BUKU yang saya bedah ini merupakan salah satu utang baca yang baru bisa dilunasi akhir tahun 2019 lalu. Buku Who Rules the World? adalah hadiah dari dosen favorit saya, Prof. Dr. Jumadi. Entah karena menduga saya tertarik pada kajian politik internasional, atau cuma karena kasihan melihat saya tak pernah bisa ikut ke toko buku yang beliau rekomendasikan, jadilah buku ini sebagai pemberian istimewa.

Beliau memberikannya tahun 2017, tahun yang sama dengan cetakan buku ini pertama kalinya dalam bahasa Indonesia. Antusiasme saya terhadap buku ini mengalami pasang surut karena disela banyak pekerjaan lain. Saat akhirnya menyelesaikan membaca, terlepas dari penting tidaknya berpengaruh tidaknya isi buku dalam keseharian pembaca, saya berpikir buku ini perlu diketengahkan sebagai informasi yang mungkin berharga. Sekadar untuk mengetahui bagaimana dunia bekerja.

Barangkali juga buku ini menjadi relevan dengan apa yang baru-baru terjadi, perang asimetris yang mulai berubah bentuk menjadi unjuk kekuatan militer sebenarnya antara Amerika Serikat (selanjutnya akan disebut AS) versus Iran.

Tentang Noam Chomsky

                Mahasiswa jurusan linguistik lebih mengenal Noam Chomsky dalam kemegahannya sebagai Bapak Linguistik Modern. Pemikirannya tentang linguistik semisal tata bahasa generatif (yang sampai sekarang  masih membuat kepala saya sakit itu) atau ide tentang peranti pemerolehan bahasa di dalam otak yang menjadi alasan kenapa anak kecil bisa berbahasa, adalah satu dari sejumlah sumbangan pemikirannya dalam bidang linguistik. Nama Chomsky selalu muncul dalam mata kuliah kebahasaan, Linguistik Umum, Sintaksis, Psikolinguistik, dan lainnya. Bagi saya dan sebagian besar mahasiswa jurusan linguistik lainnya, Chomsky adalah perihal linguistik, lain tak.

                Lelaki bernama lengkap Avram Noam Chomsky yang telah berusia 91 tahun ini lahir pada 7 Desember 1928, ayahnya adalah pakar gramatika bahasa Ibrani sementara ibunya aktivis haluan kiri. Kedua-duanya imigran Yahudi dari Eropa. Noam Chomsky adalah akademisi hingga ke tulangnya. Gelar akademis awalnya (BA) hingga profesornya didapatkan dalam bidang linguistik. Ia adalah profesor emeritus di MIT (Massachusetts Institute of Technology), profesor kehormatan di University of Arizona, dan juga anggota klub sosial Harvard University. Chomsky adalah salah satu akademisi masih hidup yang tulisan dan kata-katanya paling banyak dirujuk atau disitasi di dunia.

                Meski menjadi manusia setengah dewa dalam bidang linguistik, saya justru lebih tertarik pada lelaki sepuh ini saat membaca buku Analisis Framing-nya Eriyanto. Dalam buku itu, ada kutipan tulisan Chomksy, dan dia tidak bicara linguistik. Dia bicara tentang politik. Bertahun-tahun kemudian saat saya mendalami soal pendudukan Israel atas Palestina, nama Chomsky muncul kembali. Kali ini sebagai orang yang terang-terangan menyatakan Israel dan Amerika Serikat (terutama Amerika Serikat) sebagai penjahat perang. Nama besarnya dalam bidang linguistik ternyata setara dengan reputasinya sebagai ilmuwan politik dan pengkritik keras kebijakan perang dan kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Dia dikenal sebagai aktivis anarkis tradisional yang berarti ia tidak percaya pada institusi negara, kelihatan sekali dalam pandangannya mengenai pemerintah AS. Di masa Presiden Nixon dia pernah ditangkap dan diinterogasi. Yah, menunjukkan betapa ia tokoh yang kontroversial. Ungkapan hate him or love him tampak cocok disematkan padanya.

                 Sekarang mari kita bicarakan buku ini.

