MEMANDANG DARI KEJAUHAN
Telah kususur jalan liku yang pernah kautempuh
Ribuan siang ribuan pagi
Yang membuatku lebih paham
Perihal mata merah dan baju yang kerap tak sempat kautukar itu
Memang tak pernah ada kesempatan cukup untuk melahap kitab-kitab
Menaklukkan jalan-jalan
Dan menjejalkan pengalaman ke dalam surat-surat panjang
Lantaran hidup ini bergerak terlampau buru-buru
Kita pun lari terengah
Takut hari keburu punah
Menyusur jejakmu
kini ratusan lembar manuskrip teronggok di mejaku
MacLeish, Cornford, Rilke, Lorca, Steinbeck, Hemingway, Auden, du Perron,
Xu Zhimo, Syuman, Hamzah, Jassin, Asrul, Rivai
Paron, Tjilintjing, dan gerbong-gerbong tua, berderit dalam pikiran
nun… aku menangkap matamu memandang dari kejauhan
esok ku kan datang menziarahimu, dengan melati segenggam
di Karet… di Karet, tempatmu yang sekarang.
MAKAM DI BAWAH BULAN
malam serupa eboni, purna gulita
diam-diam almanak menghela segala yang muda
menjadi matang
ranting usia patah satu-satu….
tanpa kita bisa berbuat apa-apa
roda kereta beringsut tanpa suara
makam di bawah bulan
telah mengunci sebuah bilangan
PEJALAN
sehamparan jalan dengan setia menanti
Lurus memanjang diapit barisan pinus,
Berkelok di ujung dalam bayang jebakan ngarai dan jurang
Kita pejalan,
Tak punya apa-apa untuk menaklukkan
Selain sepasang kaki yang lembut tapi penuh perlawanan
Sepasang kaki yang pasrah tapi selalu siap menjelajah
Pejalan, merengkuh semua tantangan
Dengan harga diri yang tak bisa ditawar-tawar
Pejalan,
Menempuh waktu
Menggenggam cerita dalam saku