MEMANDANG DARI KEJAUHAN

Telah kususur jalan liku yang pernah kautempuh
Ribuan siang ribuan pagi
Yang membuatku lebih paham
Perihal mata merah dan baju yang kerap tak sempat kautukar itu

Memang tak pernah ada kesempatan cukup untuk melahap kitab-kitab
Menaklukkan jalan-jalan
Dan menjejalkan pengalaman ke dalam surat-surat panjang
Lantaran hidup ini bergerak terlampau buru-buru
Kita pun lari terengah
Takut hari keburu punah

Menyusur jejakmu
kini ratusan lembar manuskrip teronggok di mejaku
MacLeish, Cornford, Rilke, Lorca, Steinbeck, Hemingway, Auden, du Perron,
Xu Zhimo, Syuman, Hamzah, Jassin, Asrul, Rivai

Paron, Tjilintjing, dan gerbong-gerbong tua, berderit dalam pikiran
nun… aku menangkap matamu memandang dari kejauhan
esok ku kan datang menziarahimu, dengan melati segenggam
di Karet… di Karet, tempatmu yang sekarang.


MAKAM DI BAWAH BULAN

malam serupa eboni, purna gulita
diam-diam almanak menghela segala yang muda
menjadi matang
ranting usia patah satu-satu….
tanpa kita bisa berbuat apa-apa
roda kereta beringsut tanpa suara
makam di bawah bulan
telah mengunci sebuah bilangan


PEJALAN

sehamparan jalan dengan setia menanti
Lurus memanjang diapit barisan pinus,
Berkelok di ujung dalam bayang jebakan ngarai dan jurang

Kita pejalan,
Tak punya apa-apa untuk menaklukkan
Selain sepasang kaki yang lembut tapi penuh perlawanan
Sepasang kaki yang pasrah tapi selalu siap menjelajah

Pejalan, merengkuh semua tantangan
Dengan harga diri yang tak bisa ditawar-tawar

Pejalan,
Menempuh waktu
Menggenggam cerita dalam saku

Artikel sebelumnyaDIMINATI BANYAK TALENT, OPEN CASTING FILM “DIALOG KULINER” DIPERPANJANG
Artikel berikutnyaRAPAT LUAR BIASA ANGGOTA SATUPENA HASILKAN KEPUTUSAN STRATEGIS
Ewith Bahar
Pernah bekerja di TVRI Stasiun Pusat Jakarta, RCTI, dan PR Manager di hotel Ciputra dan hotel Gran Melia Jakarta. Selain menulis dan menjadi editor buku, ia juga kerap diundang sebagai narasumber atau pembicara perihal puisi, creative writing dan biblioterapi. Buku-bukunya yang telah terbit adalah: Serenada Kalbu (2013), AN:Mars & Venus (2013), Cinta Tujuh Hari (2013), novel Dari Firenze ke Jakarta (2015), Kidung Kawidaren (2016), Kantata Untuk Pujangga (2017), Sonata Borobudur (2018) dan Chairil Anwar: Hidup 1000 Tahun Lagi (2020). Sonata Borobudur memperoleh penghargaan sebagai 5 Besar Buku Puisi Terbaik Indonesia tahun 2019 yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Puisi-puisinya termuat di media-media internasional dan nasional serta pada lebih dari 50 buku antologi puisi. Sejumlah puisinya juga telah diterjemahkan ke dalam sejumlah bahasa asing.