 

Tentang Buku Who Rule the World

                Jika pembaca berharap akan menemukan tulisan khas akademisi yang datar, dingin dan agak kaku, pembaca boleh melewatkan buku ini. Meski akademisi tulen, tulisan-tulisan Chomksy tentang politik, ideologi, atau media jauh dari kesan akademis. Buku ini penuh dengan kalimat-kalimat satir dengan selera humor yang sinis. Saya kadang bisa menjadi sinis dan satir, tapi Chomsky adalah seorang maestro. Cobalah nikmati humor kejamnya dalam kalimat yang saya kutip berikut,

                Selain faktor-faktor ini, tak boleh dilupakan bahwa “Anglosphere” –Inggris dan negara cabangnya – terdiri atas masyarakat kolonial-pemukim, yang berkembang di atas abu penduduk asli yang ditindas atau nyaris dibasmi hingga punah. Praktik masa lalu pada dasarnya menjadi bahan pembenaran dalam kasus Amerika Serikat, bahkan ditahbiskan oleh takdir Ilahi. Oleh karena itu, kerap muncul simpati intuitif bagi anak-anak Israel saat menempuh jalur serupa, (hal.121-122)

(Chomksy membicarakan beberapa alasan kenapa AS mendukung pendirian negara Israel. Jujur, saya nyaris tertawa membaca ini, sangat sinis, sangat satir).

                Atau kutipan yang ini,

                Tak lama setelah 9/11, Amerika Serikat membubarkan jaringan amal orang Somalia Al-Barakat, dengan alasan digunakan untuk membiayai teror. Langkah ini dipuji sebagai salah satu keberhasilan besar dalam “perang melawan teror”. Sebaliknya, penarikan gugatan oleh Washington tanpa pembuktian setahun kemudian hanya menyita sedikit perhatian, (hal. 1406).

                Ada banyak bahasa semacam ini, termasuk  tanda kutip pada kata atau kalimat  yang menunjukkan bahwa sebenarnya ada maksud tertentu dari kata atau kalimat itu –Chomsky biasanya gunakan itu untuk menyindir- bertebaran di sepanjang isi buku.

                Hal lainnya yang menjadi catatan tentang buku ini adalah topik yang dibicarakan. Isu-isu yang diangkat Chomsky di buku ini berhenti di tahun 2015, dan dimulai sejak perang dingin pasca bubarnya Sovyet dan munculnya AS sebagai negara superpower. Buku ini sebenarnya adalah kumpulan artikel, satu isu bisa terdapat di beberapa artikel, hingga mungkin pembaca akan dilanda kebosanan karena Chomksy sering membahas satu isu di satu bab lalu mengulangnya di bab yang lain. Ada banyak isu yang dibicarakan, namun semuanya berpusat pada sepak terjang pemerintah AS, dan pembaca akan menemukan tak ada hal yang bagus tentang itu semua. Kita akan mendapati opini dari seorang warga terhormat high education AS mengkritik dengan keras negaranya sendiri, dan sesuatu yang menggembirakan bahwa sampai saat ini ybs. masih hidup bebas dan merdeka.

                Saya akan membagi isu yang dibicarakan buku ini ke dalam beberapa poin besar,

  • Terorisme

Menurut Chomksy, term atau istilah terorisme bukan barang baru dalam politik AS. Sebagian kita mungkin berpikir itu adalah produk pasca 9/11 yang terjadi 19 tahun silam. Pencanangan GWOT (Global War on Terror) oleh George W. Bush tahun 2001 itu juga pernah dilakukan oleh Reagan di masa pemerintahannya, dengan obyek yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa teroris adalah label yang biasa digunakan pemerintah AS untuk mendelegetimasi sesiapun yang mereka anggap musuh. Padahal, lebih lanjut menurut Chomksy, tindakan teror yang dilakukan AS jauh lebih massif, jauh lebih intensif dibanding siapa pun yang kepadanya julukan teroris itu diberikan pemerintah AS.

                Di beberapa artikel, Chomsky memberikan perbandingan tentang kejahatan yang dilakukan teroris dan serangan-serangan AS atas nama pembasmian teroris. Chomksy misalnya membandingkan serangan teroris atas kartunis Charlie Hebdo, pembuat kartun yang melecehkan Nabi Muhammad tahun 2015 silam, menewaskan 12 orang. Kasus itu diopinikan di dunia sebagai serangan paling mengerikan terhadap jurnalisme. Yang mana menurut Chomsky jelas ngawur. Ia menyampaikan beberapa fakta tentang ‘serangan paling mengerikan’ lainnya, diantaranya serangan NATO ke kantor pusat stasiun televisi Serbia yang menewaskan 16 wartawan, atau serangan drone –jadi serangan dengan drone ini bukan barang baru ya- AS terhadap Suriah pada Desember 2014 (berbeda sebulan saja dengan serangan terhadap Charlie Hebdo) yang menewaskan 50 warga sipil.

                Dengan demikian, teroris itu hanyalah wacana pendelegetimasian yang diciptakan pemerintah AS dan diadopsi negara-negara lain untuk keperluan mereka masing-masing dalam rangka melucuti sesiapa yang dianggap musuh.

