INI bulan Desember. Bulan yang dipenuhi pesta pora dan kegilaan. Pada bulan inilah orang-orang kaya dapat lebih berhemat dalam segala keborosan mereka. Itu karena saat Desember tiba, seluruh tempat pembelanjaan mengeluarkan berbagai potongan harga yang bisa dinikmati para borjuis. Diskon musim dingin, diskon akhir tahun, diskon tahun baru. Salju di jalan-jalan berjatuhan bersamaan dengan jatuhnya harga barang dan makanan.

Tentu saja yang paling ditunggu adalah diskon Natal yang memberikan kesemarakan paling besar. Selain memberikan diskon, seluruh toko akan memasang berbagai dekorasi dan ornamen bertemakan Natal. Dan ini semua untuk apa? Untuk menyambut kelahiran Yesus di Hari Natal! Aku tak ingat Yesus pernah bersabda soal potongan harga barang ketika berkhotbah di atas bukit. Ah, tapi siapa yang mau peduli dengan Tuhan? Saat barang-barang mendapat potongan sebesar hingga 90 persen.

Ketika aku berjalan di trotoar, aku melihat berbagai etalase toko mengobral barang-barang sedemikian rupa. Mesin cuci diskon tiga puluh persen, pakaian diskon lima puluh persen, kue-kue kering diskon dua puluh persen. Tak jarang, banyak pula tawaran menggiurkan atas barang tertentu berupa beli dua gratis satu.

Kadang itu membuatku berpikir. Memangnya mereka tidak rugi apa? Lalu datanglah sebuah kesimpulan dari otakku: harga-harga diskon yang terpampang di toko mereka sebenarnya adalah harga asli! Harga sebelum diskon yang mereka coret hanyalah harga palsu yang mereka sengaja tinggi-tinggikan. Taktik ini membuat para penghambur uang menjadi tertarik untuk menghabiskan uang mereka.

Orang borjuis jarang memikirkan perlu atau tidaknya barang-barang diskonan itu. Yang penting beli dulu, karena diskon. Kan belum tentu dapat kesempatan seperti ini lagi? Dari pemikiran semacam inilah para pedagang meraup keuntungan yang besar. Dasar tikus-tikus keparat!

Mereka memang cerdik. Mungkin juga para pembelinya yang terlalu tolol dan boros. Kalau Gorbachev tidak ada, kupikir yang beginian ini tak bakalan eksis. Tapi mau dikata apa. Ia sudah terlanjur membawa berbagai macam barang dan toko ke sini, yang dibarengi dengan kehancuran terlebih dahulu!

Melihat pengumuman-pengumuman barang diskon membuatku selalu mual dan pusing. Otakku begitu saja segera menghitung-hitung bilangan-bilangan harga yang terpotong serta persoalan laba rugi dari harga diskon yang kulihat.

Heran! Semuanya benar-benar diberi potongan. Kemarin Anna si pelacur bahkan memberikan diskon selama seminggu penuh. Oh, puji Kristus! Pelacur pun bisa menjadi dermawan menjelang Hari Natal. Meski, uh, aku sendiri justru jadi tidak berminat. Pasti kepalaku akan sakit menghitung-hitung berapa pembayaran yang akan kuberi pada Anna, dan berpikir pula apakah diskon itu benar-benar diskon sungguhan atau tidak. Lagi pula aku takut si Anna kena penyakit kelamin, makanya dia memberikan potongan harga secara cuma-cuma.

Satu-satunya tempat menyenangkan yang bebas dari papan diskon toko hanyalah bar si tengik Denisov. Tidak ada diskon di tempat ini! Itu terutama karena memang si Denisov pelit. Untungnya dia ramah dan tidak terlalu bau apek. Begitu masuk ke dalam bar Denisov setelah berjalan-jalan di sepanjang jalan penuh papan informasi potongan harga, rasanya seperti mendapat siraman rohani. Bagai dibaptis untuk kesekian kalinya.

Aku segera meminta segelas penuh vodka kepada Denisov, dan duduk bergabung bersama beberapa kawan yang kukenal. Banyak yang mengatakan Desember merupakan bulan yang paling dipenuhi suka cita. Kalau memang begitu, bagiku setiap hari pastilah selalu di bulan Desember jika minum di bar ini.

Kami mulai ngomong ngalor ngidul. Aku sendiri sudah menghabiskan lebih dari sepuluh gelas. Obrolan tidak karuan kami pasti akan terus berlanjut kalau saja aku tidak mendapati seorang pemuda murung duduk di pojokan sendirian, dengan segelas bir yang sedari tadi tampaknya tidak habis-habis. Suram sekali. Ini tidak boleh. Tidak sepatutnya orang cemberut di bar Denisov!

Aku mengangkat gelasku, minta undur diri dari diskusi kami lalu segera menghampiri si pemuda masygul itu. Baru saja ingin kudamprat bocah itu, menanyai ada apa gerangan murung di tempat segembira ini. Tapi kemudian aku segera sadar bahwa si murung itu adalah Sergey Chersky, salah satu teman nongrkongku juga di bar. Aku justru jadi menyapanya dan menawarkan lagi kepadanya segelas bir atau vodka.

Dia hanya mengibaskan tangan, menolak kebaikanku. Sapaanku bahkan tidak dia gubris. Lah, heran! Pasti ada apa-apa. Sebagai sesama pengunjung setia bar Denisov, aku merasa sudah jadi kewajibanku untuk menghibur sesama pengunjung yang erat hubungannya denganku. Maka aku duduk di depannya, tanpa ia persilakan. Dia hanya menatapaku pasrah.

“Kenapa murung begitu sobat? Ini Desember loh! Desember! Apa kamu habis melihat banyak papan diskon seperti aku? Sudah, lupakan saja!”

“Peduli apa aku sama diskon?”

“Sinis amat kau? Kubawa kau tidur dengan pelacur berdiskon juga kau akan jingkrak-jingkrak! Sudahlah! Sekarang kita pergi temui Anna. Kau belum pernah bukan menikmati pelayanan diskon pelacur?” balasku seraya menarik lengan Sergey.

“Persetan pelacur, persetan diskon, persetan juga kau. Biarkan aku duduk sendiri dengan pikiran-pikiranku. Tak bisakah seseorang mendapatkan satu hari saja ketenangan untuknya?”

“Eh keparat!” kataku menatap tajam padanya. Gelas hampir saja kuayunkan tepat ke wajahnya, kalau saja aku tidak ingat tujuanku menghampirinya adalah untuk membuatnya kembali gembira. Maka kuusahakan diriku untuk tetap ramah. “Kau ini bodoh apa tolol? Kalau ingin tenang ya jangan pergi ke bar. Di sini sudah tentu berisik!”

“Tak ada tempat yang tidak berisik lagi sekarang! Semua tempat selalu ribut, dan kita tak punya kesempatan untuk menyendiri, bahkan di kamar tidur sendiri!” damprat Sergey, “kuputuskan untuk pergi ke bar, mencoba menyelami keramaian di sini. Kupikir aku akan jadi lebih tenang, dan akan ngalor ngidul seperti yang lainnya. Nyatanya tidak bisa.”

Facebook Comments