi diri menjadi lebih terbuka dengan reformasi bahkan revolusi, Reformasi 1998 misalnya ni ya, misal,  tapi masih ada elemen status quo, dan kaum elit yang terus menerus berada dalam lingkaran kekuasaan hingga menjadi absolut dan membuat pola-pola lama terulang kembali maka kategori negara berhasil itu agak susah diraih. Demikian pula ketika elit politik di negara tersebut berusaha mengendalikan hukum agar sesuai dengan kepentingan mereka untuk melanggengkan kekuasaan, diantaranya membuat aturan yang memudahkan mereka melakukan korupsi.

Argentina misalnya,di masa lalu presiden Juan Peron mengubah aturan lembaga peradilan hingga akhirnya terbentuk institusi politik yang bisa mengontrol institusi kehakiman. Presiden Argentina memilih hakim agungnya sendiri. Ini adalah cara praktis menggagalkan negara karena baik nampak jelas atau tersembunyi, semua putusan hukum dan konstitusi kelak harus bersesuaian dengan keinginan sang presiden. Semua ini jauh dari praktik inklusivitas politik dan ekonomi, ya kan?

Selanjutnya, mari membicarakan negara Sierra Leone di Afrika. Negara ini menjadi koloni Inggris sejak 1896 dan merdeka tahun 1961. Dalam kurun tersebut, Inggris telah mewariskan satu institusi ekstraktif pemeras rakyat. Mereka mengangkat ketua-ketua suku sebagai pemimpin di Sierra Leone dengan jabatan seumur hidup, tugasnya untuk membuat sistem pertanian yang mewajibkan rakyat bertani komoditi jualan Inggris di pasar dunia: kopra, kakao, dan kopi, dan wajib pula menjualnya pada mereka dengan harga sangat murah (terasa familiar ya metode kolonialis ini). Celakanya, pasca merdeka dengan cita-cita para pribumi untuk kehidupan yang lebih baik bagi mereka, metode ala kolonialis Inggris justru terulang lagi, dilakukan oleh kaum pribumi sendiri. Tanpa disadari, pertarungan politik pasca kemerdekaan yang mengantarkan Siaka Stevens menjadi pemimpin Sierra Leone dengan kemenangan tipis, menasbihkannya sebagai diktator baru yang membunuhi lawan-lawan politiknya dan ia kembali menjalankan pemerasan yang sama dengan yang dilakukan Inggris terhadap rakyat Sierre Leone.

Boleh jadi Siaka Stevens bukan berasal dari jaringan penguasa lama tapi ide-idenya untuk mengelola negara sama jumudnya dengan apa yang dilakukan Inggris sebelumnya. Institusi politik Siaka Stevens juga tidak terbuka bagi orang lain selain diri dan kelompoknya karena setiap perbedaan diberangus, lawan politiknya dibunuhi.

  1. Berorientasi ‘penghancuran kreatif’

Istilah penghancuran kreatif dalam buku ini mungkin lebih sering terdengar belakangan, ketika ramai orang membicarakan Revolusi Industri 4.0, era disrupsi yang membuat institusi ekonomi dan industri mapan didisrupsi atau diganggu, dikacaukan oleh institusi ekonomi dan industri baru yang lebih kreatif dan sesuai dengan masanya. Ya, penghancuran kreatif adalah istilah untuk menjelaskan mengenai ide atau penemuan kreatif yang sebenarnya memungkinkan kemajuan dan perkembangan positif terutama pada institusi ekonomi, namun dalam sejarah seringkali ditolak oleh penentu kebijakan dalam institusi politik.

Facebook Comments