KAMKWAMBA
-dari kisah William Kamkwamba di Afrika

Tak ada angin di sini. Kemiskinan tumbuh subur di lahan gersang.
Suku adat menjual hutan dan lahan demi uang yang tak mampu
menumbuhkan harapan, sebaliknya merubuhkan tubuh demi tubuh
karena kelaparan.

Kwamba pergi ke sekolah di usianya yang tak lagi belia.
Belasan tahun tidak membuatnya kehilangan Tuhan
di setiap mata pelajaran.

Ia membereskan radio rusak, alat pengabar tentang angin dan musim tanam.

Malam merah jambu, Annie berpacaran dengan guru Kwamba.
Siapa Annie? Perempuan yang lahir dari saluran rahim ibu Kwamba.

Musim kian paceklik. Gersang meninggi atau banjir mendalam.
Kwamba kehilangan jatah makan.

Gandum-gandum dilelang penguasa, namun lautan manusia
tak kebagian di mana-mana.

Di rumah Kwamba, jagung-jagung dijarah. Annie dan ibu menjerit
dan terjungkang di halaman rumah.

Kelaparan kian membusung. Dada Kwamba perih, seperih mata hati.

Kwamba memohon lampu sepeda pada gurunya.
Kwamba ingin merusak sepeda ayahnya demi kincir angin.

Tuhan tak berpihak pada siapa pun, Tuhan pun tak mengasihi siapa pun.
Tuhan hanya akan bekerjasama kepada mereka yang sama bekerja.
Tak memandang matahari terbit sebagai keajaiban,
namun matahati tenggelam siang dan malam.

Kwamba, teman-temannya, dengan cerita yang mengeringkan airmata,
melahirkan mata air yang membasahi segala pinta.

Di sini dan di sana Tuhan sama saja. Anak-anak berhasil memeluk semesta,
seorang tua mustahil melupakan Kwamba.

Pekanbaru, 14 Maret 2021


AKU, SUNGAI-SUNGAI DI RIAU, KENANGAN YANG TIMBUL TENGGELAM, TUHAN DAN KEMATIAN

Di bawah jiwaku, mengalir sungai-sungai.
Surga ada dalam diriku.

Lalu kenangan itu tumbul tenggelam.
Di Batang Sosa, ibu-ibu mencuci, anak-anak menyanyi,
mengangkat batu, mencari udang. Telanjang.

Aku teringat mimpi di alastu, tentang bus yang mengapung dari hulu,
penuh muatan, berwarna merah dan orang-orang tertawa.
bus itu kesulitan bergerak di arus dangkal, meski kemudian perlahan
terus hanyut dan mengapung di lubuk.

Orang-orang mencari dan menemukanku tersangkut di pembatas sungai
dari batang-batang nira besar. aku selamat dari kematian sebelum dewasa.

Di bawah jiwaku, mengalir sungai-sungai.
Surga ada dalam diriku.

Lalu kenangan itu timbul tenggelam
Di Tarikan, sepasang jerigen kutenggelamkan dengan enggan,
kuangkat dan kuangkut bolak-balik rumah sungai.
aku terlalu kanak-kanak untuk tidak bermain; kuletakkan jerigen
di pattar bambu, aku bemain kelereng ditemani monyetku
si pemakan pisang, si pemangsa kutu. Kakakku mengutukku
jadi apa saja yang durhaka.

Aku diancam tak makan, maka kubiarkan tubuhku lapar,
aku disuruh pergi, aku pun lari ke hutan pinggir sungai.
memeluk, menumbuk, bersandar, marah dan bersedih ke sebatang
karet tua, lalu mataku tertuju pada ikan gappual yang berenang,
begitu saja sedihku sudah.

Bagaimana dengan Sungai Kapojan, Sungai Kanteh, Sungai Siak?
Waktu terlalu tutu jika kualirkan segala cerita padamu.

Di bawah jiwaku, mengalir sungai-sungai.
Surga ada dalam diriku.

Di atas jembatan kota Pekanbaru – Rumbai,
aku duduk dan memandang jauh, sungguh jauh.
lalu kenyataan buyar, dan tercebur aku ke masa lalu.
Di permukaan Sungai Siak ini, kakek kandung dan nenek tiriku
pernah tidur, makan dan berak hampir sewindu, ya, mereka mengapung
bersama rumah mereka yang drum, yang papan, yang jembatan
penghubung daratan – sungai.

Kuingat ikan-ikan mas dalam keramba, tak kutahu mana jantan mana betina,
kuperhatikan saja. Kuingat lampu-lampu kapal yang labuh itu indah dari petang
hingga subuh, tivi hitam putih nyala berganti-ganti cahaya.
Lalu kuingat sangat-sangat, rumput-rumput sungai mengapung
dan hanyut perlahan, juga mainan-mainan, kakek mengambilnya
dengan galah-galah panjang.

Dari cerita ibu, aku pernah mengejan di wc apung, lalu terjatuh
ke sungai, menangis menjerit-jerit, memegang kayu-kayu pinggir jamban.
malaikat maut tak menyukai anak kecil penakut sepertiku, aku pun selamat.

Kumandang maghrib bertalu-talu, kulihat senja kian beranjak,
airmataku jatuh atas nama Tuhan yang timbul tenggelam,
di sungai dadaku.

Robbana, jiwaku kehilangan sungai lalu kerontang.
Surga berhulu dari sungai mana?

Kubang Raya, 6–7 Juli 2021