Upacara Tepung Tawar, Talang Mamak

Di tengah rumah tegak balai-balai
dengan atap selembayung
Tempat perahu roh akan dilayarkan
Menuju nirwana
—pertanda roh berkampung
berpetala.

Jelai menjuntai bagai tali temali
akan mengikat ingatan
Antara ia yang pergi
dan mereka yang tinggal.

Tamu-tamu mulai berdatangan
Pak Dukun telah tiba lebih dulu.
Ketika para pendoa itu dijamu
dengan wangi nasi padi ladang
Pak Dukun juga telah lebih dulu makan
Sebagai penghormatan
Kini ia duduk menginang
Menunggu roh-roh keramat
Ikut bertandang.

Selepas kopi dan rokok sebatang
Lampu-lampu dipadamkan.
Tinggal tiga batang obor damar
Ditiup-hembus nafas sakal para perempuan.

Maka Pak Dukun tegaklah
Membawa sajian mangkuk loyang
ke tengah arena
Ia rapal mantra-mantra
Membungkuk, kedua telapak bersilang
menyambut yang bertamu
dari dunia gaib. Mereka datang memanggul nasib baik
bagi upacara kepulangan cucu adam

Tujuh lelaki ikut bangkit mengiring
Sambil menari memukul kendang
Mantra-mantra bersipongang
Seirama liuk layah api damar
Asapnya, bersama aroma menyan,
menggurat pagu dan bubungan
dengan jelaga rumah kenangan.

Hingga ada yang bertengger
menunggu pamit
di atap selembayung balai-balai:
selembayung bertudung atap loteng,
loteng bertudung lengkung langit
langit bersungkup nyala petala
petala berpagut arasy
di pucuk langit tinggi…

“Hu, makrifat tujuh pintu,
Malaikat penjaga tujuh petala
Kami lepas saudara-anak-cucu
Sambutlah dio dengan membuka pintu-pintumu,”
Pak Dukun menyembur mantra
Bagai menyembur air sirih
(Di luar anjing menyalak bersahutan,
Burung-burung malam bergumam lirih
Pertanda ada yang lewat
dalam pejam).

Pak Dukun kini tambah liar.
Hentak kendang makin kencang
Tujuh lelaki meliuk badan.
Maka mayang pinang dihempaskan
Bulir-bulirnya berserak di lantai bagai pasir putih
Mencipta pantai lain bagi perahu roh
tempat bertolak dan melaju
dalam pelayaran panjang
tak bermasa tak berwaktu

“Hu, berangkatlah, berangkat
Jangan lupa jalan pulang!”
Pak Dukun berkata lantang
Melepas segala yang mengikat raga kasar.

“O, handai tolan dan kerabat, jangan menangis,
selamat tinggal,” Nakhoda perahu roh berbisik samar
bersama angin dan gerimis malam.

Maka berangkatlah roh dikandung badan
ke kuala asal-mula. Tegak seisi rumah
di ujung tangga balai-balai keramat
Melepas dan menerima sebagai upacara biasa
Bagai tepung tawar, tak perlu gula atau garam
untuk merasakan manis asin
hitam-putih kasih sayang.

/2024

Catatan:
Upacara tepung tawar merupakan ritual kematian masyarakat adat Talang Mamak, Indragiri, Riau, untuk melepas roh dari rumah mukim. Dilaksanakan setelah sebulan atau empat puluh hari kematian. Disebut juga dengan ritual palis tawar.

 

 

Di Ladang Padi Pak Dana

Di ladang padi Pak Dana
Kawanan burung-burung
seperti awan turun
Menggejuju
dari tepi hutan
belukar rimba

(dan aku teringat bait sebuah lagu
dari kota yang jauh)

Tak takut basah, atau kepalang basah,
Pak Dana dan istrinya menghadang di tengah ladang
Dapatkah kaubayangkan bagaimana menghadang
Langit teleng atau runtuh dengan awannya yang menggejuju?
Itu dilakukan sepanjang hari
Selama tiga bulan padi berisi!

Mereka—pipit, bondau, tempua—meraok serentak
ke batang-batang padi bunting
Mematuk dan mencungkili butiran emas
dari padi menguning
yang runduk karena beban harapan

Itulah bulir-bulir keringat Pak Dana
dan istrinya; sepasang petani terakhir
di bumi Talang Sungai Parit, setia berhuma padi ladang
di antara godaan kebun sawit.

“Demi menyelamatkan setampang benih,” katanya lirih,
“Serta memenuhi syarat-rukun ritual adat, selebihnya
buat makan. Beda dengan beras pasar, segenggam padi ladang
mengenyangkan, setekong dimasak kembang seperiuk,”
Itulah harapannya, sungguh tak muluk.