Saya akan tutup pembahasan mengenai terorisme ini dengan satu kutipan satir lainnya dari Chomsky,

Pembelaan yang lebih vulgar atas kejahatan AS dan Israel secara resmi menjelaskan bahwa, sementara orang-orang Arab dengan sengaja membunuh warga sipil. AS dan Israel, sebagai masyarakat demokratis, tak bermaksud melakukan tindakan tersebut. Pembunuhan yang dilakukan hanya kecelakaan sehingga tidak sama dengan kebusukan moral musuh-musuhnya, (hal. 40).

 

  • Nuklir

Gegara pembunuhan jenderal Qasem Soleymani yang diperintahkan Trump, tiga hari lalu Iran menyatakan diri keluar dari perjanjian non-proliferasi alias pembatasan nuklir tahun 2015, yang sah sah saja karena AS sudah keluar duluan tahun 2018.

Membahas nuklir Iran dalam bukunya, Chomsky menulis pemerintah AS telah lama mendudukkan Iran sebagai ‘ancaman terbesar bagi perdamaian dunia’. Bagi Chomsky, sebenarnya Iran tak sememberbahayakan itu untuk AS. Chomsky melihat pengembangan nuklir Iran jauh dari apa yang perlu dikhawatirkan. Yah, AS lebih perlu mengkhawatirkan Cina dan Rusia tentu saja. Jadi kenapa AS bersikap begitu berlebihan? Bagi Chomsky alasannya cukup sederhana, di antara bukan negara adidaya besar, Iran termasuk yang terang-terangan berani mengembangkan teknologi nuklirnya selain Korea Utara sementara Iran bukan sekutu AS. Semacam tamparan bagi ego keadikuasaan.

Yang tidak muncul dalam buku ini, karena timeline-nya berakhir di 2015, adalah persekutuan yang kian menguat antara Cina-Rusia-Iran-Turki. Apa yang dikatakan Chomsky sebagai anjuran untuk tidak perlu takut pada Iran, tahun-tahun belakangan agaknya perlu dievaluasi. Apa yang dilakukan Trump beberapa hari lalu barangkali adalah usaha taste the water pada bagaimana empat sekutu ini bersikap atas ‘serangan kedigjayaan’ AS atas mereka. Barangkali apa yang terjadi di Natuna juga demikian, bahwa dua kubu saling menyatakan diri.

 

 

  • Climate Change (perubahan iklim)

Bagi Chomsky isu perubahan iklim adalah hal sangat serius, ia menganggap itu ancaman besar masa depan di samping perang nuklir. Lagi-lagi ia mengungkapkan kebebalan pemerintah AS, alih-alih mendukung usaha mengerem perubahan iklim dan pemanasan global, pemerintah AS berada paling depan untuk menyangkal hal tersebut. Chomksy menyebut Trump (saat itu belum menjabat sebagai presiden) bersama rekan-rekannya di partai Republik, termasuk pihak yang sangat keras menyakini dan mengkampanyekan bahwa isu perubahan iklim adalah omong kosong, hoaks yang dibuat Cina. Setelah menjabat presiden, sikap itu lebih kentara. Seperti kita tahu, Trump keluar dari kesepakatan iklim dunia di Paris 2015. Well, pria ini agaknya keluar dari berbagai kesepakatan baik untuk kemaslahatan manusia.

Mari saya kutipkan satu paragraf sinis Chomsky terkait posisi AS sebagai negara perusak lingkungan,

Baru-baru ini, Amerika Serikat menyadari perlunya bergabung dalam permainan mengeksplotitasi Afrika bersama pendatang baru seperti Tiongkok, yang giat menyusun salah satu catatan terburuk upaya perusakan lingkungan dan penindasan orang-orang yang malang, (hal 148)

  • Konflik Palestina-Israel

Pembahasan mengenai konflik Palestina dan Israel mendapatkan porsi paling banyak dalam buku ini. Meskipun seorang Yahudi, Chomsky sama sekali keberatan dengan usaha orang-orang Yahudi mendirikan negara Israel di tanah Palestina. Dalam buku ini Israel selalu berdampingan dengan AS sebagai teroris yang sebenarnya.

