Sepeda Tua Cak Pung
Meski yang mereka robohkan
mereka bangun kembali dengan mewah,
meski yang mereka gusur
mereka pindahkan ke tempat yang lebih baik,
kehidupan kita tak bisa mereka gantikan!
—kehidupan di mana yang nista dan yang mulia
kita dudukkan sama terhormat
di ruang beradab kemanusiaan.
Kekuasaan memang tak punya mata,
tak pernah memiliki telinga.
Kekuasaan hanya memiliki kaki dan tangan
untuk mengeremus dan menginjak-injak kehidupan.
Usiaku sudah kepala tujuh, Mi,
aku tak mau lagi melawan.
Tapi kenangan itu,
kenangan di mana yang nista dan yang mulia
yang kita dudukkan sama terhormat
di ruang beradab kemanusiaan itu,
akan senantiasa kukenang dan kuziarahi
bersama sepeda tua ini.
2020
Senyum Fahrudin
17.29,
di ujung rel yang menikung
menjelang Stasiun Jombang.
Di tengah azan maghrib,
di merah cakrawala
yang memudar ditelan gelap.
Sekelebat bayang,
melintasi ujung senja.
tiba-tiba,
bau tajam menyergap hidungku!
Setan gundul, wewe gombel,
mana mungkin kulupa!
Ini menyan sengak
dari arena Duel Dua Bajingan!
Azan usai, kereta berhenti.
“Aku hanya lewat, Din,
tak bisa mampir,” kataku.
“Ya, aku tahu,” jawabmu.
Kereta kembali melaju,
menuju stasiun berikutnya.
Dari balik kaca jendela
kulihat langit dan sebuah bintang.
Senyum Fahrudin,
berpendaran bersamanya.
Surabaya—Bandung, 12 November 2020
Mengenang Wianta
Sore itu tak ada bir di Via-via.
Tapi bukan lantaran tak ada bir
kita berendah hati pada hidup,
dan sadar,
janji tak selalu tunai,
manusia banyak kekurangan
—kita tak punya pilihan
selain saling merelakan.
Seperti ketika hari ini kau pergi,
dan aku masih di sini.
2020