“Di dapur kita batanak, ke halaman harumnya tercium,
Dan tanpa harus diminta, para tetangga akan kita ajak
makan beras baru sebagai rasa syukur,” timpal sang istri,
sungguh bukan basa-basi.

“Husy, husy, husy, uwiiik!” suara-suara usiran
Tak membuat burung-burung itu segera pergi.
Jurai-jurai tali digerakkan. Orang-orangan bergoyangan
Tak ada yang mereka takutkan. Bahkan memedi di tepi hutan
Mereka jadikan tempat hinggap,
Persis orang-orang pembawa sial
Tak hormat pada roh keramat

(Lebih berat memang menghadang
Barisan orang-orang yang datang tak diundang
Bagai sehembus angin, kematian menyapu langit kelabu
Bukan dalam sebuah lagu. Mereka habiskan hutan
Mereka ganti dengan tanaman rakus air
Dan terhamparlah bumi berantakan; yang menyebabkan kini
burung-burung ganas menyerang, monyet-monyet menjerit lapar!)

“Wahai burung-burung kepala besi, kecil-kecil liar
bagai peluru. Tak kalian hirau bakti kami menjaga benih
dan upacara. Kalian serbu tetes keringat kami
yang kini jadi bulir-bulir tembaga
pertanda hampa!” Pak Dana tidak sedang meratap
Hanya berharap agar burung-burung ganas liar
mendengar bisikan langit saat mengepak turun ke bumi

Dan bolehlah sesekali berbagi
Tapi jangan habiskan apa yang menjadi
Hak lumbung dan perayaan orang sekampung

“Mananggung!” sang istri berkuai
Dari pondok dinding tarap, ia nyalakan api di tungku
Menghidangkanku secangkir kopi. Pahit.

“Mereka keras kepala seperti orang-orang tak dikenal itu
Menyerbu tanah ulayat dan hutan adat, lalu menghabisinya
demi kebun sawit seluas bumi,” kini Pak Dana memuntahkan geramnya
Membuat aku cepat mengerti perumpamaan
yang dibuatnya. Lebih pekat dari kopi tanpa gula.
Lebih pahit dari pekat derita.

Pelan-pelan, kucobalah menghirupnya.

/2024

 

 

Hantu Kebun

Talang Sungai Parit,
kampung yang kehilangan sungai
Berganti parit sawit. Mampet dan sakit.

Sungai Sirih, sungai Lubuk Batuan,
sungai Payakaca, sungai Lubuk Panjang,
semua tinggal kenangan

Tinggal Sungai Ekok, mengalir penuh
penderitaan; musim kemarau surut
membenam nasib ikan-ikan hingga larut
di lumpur hitam.

Musim penghujan meluap
Merendam padi ladang, sisa kebun karet
dan sayuran busuk di batang

Siapakah yang akan menjadi penyelamat?
Tempat-tempat keramat
Telah lebur bersama hantu kebun
Milik raksasa-raksasa tambun
yang serentak menghambur
memangsa sungai dan hutan.

Danau Tiga, Hutan Payakumbuh, Rimba Batu menangis
Kehilangan mata air dan air mata,
dalam takdir waktu yang mengerkapnya

Seutas jalan aspal dan jembatan
memang membentang
Dari sisi ke sisi, tapi hanya mengantar lengang
ke dalam diri, ke dalam irama bosan
yang berulang pagi dan petang

Lebih banyak lagi jalan tanah menjalar
selicin sisik ular
Di dusun-dusun merana
Di mana kami, para pewaris ulayat ini, tersingkir
ke rumah-rumah kayu tua. Doyong dan kesepian.

O, suku tuha bumi Indragiri, teruslah bernyanyi
dan bersuara. Patahkan irama bosan
Nyanyian hantu kebun yang mengerikan
Bukan dengan gendang dan tifa. Bukan dengan tangis duka
dan keluh-kesah. Cukup dengan menyan
mantra-mantra perlawanan
dan tangan terkepal dalam kerja
pantang menyerah

Maka kelak akan bangkitlah gericik mata air yang tertimbun
parit kebun. Tegaklah tempat keramat di mana dukun
dan balian, batin dan kumantan kembali duduk dengan ritual,
bersiteguh mengusir roh pengganggu
di kegelapan jenis pohonan tunggal.