Dari sekian banyak narasi tentang ini, saya akan mengetengahkan tentang perjanjian Oslo. Perjanjian Oslo dilakukan tahun 1993 sampai 1995 antara Perdana Menteri Israel, Yithzak Rabin, dan pemimpin PLO, Yasser Arafat. Perjanjian ini diadakan di Oslo, Norwegia atas inisasi pemerintah AS. Perjanjian yang justru melegitimasi pendudukan Israel atas Palestina dengan semua wilayah yang sudah dicaplok, dan meski memberikan otoritas Palestina atas Tepi Barat dan Jalur Gaza, kedua wilayah itu tetap di bawah yuridiksi dan undang-undang Israel. Perjanjian yang disebut-sebut ‘diharapkan dapat membawa perdamaian ke Timur Tengah’ itu pada akhirnya disebut salah satu penulis Norwegia, Hilde Henriksen Waage (satu-satunya yang berpendapat demikian) sebagai perjanjian yang bagi rakyat Palestina mengakibatkan penyerahan Tepi Barat, penggandaan jumlah pemukim Israel, pembangunan dinding pemisah yang melumpuhkan kehidupan, kemunculan rezim pengepungan yang kejam, dan pemisahan Jalur Gaza dan Tepi Barat yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Mengutip Wage kembali, Chomksy menuliskan,

Secara beralasan, Wage menyimpulkan, “Proses Oslo bisa menjadi bahan studi kasus yang sempurna untuk kelemahan” dalam model “mediasi pihak ketiga oleh negara kecil dalam konflik yang sangat asimetris” –dan sebagaimana dia menegaskan, “proses di Oslo berjalan berdasarkan premis Israel, dengan Norwegia bertindak sebagai pesuruh Israel” (hal. 194).

  • Masa Depan Amerika Serikat

Meski seluruh isi buku berisi kritikan sinis, pedas, dan satir terhadap negaranya sendiri, Chomsky dengan jelas menganggap bahwa pasca runtuhnya Sovyet, AS adalah memang satu-satunya negara adidaya dan di dalamnya berdirilah kekuatan-kekuatan privat besar yang menjadi penguasa sebenarnya dunia -lebih khusus, Chomksy menyebut orang-orang kaya partai Repulik sebagai kekuatan sebenarnya di dalam AS, termasuk Trump. Hal ini juga sekaligus menjawab pertanyaan besar dari judul buku, bukan begitu?

Yang menarik adalah, sekitar tahun 2011-2012 saat Chomksy menulis salah satu artikelnya di dalam buku ini, ia menulis tentang Cina (dan India). Cina dan India mencatatkan pertumbuhan yang cepat, tapi menurut Chomsky masih tergolong negara miskin, jauh tertinggal dari AS. Bonus demografi menurut Chomsky akan kehabisan manfaatnya saat ia memikirkan dampak pada pembangunan: kelebihan pasokan tenaga kerja murah. Delapan tahun berlalu, dan agaknya Cina justru tampak ‘semakin mengkhawatirkan’, di sisi lain, AS di bawah Trump tampak makin merosot. Akankah kedigjayaan itu berhasil diruntuhkan? Ini pertanyaan yang perlu watu lama untuk bisa dijawab. Hanya saja titik-titik penentuan mungkin berada di depan kita. Bagi Chomksy sendiri, kemorosotan itu hal tak terelakkan meski ia masih meyakini posisi AS yang di atas angin.

                Pada akhirnya, pembaca mungkin akan menyimpulkan buku ini ditulis aktivis jalanan anarkis yang penuh kebencian subyektif terhadap negaranya -hal yang menurut saya ingin diyakini semua orang yang tidak menyukai tulisannya. Hanya saja sosok Chomsky begitu kontradiktif, esai-esai yang tajam berbisa ini berasal dari kepala yang sama yang melahirkan teori-teori paling berpengaruh dalam dunia linguistik dan psikologi kebahasaan. Chomsky adalah akademisi dengan semua nilai ilmu pengetahuan dan cara berpikir akademisnya yang dijunjungnya. Jadi, sulit untuk mempiciskan tulisan-tulisannya. Maka kita akan kembali pada pilihan di awal tadi, hate him, love him, or just leave him.

                Jadi, apa selanjutnya? Saran saya, bacalah buku ini jika Anda tertarik. Jika tidak, barangkali Anda ingin mendengar Chomsky bicara? Cari saja videonya di jagad internet, mudah ditemukan. Tulisan-tulisannya yang lain juga mudah diakses. Chomsky punya situs resmi di chomsky.info. Jika Anda kurang berkenan dengan pemikiran politiknya, barangkali kepakarannya dalam linguistik akan menyihir Anda. Kalau pada akhirnya Anda tidak tertarik sama sekali, ya sudah, tak mengapa. Cobalah menyeduh kopi atau teh, lain kali kita bicarakan film atau musik.  

                Wallahua’lam.@

Facebook Comments