Hingga terjaga dan bangkit lagi Sungai Ekok
dengan ikan-ikan jinak di tangan.
Terbit lagi mata air Danau Tiga, jernih segala nampak
yang berenangan. Menangis haru Rimba Batu
Terlepas dari seribu tahun kutuk waktu
Hantu kebun hantu blau.

/2024

 

 

Kepada Taji Talang Parit
—Kelompok pemuda perawat benih

Hidup bertaji
Mati berarti

Tanamlah benih selagi hidup
Nafas dan humus akan menyatu
jadi siklus waktu
Di mana kau dan aku
Menjelma menjadi kita
Seperti pohonan tumbuh
berurat berakar di satu semesta.

Kau yang menjaga benih
Merawat semesta
Hakikatnya adalah jago bagi kita semua
Sebab kaki-tanganmu tiang bakti
bagi keselamatan bumi
yang sama kita jaga dan cintai.

Seperti taji seekor jago
Tak peduli muncul tersembunyi
di kaki. Bukan di kepala
serupa tanduk kijang atau rusa
dikagumi karena segera tampak dikenali
Hanya perlu waktu membuat segalanya berarti
dalam pandangan orang-orang hibuk
di gelanggang hidup ini.

Tapi arena hidup tak hanya gelanggang ramai, kawan
Ada tempat sunyi di mana seekor jago
akan berkokok sendirian
di luar arena di atas pagar. Lantang dan nyaring
Itu lebih merdeka daripada arena tanding
Lebih mulia ketimbang kepala kijang-rusa luka terpenggal
Jadi hiasan dinding rumah-rumah asing
tak dikenal!

Kawan, kita hanya perlu memilih
Sebab tak satu jalan
Wujudkan ikrar

Segalanya sungguh berarti:
Hidup bertaji, mati meninggalkan benih
Wujudkan akar,

Dan bunga-bunga liar,
Mekarlah, mekar! Buah-buah marginal
Masaklah, masak, bukan dengan karbitan!

2024

 

 

Di Belakang Rumah Dita,
Talang Sungai Parit

Di belakang rumah Dita
Ada sebuah lumbung
Di antara pokok manggis
Dan enau kolang-kaling
Tempat keluarga Dita yang manis
Menyimpan panen padi ladang. Berkarung-karung
Beralas tikar pandan dan rumbai.

Kadang ketela, sukun, cempedak hutan
atau limpahan hasil kebun yang lain
Semua mereka tarok di loteng lumbung
Menambah kekuatan pangan
Jaminan aman lambung dan tenang pikiran.

Sebuah blumbang sementara itu
Menampung air sumur dan tadahan hujan
Tempat ikan-ikan, seekor-dua ekor
dilepaskan Paman Briting
tiap kali ia pulang memancing
Seolah dengan begitu ia menabung
segobang-segobang.

Lumbung dan blumbang
Cukup jadi alasan untuk mengatakan
Keluarga Talang Mamak
Sadar pangan dan lauk makan
Sebagai simpanan abadi hadapi musim
Tak hanya dimasa paceklik
tapi sepanjang waktu begitulah keharusan
sebelum hantu lapar datang mencekik.

Masa sulit atau lapang, kesadaran menabung
dengan menyimpan hasil panen
tak akan dihentikan. Begitu ketentuan sejak moyang
Begitu para leluhur mengajarkan
Sedia payung sebelum hujan
Sedia pangan sebelum lapar

Tapi ketika kuintip isi lumbung
Ternyata kosong, kecuali beberapa lembar
lapik buruk, karung-karung goni berdebu
tanpa isian, dan keranjang lapuk di satu sudut
Ada pun di blumbang hanya sesekali ikan mengecipuk
Selebihnya diam, seolah blumbang itu
lubuk yang dalam
menyimpan cerita kekalahan.

Kupejamkan mata, teringat masa kecilku dulu
di pantai barat Sumatera
Tiap panen tiba, ayah menyimpan padi sawah
di dapur papan beralas tikar
Semacam lumbung juga
tak terpisah dari rumah
malah dekat ke tungku dapur
dari mana beras ditanak dan lauk-pauk dimasak
Tapi itu pun kini sudah tiada.

Persis lumbung padi keluarga Dita,
Padi di dapur rumahku sudah lama
tak lagi menggoda tikus-tikus lapar
dan ayam-ayam jinak di penjemuran
Sebab padi di sawah dan padi di ladang
sama-sama dicegat paceklik panjang
akibat kiamat lahan
Pupuk dan benih semakin mahal
sulit dari jangkauan
Dan pada saat panen yang payah,
para tengkulak ikut memalak pula.

Kini kamilah ayam-ayam lapar itu
Kehilangan pakan di lumbung sendiri!

2024